“Pilihan hidup kita sangat terbatas. Kita hanya memiliki kesempatan yang sedikit. Waktu hidup kita hanya beberapa puluh tahun, sementara kita bisa merasakan betapa cepat waktu berlalu. Sepuluh tahun rasanya sangat cepat, seperti hanya sehari dua hari saja”, kata seorang teman kepada saya. Ini merupakan pilihan pertama. Sebuah pilihan cara memahami dan menikmati kesempatan dalam kehidupan. Ternyata pilihan kita tidak banyak, maka harus segera mengambil dan memanfaatkan kesempatan. Jangan terlalu banyak berpikir, berdiskusi dan menimbang. Kita dituntut untuk mengambil keputusan dengan cepat, tidak boleh berpikir terlalu lama. Berhenti berarti mati, terlambat artinya tidak sama sekali.
“Kita memiliki pilihan hidup yang tidak terbatas. Waktu hidup kita secara personal memang terbatas, namun ide dan visi kita jauh melampaui batas usia kemanusiaan yang kita miliki. Maka jangan gegabah mengambil keputusan, pikirkan masak-masak, agar tidak menjadi penyesalan karena kurangnya pertimbangan dalam mengambil keputusan”, kata seorang teman pula kepada saya. Ini merupakan pilihan kedua dalam cara memahami dan menikmati kesempatan dalam kehidupan. Bahwa kesempatan itu terbuka seluas-luasnya, selalu ada kesempatan kedua dan seterusnya. Jangan mengambil keputusan di bawah tekanan keadaan yang memaksa, karena pasti akan kurang pertimbangan.
Boleh saja kita memilih yang mana, karena pasti ada argumen yang melatarbelakanginya. Ada situasi dan kondisi yang menyebabkan kita memahami dan menikmati kesempatan dalam kehidupan dengan cara yang tidak sama. Sesekali waktu kita harus bertindak cepat, bahkan sangat cepat. Ada kondisi yang menyebabkan kita harus melakukan sesuatu dengan cepat, tanpa banyak pertimbangan dan pemikiran lagi. Kesempatan mungkin tidak akan terulang lagi, mungkin hanya sekali ini.
Seorang teman menceritakan kisahnya saat harus mengambil keputusan dengan cepat. Tanpa dinyana dirinya mendapatkan fasilitas green card dari pemerintah Amerika. Ia kaget karena merasa tidak pernah apply untuk mendapatkan green card Amerika. Ternyata ada saudaranya yang secara asal memasukkan nama dirinya untuk mendapatkan green card Amerika, dan berhasil. Ia dipanggil ke Kedutaan Besar Amerika di Jakarta untuk wawancara. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya untuk tinggal menetap di negara Amerika, namun sekarang ada kesempatan, dan tentu saja ini sangat jarang.
Jika ia tidak berangkat wawancara, berarti kesempatan itu hilang begitu saja. Namun jika ia berangkat wawancara, sesungguhnya ia tidak pernah punya orientasi untuk keluar dari Indonesia. Waktu sangat terbatas. Hanya sehari semalam ia harus memutuskan, apakah besok berangkat wawancara atau tidak. Tentu ia tidak memiliki banyak kesempatan untuk menimbang, bertanya, berdiskusi, atau bermusyawarah dengan banyak pihak. Ia dituntut untuk segera mengambil keputusan, apakah akan mengambil green card Amerika atau dilewatkan saja kesempatan yang sangat langka ini.
Dengan bismillah ia memutuskan datang wawancara, dan akhirnya mendapatkan green card Amerika. Hingga sekarang ia menetap di Amerika bersama keluarga, dari sebuah kejadian hidup yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bukankah dalam contoh kejadian itu, kesempatan kita memang sangat terbatas? Kita benar-benar merasa tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir dan meminta banyak masukan dari sahabat dan keluarga. Kita harus mengambil keputusan untuk masa depan kita sendiri. Di sinilah seni menjadi pemimpin atas diri sendiri, bahwa saat mengambil keputusan, kita hanyalah seorang diri. Ya kita menjadi orang yang “kesepian” karena tidak ada teman, saat harus memutuskan masa depan kita sendiri.
Namun ada pula kesempatan yang bisa berulang dan kita memiliki cukup banyak waktu untuk memutuskan pilihan. Saat anak saya lulus SMA, ia mengikuti SNMPTN tahun 2011 dan berhasil diterima di Unpad Bandung. Namun sembari menunggu hasil SNMPTN, ia juga mengikuti seleksi di Undip Semarang dengan jalur mandiri. Ternyata dua-duanya diterima. Bahkan sebelumnya ia juga mengikuti seleksi di sebuah universitas swasta dan dinyatakan diterima. Ada sangat banyak waktu baginya untuk menimbang, apakah akan memilih kuliah di Unpad atau Undip, atau di universitas swasta. Saya sampaikan kepadanya, bahkan seandainya dia tidak mau memilih sekarang, tahun depan ia masih memiliki kesempatan. Namun ia telah memutuskan mengambil sebuah pilihan.
Kadang kita bertemu peristiwa hidup yang “terduga”, karena bisa direncanakan, dan ada waktu untuk mengulang di lain kesempatan. Perhatikan saja perhelatan pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden RI. Ada banyak tokoh yang muncul dalam beberapa kali proses pemilihan Presiden, sejak tahun 2004, tahun 2009 dan nanti di tahun 2014. Artinya, untuk contoh seperti ini ada banyak kesempatan untuk menimbang, apakah akan ikut sekarang atau lima tahun mendatang. Momentum politik dan keberuntungan sangat perlu dipadukan untuk mengambil keputusan dengan berhati-hati.
Namun kadang kita bertemu peristiwa hidup yang “tidak terduga”, dan diluar perencanaan, sehingga waktu kita sangat terbatas untuk segera mengambil keputusan. Pada kondisi seperti ini, tentu sangat wajar jika keputusan yang diambil kurang mendapatkan banyak masukan dan pertimbangan dari banyak kalangan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kedua peristiwa tersebut selalu terjadi, dan diperlukan kearifan para pemimpin untuk menentukan apakah harus mengambil keputusan cepat, atau masih ada waktu untuk menundanya. Ada peristiwa yang memerlukan tindakan sangat cepat, dan ada peristiwa lain yang tidak memerlukan kecepatan tindakan.
Misalnya, dalam memberantas korupsi diperlukan tindakan dan aksi yang cepat agar tidak menjalar dan semakin parah kondisinya. Namun dalam memberikan statemen publik, tidak memerlukan kecepatan. Karena kalau semua peristiwa dikomentari dengan cepat, justru akan menimbulkan kesan reaktif dan reaksioner. Kesannya menjaga imej, menjaga citra diri, dan upaya bersih diri. Sebentar sebentar komentar, sebentar sebentar konferensi pers, sebentar sebentar menyebar rilis ke media. Jika pemimpin sangat reaktif dalam memberikan statemen publik, justru bisa berdampak kontra produktif.
Dalam menanggulangi kemiskinan dan pengangguran, diperlukan program dan aksi yang cepat, agar tidak menjadi patologi sosial yang semakin membahayakan. Namun bentuk dari “program cepat” ini bukanlah semata-mata membagi-bagi uang setiap bulan kepada orang miskin. Karena khawatir disebut lambat, maka langsung membuat program “cash anda carry” berupa pembagian jatah uang bulanan bagi orang miskin. Tentu saja uang itu bermanfaat, namun tidak akan menyelesaikan persoalan kemiskinan dalam jangka panjang. Apalagi jika sekedar membagi nasi bungkus gratis setiap hari. Itu baru menyelesaikan problem sesaat, belum menyentuh akar persoalan.
Dalam kehidupan pribadi kita, sering kita jumpai peristiwa kehidupan yang harus segera kita eksekusi, tidak bisa berlama-lama. Namun banyak pula peristiwa yang memberikan kesempatan kepada kita untuk merespon dengan cermat, karena ada banyak waktu yang tersedia dan bisa menimbang dengan seksama. Kitalah yang menjadi eksekutor, apakah sebuah peristiwa harus disikapi dengan cepat, atau bisa disikapi dengan lambat. Tingkat kesalahannya bisa sebanding, antara kesalahan karena terlambat menentukan keputusan, dengan kesalahan karena terlalu cepat mengambil keputusan. Tergantung konteks kejadian yang sedang dialami dan tingkat kemendesakan dari keputusan yang harus diambil.
Inilah seni kehidupan. Sulit diteorikan. Ada yang harus cepat, ada yang harus lambat. Anda yang harus mengambil pilihan, karena resiko dari kecepatan dan kelambatan itu semua harus anda tanggung sendiri. Berdoalah selalu untuk meminta bimbingan Tuhan, agar secepat apapun dan selambat apapun keputusan anda ambil, semua dalam bimbingan Tuhan.
(Kalau minum teh poci, saya suka lambat. Tidak mau cepat cepat. Karena poci adalah seni menikmati teh, bukan sekedar minum).