Kecukupan Harta bagi Da’i

Imam Hasan Al Banna berkata, “Hendaklah engkau memiliki proyek usaha ekonomi betapa pun kayanya engkau, utamakan proyek mandiri betapapun kecilnya, dan cukupkanlah dengan apa yang ada pada dirimu betapa pun tingginya kapasitas keilmuanmu. Janganlah engkau terlalu berharap untuk menjadi pegawai negeri dan jadikanlah ia sesempit-sempit pintu rezeki. Namun jangan engkau tolak, jika diberi peluang untuk itu. Janganlah engkau melepaskannya, kecuali jika ia benar-benar bertentangan dengan tugas-tugas dakwahmu.”[1]

Harta bukanlah segala-galanya bagi seorang muslim. Namun, dengan harta seseorang dapat melakukan berbagai macam aktivitas yang tidak dapat dilakukan oleh mereka yang tidak berharta, dengan demikian harta akan meningkatkan kemuliaan pemiliknya di hadapan Allah. Kebutuhan pribadi, kebutuhan sosial, dan kebutuhan da’wah membutuhkan harta untuk dapat dilaksanakan. Dan ini tidak akan tercapai kecuali mereka memiliki kemandirian dalam memperoleh sumber daya. Jika mengandalkan dari pihak lain, maka hal ini hanya akan membawa bencana. Sarana dan fasilitas penunjang keberhasilan da’wah hanya akan bisa diperoleh jika para da’i mampu mengeluarkan harta dari kantongnya sendiri.

Ketergantungan seorang da’i secara ekonomi kepada pihak lain akan berdampak negatif terhadap aktivitas da’wahnya. Ia akan kesulitan dalam membiayai makannya, dan tanggungan keluarga jika ia sudah memilikinya. Ketergantungan ini juga akan menggeser orientasi da’wah yang dilakukannya jika si pendonor menitipkan hal-hal tertentu dalam da’wah yang dilakukannya.

Kemandirian ekonomi hanya dapat dilakukan dengan bekerja, baik secara mandiri ataupun menjadi pegawai. Imam Hasan Al Banna menganjurkan untuk memiliki proyek ekonomi bagi setiap orang, meskipun orang tersebut sudah kaya.[2] Salim A. Fillah menyebutkan alasan  bahwa bisnis, investasi,  atau proyek ekonomi harus menjadi salah satu aktivitas seorang mukmin, yakni agar menghargai waktu dan kerja keras, agar mengerti apa itu risiko, agar berjiwa merdeka, agar menghargai silaturahim, agar bewawasan luas, agar cerdas mengelola anggaran, agar bisa belajar kepemimpinan, agar dapat merasakan indahnya sedekah, agar lebih peka untuk bersyukur dan bersabar, serta agar merasakan nikmatnya memberi kemanfaatan bagi orang lain.[3]

_______________________________


[1]  Risalah Ta’alim, dari Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin

[2]  ibid

[3]  Gue Never Die