Iyyaka na’budu didasarkan kepada empat kaidah, yaitu mewujudkan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, berupa perkataan hati dan lisan, amal hati dan anggota badan. Ubudiyah merupakan nama yang meliputi empat tingkatan ini.
Perkataan hati merupakan keyakinan terhadap apa yang dikabarkan Allah, tentang Diri-Nya, sifat, asma’ dan perbuatan-Nya, para malaikat, perjumpaan dengan-Nya, yang disampaikan para rasul-Nya. Perkataan lisan adalah pengabaran tentang keyakinan ini. Amal hati ialah seperti cinta kepada Allah, tawakal, tunduk, takut dan berharap kepada-Nya serta hal-hal lain yang merupakan gerak hati. Sedangkan amal anggota tubuh seperti shalat, jihad, melangkah ke masjid untuk shalat Jum’at dan jama’ah, membantu orang miskin, berbuat baik kepada sesama manusia dan lain sebagainya.
Sementara itu, keharusan melaksanakan iyyaka na’budu berlaku hingga akhir hayat. Allah befirman,“Dan, sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Al-Hijr. 99).
Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan tentang kisah kematian Utsman bin Mazh’un, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Telah datang kepada Utsman ajal dari Rabb-nya.”
Hamba tidak terbebas dari ibadah selagi dia berada di dunia. Bahkan di alam Barzakh pun dia tetap memiliki bentuk ibadah tersendiri tatkala dua malaikat bertanya kepadanya, “Siapakah yang disembah dan apakah yang dia katakan tentang Rasulullah?”
Maka kedua malaikat menunggu jawaban yang akan keluar dari hamba itu. Bahkan pada hari kiamat pun masih ada ibadah yang dilakukan, yaitu saat Allah menyeru semua makhluk untuk sujud. Maka orang-orang Mukmin sujud, sedangkanorang-orang kafir dan munafik tidak bisa sujud. Jika sudah masuk surga atau neraka, maka tidak ada lagi kewajiban, selain dari tasbih yang dilakukan para penghuni surga.
Siapa yang berpendapat bahwa dia sudah mencapai suaru tingkatan yang membuatnya terbebas dari ibadah adalah orang zindiq yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.[1] Padahal orang yang mencapai sekian banyak tingkatan ibadah, justru ibadahnya semakin besar dan kewajibannya lebih banyak daripada yang lain, seperti kewajiban para rasul yang lebih banyak dan lebih berat.
[1] Mereka adalah orang-orang sufi, yang menganggap sesembahannya adalah hakikat alam yang pertama dan inti yang menjadi sumber kejadian segala sesuatu. Para rasul menurut pendapat mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui hakikat ini. Karenaitu para rasul tetap bcribadah kepada Allah dan mengajak manusia untuk beribadah,mengikuti syariat dan hukum-hukum-Nya. Sedangkan orang sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat adalah yang mengetahui hakikat ini dan juga mengetahui bahwa hamba adalah sesembahan, karena di dalam dirinya ada inti kejadian. Mereka menafsiri “Yangdiyakini” (dalam surat Al-Hijr: 99) seperti anggapan mereka ini. Dengan pengertian,sembahlah Allah hingga engkau mencapai hakikat ini. Jika engkau sudah mencapai tingkatan ma’rifat, maka tiada lagi kewajiban atas dirimu, tidak ada batasan wajib dan haram. Di antara propagandis pendapat ini adalah Ibnu Araby.