Belajar dari Kehidupan Finansial Rasulullah

Ada yang bilang bahwa Nabi SAW itu miskin, tapi ada yang bilang ia kaya. Manakah yang benar?  Rasulullah SAW pernah mengalami masa kaya raya, biasa-biasa saja, sampai masa sulit sekalipun. Sehingga kita selalu bisa mengambil contoh. Yang dicontoh bukan kaya atau miskinnya, tapi kita teladani sikapnya ketika berkelimpahan, maupun saat kekurangan. Saat miskin, ia tetap sabar dan menjaga kehormatan, tak pernah meminta-minta. Bahkan perutnya pernah diganjal batu agar tetap tegak dengan perut kosong. Saat kaya raya, Rasulullah sedekah luar biasa sampai ada yang bilang “Ia memberi seperti orang yang tidak takut miskin”. Dalam kondisi biasa, ia hidup bersahaja walau sebagai kepala negara. Tidurnya pun di atas pelepah kurma yang berbekas di punggungnya.

Darimana Nabi mendapatkan penghasilannya? Dan dikemanakan saja hartanya?

Di usia 12 tahun, Nabi SAW sudah mulai berdagang dengan magang pada pamannya yang memeliharanya sejak orang tua dan kakeknya tiada. Di usia 9 tahun pun ia sudah mulai menggembalakan kambing orang lain. Ia termasuk yang dipercaya oleh penduduk Mekkah kala itu. Di usia 17 tahun, beliau memutuskan untuk memulai bisnis sendiri karena pamannya mempunyai banyak anak dan kebutuhan. Jadi ia berdagang sendiri sejak itu.

Julukan al-Amin (yang dipercaya) diperolehnya dari mitra bisnis dan penduduk Mekah karena perilakunya yang terpercaya, tidak pernah bohong. Beliau sebagai mudharib (pengelola aset) dari para pemodal yaitu orang-orang kaya di Mekah dan mengelola harta anak yatim yang dikembangkan. Bukan cuma berdagang di Mekah, perdagangan internasional ke hampir seluruh semenanjung Arab juga dilakoninya pada usia masih sangat muda. Bisnisnya ini memegang peranan besar dalam dakwahnya nanti. Sifat jujurnya sebagai pengusaha menjadi modal besar dalam dakwah awal di Mekah. Wawasannya yang luas karena pengalaman bisnisnya pun memudahkannya dalam berinteraksi dengan objek dakwah dari negeri lain. Pernah pula seorang pendeta ahli kitab melihat tanda kenabian padanya saat perjalanan dagang dengan pamannya di usia remaja.

Saat mengelola bisnis Khadijah, beliau mendapatkan keuntungan sampai dua kali lipat dari pedagang lainnya, sampai diberikan bonus dan mendapatkan perhatian khusus. Khadijah mengutus orang lain untuk mengamati Muhammad, kenapa ia bisa untung besar dibanding pedagang lainnya. Muhammad adalah pedagang yang jujur dan amanah. Ia memeegang erat janjinya. Tak ikut-ikutan dan terpengaruh dengan pegadang lain yang berpesta untuk merayakan kesuksesan mereka. Hal itu menguatkan Khadijah untuk “bersinergi” secara bisnis maupun pribadi. Maka disampaikan maksudnya dan berjodohlah mereka. Bisnisnya, menguatkan perjodohannya, bukan sebaliknya, menikahi orang kaya buat melancarkan bisnis.

Bagaimana kehidupan finansialnya setelah itu?

Rasulullah sudah menggembala kambing dan berdagang sejak muda, serta mandiri di usia 17 tahun. Karena  interaksinya sebagai pengusaha yang jujur dan tidak pernah bohong, ia dijuluki al-Amin oleh penduduk Mekkah. Ini sangat membantu dakwah beliau.

Usahanya yg membuahkan hasil besar dan akhlaknya yang mulia, menjadi modal awal “merger” secara bisnis dan pribadi dengan Khadijah, sebagai pemodalnya. Bisnisnya menguatkan dakwahnya, bukannya dakwah buat kepentingan bisnis. Bisnisnya menguatkan perjodohannya, bukannya berjodoh demi bisnis.

Di usia 12, Rasulullah jadi employee, bekerja pada pamannya. Usia 17thn menjadi self-employed menjadi manager bisnis dari pemodal. Di usia 25 tahun, beliau menjadi businessman. Berbisnis sampai usia 37 tahun. Usia 37 tahun, Nabi mulai mengurangi kegiatan bisnis dan banyak memikirkan masalah sosial kemasyarakatan serta menyendiri ke gua Hira. Sampai kemudian di usia 40 tahun beliau meneriwa wahyu pertama dan mendapatkan perintah untuk menyampaikan wahyu Ilahi. Pada usia 40 tahun ini, beliau diangkat menjadi Rasul. Beliau memulai dakwahnya secara tertutup. Setelah dakwah terbuka, pengikutnya bertambah, tapi yang menentang juga banyak. Sampai kemudian mendapatkan perintah untuk berhijrah. Hijrah dilakukan secara bertahap dan sembunyi-sembunyi, meninggalkan kehidupan dan harta di Mekkah demi menjalankan perintah-Nya.

Setelah hijrah, para muhajirin harus memulai kehidupan finansialnya dari NOL kembali karena tak banyak harta yang dibawa. Langkah pertama yang dilakukan Nabi adalah mempersaudarakan muhajirin (pendatang) dan anshar (lokal) agar terbantu secara finansial. Setelah bangun masjid, pasar pun dibangun di Madinah. Ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi juga harus diperhatikan. Sebelum pasar dibuka, para sahabat bukan sibuk promosi dan launching. Tapi sibuk bertaubat, karena taubat adalah salah satu pintu rezeki. Meskipun start dari NOL setelah  hijrah, banyak sahabat yang kaya dari berdagang dan juga perkebunan (properti). Incomenya sebagai kepala negara adalah dari hasil perang, zakat, pajak, dll yang sangat besar. Meskipun begitu, beliau memiilih untuk tetap hidup sederhana. Beliau shalat dengan khusyu’ walau setumpuk rampasan perang dikumpulkan di belakangnya. Setelah shalat, beliau berbalik sambil tetap duduk, membagikan semua harta tersebut dan tidak bangun berdiri sebelum semua hartanya habis. Sampai-sampai ada kepala suku yang berkata “Ia memberi seperti tak takut miskin” sambil mengajak sukunya tuk masuk Islam.

Di periode Madinah ini banyak aturan muamalat yang turun, yaitu larangan riba dan pola bisnis yang haram. Bahkan Rasulullah mengecek langsung di pasar. Nabi cek sendiri di pasar. Jangan mencampur barang kualitas baik dengan yang buruk. Penghapusan riba hutang, dll.

Sebelum wafat, beliau menghibahkan harta untuk keluarga dan sedekah untuk dhuafa. Tidak meninggalkan harta waris. Harta bukan tujuan hidupnya, ia menolak sogokan emas dari Quraisy. Meskipun begitu, kekuatan finansial tetap harus dimiliki agar bisa hidup mandiri.

Disusun ulang dari Kultwit Ahmad Gozali