Saya temukan sosok ideal pegawai pajak pada mendiang suami saya. Hanya Allah pemilik kesempurnaan, dan Allah menciptakan sosok yang hampir sempurna bagi saya dan anak-anak. Ismail Najib nama lengkapnya. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana di pelosok Jambi. “Ayah,” kami biasa memanggilnya. Ibunya, mertua saya, memanggilnya Mael. Teman kantornya memanggilnya Najib –atau Pak Najib.
Abang pergi mendahului kami. Ia menitipkan tiga buah-hati kami. Dafi Muhammad Faruq, putra, umur enam tahun, kini kelas satu SD. Adiknya, dua putri cantik kami, Kayyisah Zhillan Zhaliila, usia tiga tahun dan Mazaya Hasina Najib, tiga bulan. Ketika Abang mangkat pada 21 Februari 2011, si bungsu masih dalam kandungan empat bulan. Meski telah pergi, Abang mendidik saya menjadi orang kuat dan mandiri. Dengan kondisi long distance, saya memilih homebase di Kota Kembang demi pendidikan anak anak. Dengan bekal ilmu agama yang Almarhum berikan, sekarang saya menjadi tahu apa itu arti syukur, ikhlas, dan tawakal. Itulah yang membuat saya harus bangkit menyikapi keadaan ini.
Pegawai Pajak, pekerjaan yang luar biasa “banyak godaannya”. Abang memberikan pengertian pada saya bahwa materi yang identik melekat dengan pegawai Pajak, jangan menjadi patokan kebahagiaan dan kesenangan. Karena, tidak semua orang Pajak bermateri (saat itu saya tidak mengerti apa maksudnya).
Hingga sekitar 2005, Abang mengutarakan puncak kegundahannya. Setelah bekerja selama satu dekade , kebimbangan itu pun terucap, “Bunda, Ayah takut apa Ayah sudah menafkahi keluarga ini dengan halal?” ia bertanya kepada saya. Banyak pandangan negatif terhadap pegawai Pajak saat itu –bahkan hingga kini. Saya bekerja di satu bank BUMN. Banyak nasabah dan teman seprofesi yang “curhat” tentang tindak-tanduk pegawai Pajak dan betapa ribetnya mengurus pajak –waktu itu, sebelum modern.
Kami melihat kenyataan bahwa saat itu ada pegawai pelaksana yang punya rumah dan mobil mewah. Abang seorang kepala seksi, dan kondisi itu yang membuat Abang sering memberi pengertian pada saya. Sebagai seorang istri pegawai Pajak, saya harus hidup sederhana dengan gaji sebagai PNS. “Jangan pernah terpengaruh dan mempengaruhi suami untuk mendapatkan sesuatu yang tidak halal,” Abang memberi nasihat.
“Apa gaji yang ayah terima ini halal?” kembali ia gusar. “Nafkahilah keluarga ini dengan keringatmu. Bun percaya, Ayah akan memberikan yang terbaik untuk kami,” jawab saya.
“Kira kira bagaimana jika Ayah keluar saja? Jadi guru ngaji,” tuturnya membulatkan tekad. Matanya berlinang. Saya pun ikut menangis saat itu.
“Ayah, apa gak mau lingkungan Ayah jadi lebih baik? Kalau Ayah mundur sekarang, gak ada perubahan di Pajak. Ayah harus mengubah kebiasaan itu. Pajak memerlukan orang seperti Ayah untuk bisa berubah. Ayah pasti bisa,” tutur saya menyambung percakapan waktu itu.
“Iya yah, Bun,” jawabnya. Kegelisahan itu akhirnya terjawab dengan modernisasi dan reformasi birokrasi DJP. Pada 2006, sampailah juga gelombang kantor modern di Jawa Tengah –waktu itu Abang dinas di Pekalongan.
Abang orang yang sangat sabar, tenang, tak banyak bicara. Malah terkadang tanpa ekspresi. Namun dalam diamnya, saya tahu ia tak diam. Selama kami bersama, belum pernah ia marah sekalipun. Ia laki-laki yang hangat dan update –selalu tahu semua hal. Diajak segala macam diskusi, pasti langsung nyambung apapun topiknya, apalagi soal agama. Keseimbangan itu yang kami teladani di rumah. Ia orang yang ngocol, kadang jail dan sangat romantis. Dengan gitar kesayangan, ia sering bernyanyi bersama anak-anak dengan kekonyolannya, melucu sampai tertawa terbahak-bahak. Itu semua momen yang kami rindukan.
Salah satu lagu pengantar tidur anak-anak yang sering dinyanyikan, “Demi masa, sesungguhnya manusia kerugian,melainkan yang beriman dan yang beramal sholeh, ingat lima perkara sebelum lima perkara, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, hidup sebelum mati…”
Loyalitas dan dedikasinya yang tinggi tak diragukan. Saya acungi jempol. Saya ingat, saat itu saya sedang hamil enam bulan anak pertama. Tatkala terkena pengristalan batu ginjal, ia masih bekerja larut hingga hampir pingsan di sebuah klinik di Pekalongan. Opname yang dianjurkan dokter tak dihiraukannya. Saat itu hari-hari akhir penerimaan SPT wajib pajak. Operasi “tembak” adalah solusi yang kami pilih karena bisa lebih cepat pulih dan tidak usah dilakukan pembedahan. Saran dokter, opname selama dua minggu. Namun, bedrest hanya bertahan tiga hari. Kala itu belum ada mesin absen fingerprint. Masih serba manual dengan tanda tangan. “Titip absen saja, kenapa?” saya saking kesalnya memberi saran. “Lagi sakit kok mikirin kerjaan, gimana bisa orang sakit kerjanya maksimal?”
Abang hanya tersenyum mendengar kekesalan saya. Alhasil, dengan keadaan yang masih lemas, ia tetap kerja. “Sakit itu ujian dari Allah. Harus kita nikmati,dan jangan mengeluh,” jawabnya simpel.
Tiga tahun tugas di Pekalongan dilalui dengan baik. Lalu, Abang mutasi ke Palembang. Satu sisi lebih jauh dengan kami. Tapi di sisi lain, lebih dekat dengan kampung halamannya. Alhamdulillah, Agustus 2010, kami didekatkan. Abang mutasi di Kantor Pelayanan Pajak BUMN, kantor pajak dengan penerimaan terbesar, yang perlu effort lebih tentunya. Saya hanya bisa berdoa agar setiap langkah yang Abang ambil adalah yang terbaik. Saya dan Ibunda tercinta –mertua saya–
mengkhawatirkannya. Semoga ia selalu sehat dan jauh dari “godaan”. Setiap minggu Ibunda selalu mengingatkan, “Mael, hati-hati dalam setiap memutuskan sesuatu. Jadilah orang yang jujur dan jangan sampai tergoda dengan duniawi ya.”
“Kenapa suamimu gak minta pindah di Bandung saja? Kan bisa lewat Si Anu. Yah, minimal setor satu Kijang lah,” salah satu teman saya yang suaminya juga di Pajak mengipas-kipasi. Saya tak tahu maksud ucapannya, apakah ia bercanda atau serius.
Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum saat saya ceritakan hal itu. “Sudah, gak usah dipikir. Allah punya rencana yang lebih indah untuk kita. Yah kita berdoa saja. Sekarang Pajak sudah modern udah gak perlu kayak gitu lagi kok. Yang penting kerja kita bagus. Apapun yang kita lakukan karena Allah. Malah jadi ibadah kan?”
Ketika kasus Gayus terekspos, tentu ini mengecewakan banyak pihak yang telah bekerja keras. Di satu sisi justru suami saya senang. “Pada akhirnya, biarlah yang benar yang akan menang,” tuturnya. Di sisi lain, kita harus membuktikan bahwa tidak semua orang Pajak seperti Gayus. “Orang Pajak sekarang beda dengan yang dulu. Sudah modern, sudah tidak ada lagi ‘kebiasaan’ Itu,” tuturnya yakin. Secara tidak langsung saya pun ikut menjadi “jubir” bagi teman-teman di lingkungan saya.
Kebiasaan Abang yang lain adalah ingin perfeksionis. Ia ingin segala hal sempurna, rapi, dan sangat teliti. Tak mau meninggalkan cela pada pekerjaannya. Contoh kecil saja, saya kalah bila harus menyetrika bajunya. Tanpa menyakiti hati saya, ia bilang lebih puas dengan hasil setrika sendiri.
Februari 2011, Abang mengemban amanat, jadi satu anggota tim yang menyusun sebuah buku coaching di Kantor Pusat. Ia siap mengutarakan sejumlah gagasan untuk penyempurnaan program itu. Sayang, dalam perjalanan menuju medan tugas itu, Abang menyongsong takdirnya. Satu titik dalam sebuah periode yang mengubah total kehidupan saya dan anak-anak.
* * *
Dua kali kami tertunda berangkat haji. Pada akhir 2008, kami sudah siap. Namun, Abang mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang tugas dari Palembang menuju Jambi. Tabungan kami untuk Ongkos Naik Haji pun akhirnya terpakai untuk biaya mengganti mobil dinas Livina yang ringsek. Abang tak mau memanfaatkan fasilitas asuransi kendaraan kantor. Dia memilih bertanggung jawab sendiri. Uang bisa dicari, mungkin Allah belum berkehendak. Yang penting Abang selamat. Tahun 2009 pun kami lewatkan. Maklum, masih belum cukup biaya untuk melunasi. Hingga akhirnya, 2010, saya mantap naik haji. Berapapun biayanya. Apapun kendalanya. Saya berdoa, “Mudahkan ya Allah, kami ingin beribadah.”Alhamdulillah, ada jalan walaupun kami harus memanfaatkan pinjaman kantor saya. Itupun Abang masih ragu, “Bunda, apakah ini hak kita?” tanya Abang. Padahal, dengan gajinya sekarang, mungkin Abang bisa saja langsung melunasi ONH. Namun tidak demikian. Abang masih bersikeras dengan alasannya. Alhamdulillah akhirnya saya dapat memantapkan hati Abang. Dengan izin-Nya, kami bisa melunasi ONH dari hasil tabungan gaji pokok PNS, bonus, dan sedikit tambahan pinjaman. November, tiga bulan sebelum kehilangannya, berangkatlah kami berdua.
Sepertinya Allah sudah menyusun rencana dengan sangat indah. Empat puluh hari saya bersamanya di tanah suci adalah waktu yang sangat indah dan tak dapat saya lupakan. Selama kami berumah tangga dari awal menikah, kami belum bisa kumpul bersama. Saat itulah saya merasakan indahnya kebersamaan yang tak ingin terpisahkan. Sempurna rasanya sebagai istri yang bisa melayani dan mengurus suami. Begitupun Abang. Ia menunjukka keceriaan yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Abang adalah tipe orang yang sangat perhatian dan romantis. Satu kali kami hendak salat dan saya berdiri di samping belakangnya. “Bunda salatlah di saf (barisan) perempuan.” “Tapi, Ayah… Bunda sendirian.” kebetulan saat itu suasana padat sekali di Masjidil Haram. Saya sempat mengelak.
“Berjihadlah, ayah bertanggung jawab mendidik Bunda dan anak-anak.” Sedih rasanya mendengar jawaban itu. “Bunda harus terbiasa sendiri,” sambung Abang.
“Kenapa, Yah?”
“Karena kita lahir sendiri. Mati pun sendiri.”
“Jangan bilang gitu yah. Anak-anak masih kecil.”
“Ada Allah yang menjaga anak-anak,” Senyumnya membuat hati saya merasa tenang dan yakin. Ternyata ini pesantren yang Allah berikan lewat ilmu agama yang baik dari Abang. Saya dapat pengetahuan banyak.Terima kasih ya Rabb, Kau telah memberikan kesempatan untuk kami dapat beribadah bersama. Sungguh, momen itu tak mungkin bisa terlupakan. Banyak nikmat yang kami terima sampai kami tiba ke tanah air dengan selamat. Hadiah terindah dari Tanah Suci, saya positif hamil.
Beberapa peristiwa merupakan pertanda yang tak saya sadari. Tanggal 9 Februari 2011, dua pekan sebelum hari celaka itu, kami nonton teve bareng. Ada berita tentang selebritis yang jadi politisi kehilangan suaminya –yang juga artis cum anggota Dewan. Sang istri menangis mengelus-elus nisan suami. “Kalau Bunda seperti itu gimana, ya Yah? Anak-anak masih kecil…” spontan saya nyeletuk dengan maksud bercanda.
Entah kenapa rasa humor yang seperti biasanya, hilang tergantikan dengan tausyiah. “Itu yang tidak boleh,” tuturnya tenang, “menangis, meratapi di pusara tidak baik. Yang diperlukan orang yang telah meninggal adalah doa dari yang masih hidup, bukan bunga yang wangi atau nisan yang indah. Saat Nabi Muhammad ditinggal istri tercinta Khadijah pun beliau merasakan kehilangan dan hanya berkabung tiga hari. Boleh menangis, asal jangan meratap.”
“Hidup di dunia hanya sementara, justru hidup setelahnya yang akan kekal. Perbanyaklah bekal untuk di akhirat. Tiada daya upaya manusia untuk mencegah bila Allah telah berkehendak untuk mengambil nyawa manusia. Jangan takut, Allah lebih dekat dari urat nadi kita. Banyak baca buku tentang agama, yah Bun. Biar tambah banyak ilmunya.”
Dengan senyuman khas yang menenangkan, Abang tak pernah seperti sedang mengajari bila ia sedang berbagi ilmu. Abang berujar, “Tolong jaga anak-anak. Didik agamanya dengan baik. Istikamahlah karena bila agamanya kuat dan takut kepada Allah, dia bisa menghadapi dunia dengan ilmu. Bukan dengan harta dan ingat Allah selalu tahu apa yang kita perbuat.”
* * *
Semenjak pulang ziarah, Abang memperlakukan saya begitu istimewa. Mungkin karena saya sedang hamil. Saya begitu dimanjanya. Hingga Minggu malam itu (20/2)… Kehamilan dua anak sebelumnya, Abang tak pernah menuruti keinginan saya, sekalipun merajuk jika meminta sesuatu. Tapi malam itu… “Kita makan di luar yuk. Bunda pasti pengen apa deh. Kan lagi hamil muda. Ayo lagi kepengen apa?” ujarnya setengah memaksa untuk pergi. Akhirnya kami pergi makan di sebuah resto ikan bakar favoritnya. Karena lama tugas di Makassar, kuliner ikan wajib sebulan sekali buat kami. Abang memesan menu lebih banyak dari biasanya. Alasannya, bisa dibungkus untuk sahur. Alhamdulillah, Senin-Kamis tak pernah terlewatkan untuk puasa sunah. Apa ini yang disebut pertanda? Hendak berangkat ke resto, kami mendapati ban mobil kempes. “Bersyukur, Bunda. Kita keluar rumah nih. Ban kempes, kalo ketahuannya besok pagi, bisa-bisa Ayah kesiangan rapat di Kantor Pusat. Ayah yang menyiapkan ide, masak terlambat? Gak enak dong.”Lagi lagi dengan senyumanya.
Tengah malam, Kayyisah panas dan muntah. Rewel sekali. “Dede (panggilan Kayyisah) pengen tidur sama Ayah aja…. Pengen dipeluk Ayah… aku sayang Ayah. Ayah gak boleh kerja,” rengeknya. Abang pun membuka baju, dan memeluk Dede. Dan Alhamdulillah panasnya reda. Dede pun terlelap.
Pukul setengah tiga dini hari, kami bangun salat tahajud. Biasanya, kami selalu berjamaah. Setelah berdoa, kami berpelukan, saling meminta maaf. Ritual itu tak pernah absen kami lakukan sehabis salat. Tapi kali ini Abang minta salat sendirian. “Kita pisah yah. Ayah mau memperbanyak salat tahajudnya.”
“Kenapa?” pertanyaan itu mestinya saya ungkapkan. Tapi tertahan di hati saja.
Ikan bakar yang seharusnya jadi menu sahur tak Abang sentuh. Malah, Abang meminta buah. “Bun, tahu gak buah-buahan itu makanan di surga. Jadi Ayah cukup sahur dengan apel aja.” Saya tak bertanya, dua minggu terakhir ini Abang bertausyiah tentang kematian terus. Keanehan yang lain, Abang menitipkan Dede sama Mbak (pengasuh anak kami) berulang-ulang.
“Tak seperti biasanya, Bapak nyuruh jagain Dede berulang gitu. Kok kaya mau kemana aja,” ujar Mbak kepada saya. Jam 03.30 pagi. Saya dan Dafi mengantarnya hingga ke pool travel Xtrans di Metro Trade Center. Keanehan yang lain terjadi lagi. Abang tak mau memandang saya. Seperti orang yang sangat sedih mau pergi. “Ayah mau salat di mobil saja. Bun, hati-hati ya. Titip anak-anak,” itu kalimat terakhirnya. Biasanya Abang minta berhenti di rest area guna salat subuh.
Tepat pukul 04.30. Ring tone hape yang sengaja saya bedakan berbunyi. Abang menelepon saya. Sayang, tak sempat saya angkat karena rasa kantuk. Kami begadang karena Dede rewel semalaman. Seandainya saja saya bisa angkat telepon itu, mungkin saya bisa mendengar suaranya yang terakhir kali…
Pukul 04:35. Menurut catatan kronologis Jasa Marga, peristiwa di Tol Cipularang Jalur B Km 100 itu terjadi. Tabrakan karambol yang melibatkan satu truk, minibus travel, dan sebuah mobil, menewaskan tiga orang. Semuanya penumpang travel. Abang meninggalkan kami dalam keadaan puasa. Dan mungkin tengah mendirikan salat subuh. Dalam perjalanan memenuhi tugas.
Di mata saya, Abang wafat dalam jihad. Wallahualam –Tuhan yang punya ketentuan.
Allah punya kehendak lain. Allah lebih mencintai Abang daripada kami. Dia lebih berhak atas Abang daripada kami. Ajal, jodoh, dan rejeki hanya Allah yang tahu kapan dan di mana. Takkan pernah ada yang bisa menghalangi atau pun tertukar. Bila Allah telah berkehendak, tak ada yang mampu menahannya. Allah memberi kesempatan untuk saya agar lebih dekat dan banyak beribadah lagi. Insyaallah ini menjadi ladang ibadah.
Menyangkut kejadian ini, jangan ditanya rasa sedih. Yang saya rasakan hingga saat ini, air mata sepertinya tak bisa kompromi, seakan mendesak keluar, jika mengingatnya. Namun, saya ingat pesan almarhum. Saya tak boleh larut dipermainkan pikiran “seandainya-seandainya”. Itu semua sudah kehendak-Nya. Tak kurang dan tak lebih. Sudah begitu adanya. Hanya doa saya dan anakanak yang bisa kami berikan untuk kekasih kami… Ismail Najib.
Belakangan saya mengetahui bahwa di perjalanan, Abang sempat berkirim posting pada sebuah
grup teman kerja di Blackberry. Itu posting terakhirnya.
* * Feb 21 Mon 04:04 * *
Najib:
Dengar suara adzan selalu tdk dihiraukan atau nanti sajalah
Tp dengar suara HP woow .!! :p
Lgsung segera diambil,
Astgfirullahal’adzm. . : (Baca Al-qur’an
Seperti orang mengeja
Tapi kalo baca bbm Buseett lancarnya,.:$
Astagfirullahal’adzm. .Beli pulsa siapa takut !
tp kalo sedekah katanya kantong lg sekarat
Astagfirullahal’adzm. .Pegang tasbih 1x dlm sethun
tp pegang HP dibawa selalu, walau tidur sekalipun.
Astagfirullahal’adzm. .sama2 Insyaf yuuukk.!!! :p
Ada baiknya bbm ini disebarkan, mumpung grtisan, dan qm
pun mendapat pahala karna
saling mengingtkan sesama* * *
Sabtu (19/2), dua hari sebelum kejadian, kami kontrol kandungan. Usia kandungan menginjak bulan keempat. Keinginan Abang untuk dikaruniai anak kembar putri membuat dokter Sofi geli dibuatnya. Tak seperti biasanya, dia ngebet ingin tahu apa jenis kelaminnya. “Perempuan atau laki-laki, Dok? Satu apa kembar Dok?”
“Bapak mau ke mana sih? Kayak mau pergi jauh aja. Banyak banget nanyanya. Masih empat bulan nih…”kata Dokter bercanda. “Pengen tahu, apakah doa saya makbul atau gak.” Setelah cek, diketahui calon anak kami rupanya perempuan. Tapi, “bukan kembar,” tutur Dokter. “Gak apa-apa. Tahun depan bikin lagi yah Bun,” jawabnya sambil melirik saya.
“Enak aja,” sahut saya bercanda. Rasa gembiranya tak bisa ditutupi. “Ayah makin semangat kerja nih,” ujarnya, masih dengan senyuman mautnya.
Sebulan kemudian, saya kembali kontrol. Kali ini… sendirian. Juga untuk lima bulan ke depan hingga melahirkan. Dan bertekad membesarkan anak anak saya sendiri. Ini masa yang sulit untuk saya bisa melaluinya. Kesedihan selalu saya tutupi. Dalam keadaan hamil besar sendiri tanpa suami. Betapa sesak rasanya, ujian ini begitu berat pikir saya. Terpuruknya saya seperti hilang separuh nyawa. Tapi rasa sayang pada Almarhum membuat saya bertekad harus bisa dan kuat!
Satu lagi yang membuat saya bangga, Abang tak pernah absen salat berjamaah di masjid. Sampaisampai di kompleks masjid kami, Al-Hasan, Abang disebut “Pak Ustad”. Para jamaah sudah tahu kebiasaan Abang : paling lama berdoa setelah salat.
* * *
Bagaimana caranya? Apa saya sanggup membesarkan tiga orang anak ini? Menjaga dan mendidik mereka seperti wasiat Almarhum? Dan ternyata, perkataan Abang benar, “Allah yang menjaga.” Ini yang membuat kami bangkit menjalani kehidupan selanjutnya. Saya bersyukur, Abang mengajarkan “ilmu ikhlas”. Masih banyak ilmu yang diberikannya yang baru saya mengerti sekarang sepeninggal Almarhum . Ternyata keikhlasan berbalas pertolongan dari arah yang tak disangka.
Saya sempat down sewaktu mengurus segala sesuatu terkait hak suami saya. Sangat ribet. Banyak dokumen yang perlu dilengkapi. Proses di Kelurahan dan instansi lain cukup berbelit. Saya dihadapkan pada birokrasi yang sangat panjang tanpa kejelasan prosedur. Namun rupanya banyak uluran tangan yang membantu. Allah memberikan jalan kemudahan bila kita berpasrah dan ikhtiar. Saya bersyukur karena masih bisa bekerja. Kini, sayalah yang harus mencari nafkah demi anak-anak. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dengan keadaan istri yang sama dengan saya dan tidak bekerja?
Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman seangkatan Abang (Mas Pank dan Mbak Tri).
Teman sepaguyuban telah banyak membantu dan memberikan support (baca boks “Pak Najib di Mata Mereka” –peny). “Apakah saya berhak menerima ini? Jika memang berhak, Alhamdulillah,” saya bertanya kepada Mas Iwan, perwakilan teman seangkatan Abang, yang menyerahkan santunan. Biaya sekolah Dafi juga terbantu berkat mereka. Terus terang, saya kaget dan bersyukur, sepertinya saya tak sendiri. Ada keluarga baru yang menemani kami.
Saya juga berterima kasih kepada teman-teman sekantor Abang. Mbak Rini (Ibu Dwi Setyorini, Kasubag Umum –peny) dan tim Waskon mengurus pencairan hak-hak almarhum. Sejak Februari, baru Oktober ini selesai. Pak Joga (Bapak Joga Saksono, Kasi Pengawasan dan Konsultasi –peny), serta Pak Yond Rizal (Kepala Kantor –peny). Kepala Kantor yang telah mengusulkan Abang memperoleh predikat anumerta. Status anumerta menegaskan bahwa Abang mangkat sewaktu menjalankan tugas.
** *
Tak ada yang banyak berubah dari rumah ini. Kecuali tinggi lantai yang terpaksa saya naikkan 50 cm. Maklum, dua tahun terakhir, tiap hujan turun, kompleks kami dilanda banjir. Air masuk hingga semata kaki. Rencana menambah tinggi lantai sempat saya utarakan. Itu pun saya lakukan karena masa kelahiran si bungsu kian dekat. Kasihan si kecil. Namun pesan mendiang tetap terngiang, “Bagaimana dengan perasaan para tetangga? Kalau rumah kita tinggi sendiri, bagaimana dengan mereka? Kita jangan egois, Bunda.” Bahkan, untuk mengganti cat dinding yang baru, Abang harus tengok kiri-kanan dulu.
Pernah ada teman nyeletuk, “Gue aja udah punya rumah tiga. Suami lu kan Kasi.rumah dipinggiran ” Mendengar hal itu, nasihat beliau sederhana, “Gak usah ngiri. Kita harus bangga dengan apa yang kita punya.syukuri yang ada, Jangan harap suamimu akan mengambil sesuatu yang lebih dari haknya.” Yah, rumah ini sejak kami beli dan tempati pada akhir 2005, masih harus kami cicil hingga 10 tahun ke depan.
Tak ada yang banyak berubah dari rumah ini. Pigura mungil foto perkawinan kami masih terpajang. Kami memakai sepasang baju dan kebaya biru nyala segar. Dua buah foto kami berdua, saling berpelukan dan tersenyum juga masih ada. Foto keluarga, waktu itu masih dua anak, kami kompak memakai putih-putih, bertengger manis. Ada juga foto Dafi, alangkah gagahnya ia, saat wisuda TK Al-Biruni angkatan 2010-2011. Si sulung juga mempersembahkan piala Juara Kedua Lomba Gerak dan Lagu Geordase TK se-Kecamatan Penyileukan 2011. Di atas meja belajar Dafi dalam kamar, senantiasa berdetak jam dinding warna biru dari KPP Madya Palembang.
Semuanya masih ada pada tempatnya, seperti saat Abang masih bersama kami. Tak ada yang berubah… kau selalu di hati kami. Minggu malam itu, sebelum berangkat menjemput takdirnya, Abang menulis surat di buku Dafi dengan tinta ungu.
SURAT untuk:
Dafi jagoan ayahDafi, ayah mau berangkat kerja dulu ya.
Abang jagain bunda sama dede yah.Abang emam nya yang banyak ya..
jangan lupa minum susu dan sikat gigi
kalau mau bobo.Belajar yang rajin
jangan lupa belajar solat.da dah Abang…
peluk sayang
dari ayah
(Ayah Najib)
ttd
Tak akan ada yang berubah dari rumah ini. Kecuali anak -anak yang bertambah besar. Anak-anak tetap ceria. Bermain bersama teman mereka di depan televisi di ruang tengah. Saya tak mau menangis di depan mereka, tiap kali mengingat Abang. Kalau kepergok Dafi, dia mengingatkan, “Bunda nangis ingat Ayah yah? Kata Bu Guru, kalau teringat ayah kita mesti berdoa, Bunda. Ayah sudah di surga, Bunda. Berarti Ayah sudah berkumpul dengan Nabi Muhammad. Kan masih ada Abang (panggilan Dafi), Kaka (panggilan Kayyisah setelah punya adik) dan Dede. Kita berjuang bersama-sama, ya Bun. ” Saya takjub mendengarnya. Anak seusia Dafi sudah bisa bertutur seperti itu.
Satu lagu sering dinyanyikan Almarhum untuk saya. Dan sekarang saya persembahkan untuk beliau: “Takkan Terganti”.
meski waktu datang dan berlalu
sampai kau tiada bertahan
semua takkan mampu mengubahku
hanyalah kau yang ada di relungkuhanyalah dirimu
mampu membuatku jatuh dan mencinta
kau bukan hanya sekedar indah
kau tak akan terganti
Delapan bulan sudah berlalu tanpa kehadirannya.Yah, memang tak ada yang banyak berubah dari rumah ini begitupun dengan hati kami, Kami ingin sekadar menganggap Abang sedang berangkat kerja. Hanya, Ayah masih belum kunjung pulang. Selamat jalan Ayah akan kubesarkan dan kudidik anak kita seperti yang kau inginkan,semoga Allah selalu melindungi kami dan Semoga kita dapat berkumpul di surga kelak. Kau akan selalu ada bersama kami Peluk sayang kami yang menyayangimu..
Ummu Dafi – Bandung
Oktober 2011
Dinukil dari Buku Berkah II