Kekeliruan Mindset Pendukung Emansipasi

Setiap bulan April, selalu memperingati seorang tokoh emansipasi wanita yakni RA Kartini. Tokoh asal Jepara ini mendapat tenpat istimewa di lembaran sejarah Indonesia khususnya sejak Pak harto berkuasa. Berbicara tentang emansipasi wanita di Indonesia sangat menarik karena banyak hal yang dapat dikritisi. Dalam artikel ini, penulis ingin mengulas emansipasi wanita dalam lintas iman. Dr. Syamsudin arif dalam artikelnya berjudul Menyikapi Feminisme dan Isu Gender (Hidayatullah online, 25 Oktober 2005), beliau menyatakan bahwa gerakan emansipasi wanita muncul di dunia barat karena memang sejak lama wanita dipandang sebelah mata. Di dunia Barat. Sejak lama wanita dipandang sebgai budak. Yang mana tugasnya ialah sebagai pembantu rumah tangga. Sedangkan pederi- pederi gereja menunding perempuan sebagai pembawa sial. Demikian pandangan dunia barat terhadap perempuan.

Parahnya pandangan negatif semacam ini sudah mengakar di Barat, ditambah lagi menjadi ciri khas mereka yang tak terpisahkan dari nilai-nilai sosial dan budaya mereka. Karena mendapatkan justifikasi dari para tokoh mereka, mulai dari era filosof Plato, Aristoteles, hingga tokoh-tokoh awal abad moderen semacam John Locke dan Nietzsche. Melihat dari fenomena dan latar belakang sejarah kelam menegenai pandanagan barat terhadap wanita ini, maka tidak heran jika kemudian wanita di Barat melakukan pemberontakan dan reaksi keras terhadap pandangan dan stigma hitam pada wanita ini. Sebab bagaimnapun, tata nilai yang di bentuk masyarakat di barat ini bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang sangat asasi dalam diri setiap manusia.

Realitanya gerakan perlawanan kaum hawa terhadap nilai-nilai negatif yang di bentuk masyarakat barat terhadap wanita ini dikenal dengan gerakan emansipasi wanita, yang menandai babak baru bagi relasi antara laki-laki dan perempuan di dunia barat. Gerakan ini bertujuan untuk mengangkat martabat wanita agar sejajar dengan kaum pria ini malah menjadi bumerang dan kian menumpuk banyak problem. Sebab ternyata gerakan emansipasi wanita tidak bisa menciptakan keharmonisan antara laki-laki dan perempuan, karena ide dasar yang didengungkan dalam gerakan emansipasi wanita adalah ‘perang gender’.

Dengan gerakan emansipasi wanita ini, kaum hawa harus memulai babak baru dalam tatanan sosial mereka. Wanita harus meningkatkan daya tarik dan martabatnya terhadap laki-laki di dalam segenap dimensi kehidupan. Wanita harus sejajar dengan laki-laki kapan dan dimanapun. Wanita harus mampu barsaing dengan laki-laki di level apapun, bahkan kalau bisa melampaui laki-laki. Maka terjadilah perang gender yang tak berkesudahan.

Melihat latar sejarah, filosofi, dan dampak negatif emansipasi wanita di dunia barat yang kini bergulir di dunia islam, kita bisa mengambil kesimpulan dan sikap sebagai berikut: Pertama, gerakan emansipasi wanita hanya cocok di dunia barat yang mempunyai problem bias gender dan tidak diperlukan bagi umat islam. Alasannya sejak awal islam dan masyarakat muslim tidak pernah memiliki masalah dengan gender. Sedari dulu, Islam tidak pernah membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kualitas dan keutamaanya. Islam mengajarkan bahwa sosok yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Kedua, emansipasi wanita sama sekali tidak cocok untuk dunia islam dikarenakan perbedaan latar sejarah, visi ajaran dan hal-hal asasi yang lain. Akan tetapi sejumlah orang atau kelompok tertentu mencoba untuk mengekspor gerakan ini; menyerukan emansipasi wanita menjadi kebutuhan di seluruh dunia, baik dunia barat maupun timur, khususnya dunia Islam. Kaum emansipatoris ini membuat alasan yang mengada-ada, bahwa diferensiasi gender adalah produk sosial budaya. Mereka mengatakan pandangan dan nilai-nilai negatif dalam wanita adalah bentuk sosial, bukan terjadi karena alamiah, sehingga atas dasar itu wanita harus melakukan perlawanan atau gugatan guna mensejajarkan dirinya dengan laki-laki.

Ambil contoh, wanita bisa mengandung, mengalami haid atau mentruasi, lebih banyak di dominasi oleh perasaan, kelembutan dan kasih sayang dari pada rasio dan akalnya. Semua ini terjadi secara ilmiah dan tidak dikonstruk oleh tradisi manapun. Seluruh wanita di dunia mengalami hal yang sama. Seharusnya fenomena-fenomena semacam ini dibentuk oleh tradisi tertentu dan hanya terjadi di wilayah tertentu saja; tidak terjadi pada setiap wanita secara global. Hal yang salah dari mindset para aktivis gender ini adalah memandang bahwa fenomena alamiah yang terjadi pada wanita diaanggap sebuah kekurangan dan cacat. Ini sama sekali berbeda dengan islam yang tidak menilai tinggi-rendahnya derajat seseorang dari sisi alamiah badan dalam diri wanita dan pria. Diferensiasi alamiah meniscayakan perbedaan peran dan perbedaan peran tak berarti mengunggulkan yang satu serta menistakan yang lain. Tatkala wanita mengeluh pada Rasulullah saw karena tak diijinkan untuk berperang, mengantar jenazah dan hal-hal lain yang biasa dilakukan para kaum laki-laki. Maka Nabi menjawab, “Sikap baikmu kepada suamimu dan usahamu untuk memperoleh kerelaannya, serta ketaatanmu kepada suamimu, pahalanya telah menyamai itu semua.”