Sabtu atau minggu, buat muslimah pekerja yang masih ingin tetap menimba ilmu agama, akhirnya sering menjadi hari sakti sedunia. Begitulah, akhirnya banyak kelompok binaan yang memang hanya bisa diset hari sabtu atau minggu. Dan Aini, sebagai seorang ibu rumah tangga yang pekerja full timer tetapi masih ingin berbuat sesuatu untuk lingkungannya, juga menyediakan diri membina gadis-gadis muslimah belia itu setiap sabtu dan minggu di rumahnya. Waktu itu Aini dan suaminya baru memiliki satu anak, sementara gadis-gadis muslimah yang setiap pekan datang ke rumahnya masih single. Sebagian besar mereka adalah fresh graduate dari suatu sekolah kedinasan yang memang mensyaratkan harus bekerja di instansi tersebut setelah lulus kuliah D3.
Sejak sepekan sebelumnya, hari Sabtu itu sebenarnya Aini sudah berjanji dengan ‘murid-murid’ mengajinya, bahwa mereka akan piknik ke Taman Mini bersama. Rihlah jama’i, sebagai realisasi program kerja tahunan. Tapi, Aini menjadi gelisah. Sebab sejak dini hari itu, Dinda anak Aini, sakit panas. Apakah mungkin dek Dinda ia tinggalkan begitu saja? Atau lebih baik dia pamit kepada gadis-gadis itu bahwa hari itu dia tidak dapat menemani mereka piknik ke taman mini? Atau, acara rihlah mendadak dibatalkan saja, diganti mengaji di rumahnya seperti biasa?
Saat itu komunikasi tak semudah sekarang. Hape belum menjadi trend. Tak semua rumah juga terpasang telpon PSTN. Jadi yang diandalkan tentu saja adalah hasil kesepakatan pekan sebelumnya. Dan sabtu pagi itu, sebagian dari mereka sudah datang ke rumah Aini. Rencananya, mereka memang akan naik bis umum bersama-sama, start dari rumahnya. Melihat murid-muridnya berdatangan, Aini makin gelisah. Dibatalkan saja pikniknya, tentu adek-adek itu akan kecewa. Dipersilahkan tetap berangkat rihlah tanpa dirinya, juga akan kecewa. Tapi kalau dia berangkat menemani mereka, bagaimana dengan Dinda yang sedang sakit panas dan tentu butuh pendampingan dari ibunya?
Suaminya yang peka, tampaknya menangkap kegelisahan dari raut muka Aini. Dengan sigap, dia berkata, ”Gak papa kalau mau berangkat rihlah dengan adik-adik. Nanti Mas yang jagain Dinda selama nggak ada ibunya”.
Subhanallah, bahkan tanpa diminta pun, suaminya menawarkan diri untuk sebuah solusi taktis. Tapi, Aini masih gamang.
“Gakpapa gitu, Dinda ditinggal Ain pergi?”
“Gakpapa. Lagi pula kan ada si embak. Mamas takut adik-adik itu akan kecewa kalau Aini gak ikut bersama meraka. Kan program rihlahnya sudah dirancang lama, ” jawab suaminya sambil menepuk-nepuk bahu Aini, mberusaha meyakinkan dirinya.
Aini tersenyum lega, dan ujung matanya sedikit berkaca. Dia tak menyangka suaminya menawarkan solusi yang begitu bijak. Mulailah dia menyiapkan diri untuk pergi besama adik-adik muridnya. Tak lama, dengan haru dan takzim mencium tangan suaminya dia berpamitan pada suaminya yang baik hati itu, ”Ain pergi ya Mas, semoga Dinda baik-baik saja”.
Akhirnya, Aini berangkat rihlah dengan adik-adik ke taman mini. Tak bisa dipungkiri, selama rihlah Aini kepikiran terus dengan kondisi Dinda. Namun dia juga berusaha mengikuti acara demi acara yang telah disusun oleh adik-adik itu. Dalam hati, Aini hanya bisa berdoa, semoga Dindanya yang lucu baik-vaik saja dan segera sembuh. Memantau dari jauh kondisi Dinda dari menit ke menit? Pakai apa? Telepati? Hape pun pasangan itu belum memiliki. Masih barang sangat mewah saat itu.
Siang menjelang sore, acara rihlah selesai. Sampai di rumah, Aini tergesa masuk kamarnya, ingin melihat Dinda. Mendadak hatinya masygul, saat dia lihat Dinda yang makin lemas dalam gendongan ayahnya. Apalagi saat suaminya bercerita, bahwa selama dia pergi Dinda sudah muntah berkali-kali dan suhu tubuhnya meninggi.
”Maafkan Ain, Mas. Malah pergi jalan-jalan hampir seharian,” ucap Aini lirih, diliputi rasa bersalah karena tak bisa mendampingi Dinda dari awal dalam kondisinya yang sakit begitu.
“Lho kenapa minta maaf? Ini kan sudah keputusan kita bersama tadi pagi. Cuma Mas memang nunggu Ain pulang untuk periksakan Dinda. Yuk, sekarang kita ke klinik”, jawab suaminya, membesarkan hatinya kembali.
Segera mereka pergi ke klinik, tak jauh dari rumah.
Alhamdulillah, sepulang dari dokter kondisi Dinda pulih dengan cepat. Malam itu, Dinda sudah tak muntah lagi dan mulai bisa tidur tenang.
Memang, saat menikah karena niatan dakwah, itu adalah awal komitmen. Tapi komitmen itu akan terus diiuji sepanjang karir perjalanan pernikahan. Dan lalu, ada yang terus melaju kencang, berperan aktif dalam berbagai bidang sedang peranan dalam keluarga juga tak termarginalkan. Ada yang maju tapi dengan perlahan, pelan tapi pasti. Mungkin seperti siput, tapi karena kesabaran akhirnya sampai juga pada tujuan. Ada juga yang seperti orang duduk di tempat, tak maju tak juga mundur. Dan ada juga yang mundur jauh ke belakang, jatuh dan terlena dengan kesibukan urusan rumah tangga keseharian, yang memang seolah tak ada habisnya jika tak pandai mengelola.
Maka, agar tetap bisa melaju hingga ke tepian, memang harus ada upaya yang sungguh, untuk terus saling menyemangati dalam perjalanan dakwah nan panjang ini, yang awalnya menjadi komitmen bersama. Dan itu tak mudah, tapi bisa, jika kita mau berupaya.
Maka, Aini merasa sangat bersyukur. Alhamdulilah atas anugerah Allah yang indah, telah memberikannya suami yang selalu menyemangati dalam dakwah, juga mau dan mampu bersinergi dalam berbagi peran urusan kerumahtanggaan, semata-mata agar dakwah yang menjadi kewajiban masing-masing tak terlalaikan. Sungguh Aini merasa, sebagai istri, apa dayanya jika suami melarang ke luar rumah? Bagaimana jika suami sama sekali tak mau bergantian mengasuh anak-anak saat dia harus pergi jauh untuk urusan dakwah, di saat rumah tangga mereka tak memiliki khadimat? Bagaimana dia harus bersikap jika suami mengancam akan menalaq seandainya tetap nekat pergi karena urusan dakwah, seperti kisah nyata yang pernah ia dengar? Membayangkan saja, dia sudah merinding.
“Allah, jauhkan… jauhkan aku dari hal seperti itu,” doanya cepat-cepat.
Malam itu, memandangi Dinda, Aini bernafas lega. Dia pandangi juga wajah suaminya yang sedang tidur pulas di samping Dinda. Tampaknya suaminya kecapekan karena seharian mengurusi anak sakit. Terharu sekali Aini melihat wajah yang sedang tidur pulas itu.
“Terima kasih ya Mas, untuk pengorbananmu. Alhamdulillah Ya Rabb, sungguh aku tak yakin, jika bukan kau Mas, apakah akan mau melakukan hal seperti ini?” batinnya dalam hati, sambil menyeka ujung matanya yang tetiba membasah.
For those who haven`t used it yet, academic writing help send to dropbox is a web tool that allows you Writemypaper4me to email file to your dropbox.