Tidak hanya dalam kancah perpolitikan dunia kampus, keluarga khususnya keluarga dakwah juga bisa dianalogikan sebagai sebuah miniatur negara. Karena secara general, beberapa komponen pengelolaan sebuah negara, bisa diimplementasikan dalam sekup keluarga. Maka tidak berlebihan jika saya sependapat dengan sebuah teori struktural-fungsional dalam kajian sosiologi, yang dikutip dalam sebuah buku tertentu, menyebutkan bahwa “family is the best unit of society”. Artinya, jika unit-unit keluarga dalam suatu negara kokoh, maka hal yang sama akan terjadi dalam negara tersebut, dan sebaliknya. Hal ini jugalah yang memunculkan persepsi mengenai karakteristik pemimpin yang baik versi kondisi krisis kepemimpinan seperti saat ini, yaitu : “Jika ingin memilih seorang calon pemimpin, maka lihatlah bagaimana orang tersebut memimpin keluarganya”.
Berikut beberapa peran strategis keluarga dakwah yang saya peroleh dari beberapa sumber, sengaja saya tuliskan kembali dalam rangka merekonstruksi dan menyempurnakan ulang mindset mengenai definisi dan peran keluarga dakwah, yaitu antara lain :
1. Keluarga merupakan basis utama dakwah
Mengutip kalimat hebat dari Muhammad Natsir, “Ummie dan aba menjadi teman seperjuangan untuk mencapai cita-cita yang sama, dan sama-sama berjuang untuk itu. Kami sama-sama ‘mengisi hidup’ kami dengan pendirian dan perjuangan, agar hayat kami mempunyai arti”.
Keluarga merupakan muara utama dakwah, didalamnya terdapat dukungan kekuatan, ketenangan, strategi, semangat, recharge, dan kebarokahan. Maka seorang aktivis dakwah dalam mengampu amanahnya tidak terlepas dari “dukungan” keluarga terhadap aktivitasnya.
2. Keluarga merupakan basis utama perubahan masyarakat
Tidak ada kamusnya keluarga dakwah menjadi cenderung tertutup, individualis, dan bahkan tidak peka dengan kondisi masyarakat yang ada disekitarnya. Keluarga dakwah haruslah siap untuk menjadi problem solver bagi permasalahan yang mendera masyarakat, bahkan seorang penulis mengatakan, keluarga dakwah harus siap 24 jam ketika pintu rumahnya diketuk tetangga yang membutuhkan bantuan.
Keluarga adalah tim dakwah, di dalamnya terdapat proses diskusi permasalahan dan pemetaan keumatan, terdapat analisa kasuistik, dan juga solusi berupa strategi implementatif dan prioritas atas permasalahan keumatan yang sedang diperbincangkan. Semua hal tersebut dilakukan atas dasar semangat perubahan masyarakat menuju kearah perbaikan.
3. Keluarga sebagai wahana Pendidikan politik
Saat ini masyarakat sudah sangat jengah dan jenuh dengan konflik, intrik, dan segala macam manuver politik yang kerap dipertontonkan di media massa. Hal itu yang akhirnya menimbulkan sikap dan tindakan “untrust” dari masyarakat terhadap politik. Salah satu bentuk untrust dari masyarakat adalah “apatis”. Ini terjadi karena media massa kerapkali menayangkan pemberitaan politik yang tidak berimbang dan mengedukasi, sehingga tidak ada lagi budaya klarifikasi dan berfikir objektif yang dapat dipelajari oleh masyarakat.
Keluarga dakwah sebagai wahana pendidikan politik, mau tidak mau harus lebih tidak apatis dari pada masyarakat) memperbanyak sumber wacana politik, kemampuan menganalisis yang objektif, dan kesadaran untuk mentrasnferkan segala informasi politik yang “sehat” kepada masyarakat. Hal ini sepatutnya tidak hanya dilakukan ketika menjelang pemilu saja, karena kepentingan keluarga dakwah atas pendidikan politik adalah murni ‘amar ma’ruf nahi munkar.
Selain berorientasi eksternal, pendidikan politik juga dilakukan di internal keluarga dakwah itu sendiri. Beberapa metode yang dapat dilakukan antaralain :
a. Kepemimpinan
“Leadership isn’t about position, but an action”. Suami, istri, dan juga anak semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk bersikap dan bertindak sebagai seorang pemimpin. Karena kepemimpinan adalah sikap, gagasan, tindakan, dan karakter. Selama ini mungkin kita terjebak dengan kepemimpinan yang selalu identik dengan jabatan, padahal itu semua hanyalah peran-peran manajerial saja. Mengajarkan dan membiasakan setiap element keluarga memiliki karakter pemimpin adalah peran dari keluarga dakwah atas pendidikan politik internal. Karena, secara tidak langsung keluarga dakwah adalah pencetak iron stock/muslim negarawan/pemimpin negeri ini.
b. Musyawarah
Membiasakan seluruh elemen keluarga untuk bermusyawarah sejak dini adalah hal yang baik. Karena dalam diskusi/musyawarah terdapat keterbukaan, keberanian menyampaikan gagasan, memutus sekat-sekat psikologis, mendekatkan hati, dan menghasilkan solusi yang diamini bersama. Keluarga yang dibiasakan bermusyawarah sejak dini akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang “matang” dalam menyikapi permasalahan. Ada banyak hal yang bisa dimusyawarahkan dalam keluarga, seperti life planning, pembagian peran, dan sebagainya.
c. Saling belajar dan membelajarkan
Topik ini adalah hal yang paling saya sukai, mengutip kalimat ibu Ratmini sudjatmoko (istri Alm. Dr. Soedjatmoko) yang ditanya pendapatnya mengenai suaminya,” dia adalah suami yang baik, guru yang baik, dan sahabat yang baik. Saya belajar dari dia mengenai politik, lingkungan hidup dan humanisme”. Menyayangkan sekali, ketika terdapat fenomena dimana banyak perempuan-perempuan cerdas yang ketika menikah dan menyandang gelar istri, tidak terkembangkan potensinya. Ini bisa jadi karena suami hanya menempatkan istri secara “sekedarnya”. Padahal Rasulullah membuktikan sebaliknya atas bunda Aisyah (sosok yang cerdas dan terkembangkan potensinya karena Rosulullah). Hal inilah yang kemudian menganalogikan keluarga sebagai “kelas”.
Alangkah indahnya keluarga yang mencintai ilmu, melebihi cintanya terhadap materi. Dan mereka sangat bersemangat terhadap kebenaran. Subhanallah..
Oleh: Rarasati Mawftiq, Jogjakarta