Keluarga, Pilar Kokoh yang Terlupakan

Salah satu hal yang tidak mudah dilakukan adalah berdakwah kepada keluarga, orang-orang terdekat kita. Meski begitu, hendaklah kita tidak lelah untuk tetap berusaha serta memperkuatnya dengan munajat kepada Allah. Yaa, karena Allah-lah pengenggam hati makhluk yang memberinya hidayah. Kita hanya berupaya dan berupaya. Hasil akhir adalah hak prerogratif Allah.

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.( QS. Al Qashas : 56 )

Tapi bukan berarti kita berhenti usaha untuk menyeru dan mengajak manusia terlebih lagi keluarga untuk menjadi penyokong utama gerak dakwah. Pemeluk Islam yang kaffah. Selain kewajiban kita sebagai muslim untuk menjaga diri dan keluarga dari adzab dan siksa neraka. “Qu Anfusakum wa ahlikum naaro” (QS. At-Tahrim : 6 ). Selain itu reward dari Allah, bagi seorang yang berhasil menjadi perantara masuknya seseorang ke dalam Islam.

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushilat : 33).

Sayyid Quthb rahimahullah berkata dalam Fi Zhilal Al Qur’an: “Sesungguhnya kalimat dakwah adalah kalimat terbaik yang diucapkan di bumi ini, ia naik ke langit di depan kalimat-kalimat baik lainnya. Akan tetapi ia harus disertai dengan amal shalih yang membenarkannya, dan disertai penyerahan diri kepada Allah sehingga tidak ada penonjolan diri di dalamnya. Dengan demikian jadilah dakwah ini murni untuk Allah, tidak ada kepentingan bagi seorang da’i kecuali menyampaikan. Setelah itu tidak pantas kalimat seorang da’i kita sikapi dengan berpaling, adab yang buruk, atau pengingkaran. Karena seorang da’i datang dan maju membawa kebaikan, sehingga ia berada dalam kedudukan yang amat tinggi…” (Fi Zhilal Al-Quran 6/295).

Pilar Kokoh itu bernama keluarga

Sekarang kita kembali kepada dakwah kepada keluarga. Kewajiban untuk menjaga diri dan keluarga termaktub di dalam ayat yang telah saya sebut di atas. Maka ini yang membedakan urgensi dakwah keluarga terhadap dakwah terhadap pihak yang lain. Karena keluargalah tempat kita bermula. Dari rahim ibunda kita lahir, dari nafkah ayahanda kita dibesarkan. Mengenal A, B, C alfabeth kehidupan dunia dari madrah pertama yang bernama keluarga dengan guru terbaik bernama bunda. Dan saat kita lelah letih dari perjuangan menghadapi dunia, berpulanglah kita mengistirahatkan raga dan jiwa dalam hangatnya dekapan keluarga. Maka dakwah keluarga adalah sesuatu yang urgen untuk dilakukan segera!

Sejarah mencatat jika kita gagal mengkondisikan keluarga maka berakibat fatal terhadap dakwah. Kisah nabi Nuh misalnya yang harus berseteru dengan istri dan anaknya yang memusuhi dakwah beliau, atau Nabi Musa yang berhadapan dengan sang ayah angkat, Fir’aun. Ibrahim yang berhadapan dengan sang ayah pembuat berhala. Bedanya adalah mereka adalah nabi dan rasul Allah, Allah -lah yang menjadi penolong mereka secara langsung. Sementara kita ?

Bil Qudwah

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk“. ( QS. An Nahl : 125)

Karakteristik yang unik dari dakwah terhadap keluarga adalah karena adanya kerikatan dan ketergantungan da’i terhadap mad’u. Dalam hubungan orang tua dan anak, kakak dan adik. biasanya ada perasaan tidak tega dalam bahasa jawa “pekewuh” untuk menyampaikan. Terkadang dihadapkan pula pada perspesi bahwa kita adalah anak kemarin sore yang belum tau apa-apa. “Baru ngaji udah mau bilangin orang tua” biasanya kalimat ini yang menjadi “tembok cina” yang menghijab antara orang tua sebagai mad’u dan anak sebagai da’i.

Maka berdakwah terhadap orang tua, tidak akan bisa dicapai bila kita dalam posisi layaknya guru dan murid. Apalagi terkesan “mengajari”. Berkata yang baik, larangan membentak adalah disyarakatkan bagi seorang anak terhadap orang tuanya.

Dan janganlah kamu membentak keduanya. Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih-sayang. Dan katakanlah: “Wahai Rabb-ku, sayangilah keduanya, sebagaimana keduanya menyayangiku sewaktu kecil”. (QS. Al -Isra : 23-24)

Maka yang diperlukan dalam berdakwah pada keluarga adalah dakwah bil qudwah. memberikan keteladan. dengan contoh-contoh nyata. Sehingga timbul kebanggaan dalam hati orang tua terhadap sang buah hati yang aktivis dakwah. Ada kebanggaan bahwa sang buah hati adalah aset nya kelak akan menambah pundi-pundi pahala. Nah inilah yang harus kita buktikan Agar keluarga menjadi pilar yang kokoh dakwah yang kita usung .

Wallahu a’lam bishawab