Seperti yang sudah engkau ketahui, bahwa siapa yang berada di tempat persinggahan taubat, berarti dia berada di seluruh tempat persinggahan Islam, sebab taubat sudah meliputi segalanya. Tapi bagaimana pun juga tempat-tempat persinggahan yang lain ini perlu rincian dan perlu disebutkan, agar ada kejelasan hakikat, kekhususan dan syarat-syaratnya.
Jika kaki seorang hamba sudah mantap berada di tempat persinggahan taubat, maka setelah itu dia beralih ke tempat persinggahan “Inabah” (kembali kepada Allah). Allah telah memerintahkan inabah ini di dalam Kitab-Nya, seperti firman-Nya, “Dan, kembalilah kalian kepada tuhanmu.” (Az-Zumar: 54).
Allah juga mengabarkan bahwa yang mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah dan menjadikannya sebagai peringatan adalah orangorang yang kembali kepada-Nya, “Maka apakah mereka tidak melihat langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan, Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunungyang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (kepada Allah).” (Qaf: 6-8).
Allah juga mengabarkan bahwa pahala dan surga-Nya diberikan kepada orang-orang yang takut dan kembali kepada-Nya, “Dan, didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepada-mu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya), yaitu orang yang takut kepada Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (oleh-nya) dan dia datang dengan hati yang kembali (kepada Allah). Masukilah surga itu dengan aman.” (Qaf: 31-34).
Allah juga mengabarkan bahwa kabar gembira hanya diberikan kepada orang-orang kembali kepada-Nya, “Dan, orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira.” (Az-Zumar: 17).
Inabah ada dua macam:
1. Inabah kepada Rububiyah Allah. Ini merupakan inabah-nya semua makhluk, entah orang Muslim atau kafir, orang baik maupun orang jahat
“Dan, apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Rabbnya dengan kembali kepada-Nya.” (Ar-Rum: 33).
Ini merupakan hak siapa pun yang berdoa kepada Allah saat dia menda-pat bahaya. Inabah ini tidak mengharuskan adanya Islam, karena ini juga meliputi orang-orang musyrik dan kafir. Allah befirman tentang mereka, “Kemudian apabila Dia merasakan kepada mereka barang sedikit rah-mat daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Rabbnya, sehingga mereka mengingkari rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka.” (Ar-rum: 33-34).
Itulah keadaan mereka setelah mereka kembali kepada Allah.
2. Inabah kepada Uluhiyah Allah, dan ini merupakan inabah-nya wali-wali Allah, yaitu inabah ubudiyah dan cinta, yang meliputi empat macam: Cinta, tunduk, menghadap kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Tidak ada sebutan munib (orang yang ber-inabah) kecuali bagi orang yang menghimpun empat perkara ini.
Pengarang Manazilus-Sa’irin (Abu Ismail) menjelaskan, bahwa inabah menurut bahasa adalah kembali kepada kebenaran, yang bisa dibagi menjadi tiga macam:
1. Kembali kepada kebenaran karena ingin perbaikan, sebagaimana kembali kepada kebenaran karena ingin menyatakan kesalahan dan meminta maaf. Karena orang yang bertaubat telah kembali kepada Allah dengan menyatakan kesalahannya dan membebaskan diri dari kedurhakaan kepada-Nya, maka untuk menyempurnakan hal ini dia harus kembali kepada Allah dengan usaha dan nasihat agar dia senantiasa taat kepada-Nya. Tidak ada artinya taubat sambil duduk ongkang-ongkang tanpa usaha. Jadi harus ada taubat dan amal shalih, dengan meninggalkan apa yang dibenci Allah dan mengerjakan apa yang dicintai-Nya, sebagaimana firman-Nya, “…kecuali orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih.” (Al-Furqan: 70). Kembali kepada Allah menjadi benar dengan tiga cara:
- Keluar dari dosa dan kesalahan. Caranya dengan taubat dari dosa antara hamba dengan Allah dan memenuhi hak manusia.
- Menderita atas kesalahan yang dilakukannya dan hatinya merasa sesak. Sebab ini merupakan tanda orang yang kembali kepada Allah. Berbeda dengan orang yang hatinya tidak pernah merasa sesat dan tidak pula menderita karena kesalahannya, yang sekaligus menunjukkan kerusakan hatinya. Bahkan dia juga menderita jika ada orang lain yang melakukan kesalahan, seakan-akan dialah yang melakukannya.
- Mencari-cari ketaatan dan taqarrub yang tidak dilakukannya, terlebih lagi jika dia merasa sisa umurnya tinggal sedikit, sehingga dia akan menghidupkan apa yang dia matikan dan mencari apa yang tertinggal.
2. Kembali kepada Allah karena ingin memenuhi hak, sebagaimana ia kembali karena ingin menepati per janjian dengan-Nya. Engkau kemba li kepada Allah, pertama-tama dengan masuk ke dalam ikatan perjanjian, dan kedua kalinya engkau memenuhi perjanjian itu. Semua sisi agama merupakan perjanjian dan pemenuhan. Allah telah membuat perjanjian dengan semua mukallaf agar mereka taat kepada-Nya. Dia membuat perjanjian dengan para nabi dan rasul lewat perkataan para malaikat atau secara langsung, membuat perjanjian dengan umat manusia lewat para rasul, membuat perjanjian dengan orang-orang yang bodoh lewat para ulama, membuat perjanjian dengan para ulama lewat belajar dan mengajar. Untuk itu Allah memuji orang-orang yang memenuhi perjanjian dengan Allah dan mengabarkan bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar, “Dan, barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al-Fath: 10).
“Dan, tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji.” (An- Nahl: 91).
Perjanjian dengan Allah ini mengharuskan adanya pemenuhannya se-cara ikhlas, disertai iman dan ketaatan kepada-Nya serta pemenuhan janji dengan manusia. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa di antara tanda-tanda kemunafikan adalah mengkhianati janji.
Tidak ada artinya seseorang kembali kepada Allah jika dia mengkhianati janji, begitu pula jika dia tidak masuk ke dalam perjanjian dengan-Nya.
Sebab inabah tidak akan terwujud kecuali dengan membuat perjanjian dengan Allah dan sekaligus memenuhinya. Kembali kepada Allah karena ingin memenuhi janji dapat menjadi benar dengan tiga cara:
- Membebaskan diri dari kenikmatan dosa. Jika inabah kepada Allah benar-benar tulus, maka kenikmatan dosa juga akan hilang dari pikiran dan hati, yang kemudian diisi dengan kegelisahan dan kegundahan karena ingat dosa itu. Selagi di dalam hatinya masih ada ke nikmatan dosa itu, berarti inabah-nya belum murni. Ada yang mengatakan, jiwa itu mempunyai tiga kondisi: Perintah melakukan dosa, mencela dan menyesali dosa, rasa tentram saat berhadapan dengan Allah. Kondisi yang ketiga ini merupakan sasaran dan target yang dikehendaki orang-orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah, keadaannya seperti orang yang mengadakan perjalanan jauh dan ingin kembali ke tempatnya. Selagi dia sudah melihat bayang-bayang rumahnya, maka hatinya menjadi tenang.
- Tidak mengabaikan orang-orang yang lalai karena waspada dan takut terhadap mereka, dan berharap untuk diri sendiri. Engkau berharap kebaikan untuk diri sendiri. Engkau mengharapkan rahmat bagi dirimu dan takut terhadap orang-orang yang lalai lagi menderita. Tapi tetaplah mengharap rahmat bagi mereka dan takutlah penderitaan bagi dirimu. Kalau perlu celalah mereka jika memang engkau mengetahui keadaan mereka.
- Mencermati kekurangan dalam berbuat kebajikan, yaitu dengan memeriksa hal-hal yang mengotori amalnya, yang boleh jadi amalnya lebih banyak dilandasi nafsu, sementara engkau tidak menyadarinya.
Berapa banyak penyakit dan tujuan-tujuan yang mendekam di dalam jiwa, yang menghambat amal. Sebab ada seseorang melakukan suatu amal yang tidak diketahui orang lain, namun dia melakukannya tidak secara ikhlas karena Allah, sementara ada orang lain yang melakukan suatu amal namun dia melakukannya secara ikhlas karena Allah. Tidak ada yang bisa membedakan dua keadaan ini kecuali orang yang memiliki bashirah. Antara amal dan hati terdapat jarak perjalanan, yang di sana ada para perampok yang akan menghalangi amal agar tidak sampai ke hati. Adakalanya seseorang banyak amalnya, namun tidak sampai ke hati, sehingga tidak menghasilkan cinta, rasa takut, berharap, zuhud di dunia dan hanya mengharapkan akhirat, tidak ada cahaya yang bisa membedakan dirinya antara wali Allah ataukah wali musuh-Nya. Andaikan pengaruh amal ini sampai ke hati, maka di dalamnya akan muncul cahaya, sehingga membuat dirinya tahu mana yang haq dan mana yang batil. Kemudian antara hati dan Allah juga ada jarak perjalanan, yang di sana ada para perampok yang akan menghalangi amal agar tidak sampai kepada-Nya, berupa ujub, takabur, membanggakan amal dan mencemooh amal orang lain. Di sana ada banyak penyakit, yang andaikan dia memeriksanya, tentu akan terheran-heran sendiri. Namun di antara rahmat Allah, Dia menutupi penyakit-penyakit hati ini.
3. Kembali kepada Allah secara seketika, sebagaimana dorongan untuk memenuhi seruan, yang bisa menjadi benar dengan tiga cara:
- Merasa putus asa terhadap amal yang dilakukan. Hal ini bisa ditafsiri dengan dua macam penafsiran: Pertama, dengan melihat pelaku yang sebenarnya dan penggerak pertama. Kalau bukan karena kehendak- Nya, maka tidak ada perbuatan yang muncul dari dirimu. Karena kehendak-Nyalah ada perbuatanmu, dan itu bukan karena semata kehendakmu sendiri. Kedua, merasa putus asa akan mendapatkan keselamatan karena amal diri sendiri. Engkau melihat keselamatan ini hanya berasal dari rahmat Allah dan karunia-Nya. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Sekali-kali seseorang di antara kalian tidak akan selamat karena amalnya”. Mereka bertanya, “Tidak pula engkau wahai Rasulullah? “Beliau menjawab, “Tidak pula aku, kecuali jika Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya.”
- Merasakan adanya kebutuhan secara terus-menerus. Apabila pada awal mula seoranghamba merasa putus terhadap amalnya, lalu akhirnya dia merasa putus asa terhadap keselamatannya, maka dia akan merasa membutuhkan Allah, dalam segala hal. Sifat kekayaan hanya milik Allah dan sifat kemiskinan menjadi milik hamba.
- Merasakan kasih sayang Allah terhadap dirimu. Jika engkau sudah melihat kekuatan yang hanya dimiliki Allah dan engkau merasa putus asa terhadap amalmu sendiri, maka engkau akan melihat bagaimana kasih sayang Allah yang diberikan kepadamu. Allahlah yang berbuat baik dengan menciptakan sebab akibat, dan yang semua urusan ada di Tangan-Nya.