Manusia adalah makhluk terbaik yang Allah ciptakan di alam raya ini. Mereka berada pada level paling tinggi derajatnya jika jika dibanding dengan malaikat, hewan, tumbuhan dan aneka ciptaan Allah yang lainnya. Oleh karena itu, Allah menugaskan kepada manusia untuk mengabdi dan memakmurkan bumi. Dimana tugas ini tidak mampu dipikul oleh selain manusia.
Dalam aspek ruhani, manusia bisa melebihi derajat para malaikat yang suci. Hal ini terbukti dalam proses Isra’ Mi’raj nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika itu, beliau diberi izin untuk bertemu langsung dengan Allah, sementara malaikat Jibril tidak diberi ijin oleh Allah untuk hal tersebut.
Dari segi fisik, manusia dikaruniai otak dan hati yang bisa bersinergi padu untuk melakukan banyak hal yang bermanfaat. Berbeda dengan hewan maupun tumbuhan yang hanya bisa menerima apa yang Allah berikan tanpa protes apalagi berkreasi lebih jauh. Belum lagi karunia tubuh yang bisa dengan mudah menyesuaikan terhadap lingkungan sekitar. Tidak seperti hewan atau tumbuhan yang hanya bisa hidup di satu lokasi dan akan mati jika berpindah ke lokasi lain yang bukan habitatnya.
Kesempurnaan penciptaan ini sudah lama Allah sebutkan dalam sebuah firmanNya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. 95 : 4 ). Ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Hamka dalam tafsirnya, bermakna demikian, “Bahwasanya di antara makhluk Allah di atas permukaan bumi ini, manusialah yang diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk ; bentuk lahir dan bentuk batin. Bentuk tubuh dan bentuk nyawa. Bentuk tubuhnya melebihi keindahan bentuk tubuh hewan yang lain. Tentang ukuran dirinya, tentang manis air-mukanya, sehingga dinamai basyar, artinya wajah yang mengandung gembira. Sangat berbeda dengan binatang yang lain. Dan manusia diberi pula akal, bukan semata-mata nafasnya yang turun naik. Maka dengan keseimbangan sebaik-
baik tubuh dan pedoman pada akalnya itu dapatlah dia hidup di permukaan bumi ini menjadi pengatur. Kemudian itu Tuhan pun mengutus para Rasul untuk membawakan petunjuk bagaimana caranya menjalani hidup ini supaya selamat.”
Sayangnya, kesempurnaan bentuk yang Allah berikan ini tidak dimaknai positif oleh semua manusia. Sehinga saat ini, banyak kita jumpai kerusakan di berbagai lini kehidupan yang disebabkan oleh manusia yang lebih menuruti bisikan kebaikan daripada bisikan keburukan dalam hati dan pikirannya. Sehingga, prediksi malaikat yang mengatakan bahwa manusia akan menumpahkan darah dan membuat kerusakan di muka bumi di awal penciptaannya, seakan terbukti.
Terjun bebasnya manusia ke dalam jurang kenistaan terjadi lantaran dominasi sifat buruk yang terus dibisikkan iblis. Sehingga manusia yang seharusnya bisa lebih mulia dari malaikat, malah berada dalam derajat yang paling rendah, “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),” (QS. 95 : 5).
Dalam ayat lain, Allah menyebut manusia sebagai makhluk yang lebih sesat dari binatang, “Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. 7 : 179). Sedangkan di ayat sebelumnya, secara tegas Allah mengumpamakan manusia sama dengan anjing, “Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.” (QS. 7 : 176).
Mari sejenak berkaca, Allah yang awalnya memuliakan manusia dengan julukan ahsani taqwiim -sebaik-baik makhluk-, dalam perjalanannya, manusia menjadi makhluk yang lebih sesat dari binatang, bahkan disamakan dengan anjing yang haram dagingnya dan merupakan salah satu penyebab najis mugholadhoh. Mengapa bisa demikian?
Sebut saja singa. Ia hanya memakan daging. Ketika diberi sayuran sesegar apapun, maka singa menolak. Ia tak mungkin melahap sajian itu. Sebaliknya, kambing. Ketika kambing dilepas pada sebuah padang rumput yang segar nan menghijau, si kambing akan dengan senang hatimenikmati sajian itu. Coba berikan kepada mereka daging segar yang baru saja disembelih? Sedikitpun, kambing tak akan melirik.
Bandingkan dengan manusia yang sudah buta mata hati dan fisiknya? Yang tuli pendengaran hati dan fisiknya? Jangankan daging, rumput nan hijau. Aspal, minyak, batu bara, bangunan masjid, dana sumbangan untuk korban bencana pun dilahapnya. Bahkan, yang terbaru, Al Qur’an yang disucikan itu pun mereka kunyah. Tanpa merasa bersalah. Tanpa takut dengan siksa Allah yang nyata. Di dunia terlebih di akhirat kelak.
Hal ini telah Allah beberkan dalam salah satu ayatNya. Mengapa mereka sampai hati melakukan perbuatan keji yang merugikan diri sendiri dan umat manusia pada umumnya. Kata Allah, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).” (QS. 7 : 179)
Lantas, bagaimana caranya agar kemuliaan itu kembali kita peroleh?
Untuk itulah Ramadhan Allah anugerahkan kepada kita. Bulan berjuta hikmah dan berkah. Bulan yang hanya sekali dalam setahun itu merupakan sarana yang Allah berikan agar kita kembali suci sehingga siap dalam mengemban misi pengabdian kepada Allah dalam memakmurkan bumi. Ramadhan adalah bulan taubat, agar kita kembali menuju kemuliaan, salah satunya dengan melaksanakan puasa wajib di bulan itu.
Dalam rangkaian ayat-ayat tentang kewajiban puasa ramadhan, Allah memberikan tiga target yang harus kita capai setelah Ramadhan usai.
Pertama, Agar Menjadi Orang yang Bertaqwa
Di dalam Al Quran, banyak sekali bertebaran ayat tentang taqwa. Puasa Ramadhan merupakan salah satu sarana yang dijamin oleh Allah agar bisa mengantarkan pelakunya kepada derajat itu. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS 2 : 183). Taqwa, dalam ayat lain disebut sebagai satu-satunya indikasi yang bisa membuat pelakunya dipandang sebagai makhluk yang paling mulia di sisi Allah, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. (QS 49:13).
Untuk mengarungi kehidupan dunia yang ganas ini, maka Allah menjamin bahwa taqwa merupakan satu-satunya bekal terbaik, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS 2:197)
Kedua, Agar Menjadi Orang yang bersyukur
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”(QS 2:185)
Syukur merupakan ungkapan tulus dari seorang hamba kepada Rabbnya terhadap apa yang telah diberikanNya tanpa batas. Syukur dengan lisan, hati dan perbuatan merupakan salah satu bentuk sadar diri akan keterbatasan manusia dan keMaha Kuasa an Allah dalam membagi semua fasilitas hidup secara melimpah ruah.
Syukur menduduki peringkat tertinggi dalam perjalanan spiritual seorang hamba. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh manusia paling mulia sepanjang sejarah, Muhammad bin Abdulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau yang terjaga dari kesalahan, yang dosanya sudah diampuni oleh Allah, baik dosa masa lalu maupun yang akan datang, beliau yang sudah digaransi berdampingan dengan Allah kelak di surgaNya itu, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau mendirikan shalat malam (Tahajjud) hingga kakinya bengkak.
Dalam riwayat oleh sahabat Hudzaifah bin Yaman diceritakan bahwa beliau shalat malam sepanjang bacaan surah Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa. Dimana ketiga surah tersebut jika dijumlah terdiri dari 662 ayat. Yang menakjubkan lagi, ketika sang istri bertanya, “Ya Rasul, mengapa kau masih melakukan ini semua? Padahal dosamu yang lalu dan akan datang telah diampuni oleh Allah?” dengan senyum khas yang menyejukkan, Sang Baginda menjawab syahdu, “Tidak layakkah aku menjadi orang yang bersyukur?” (HR Bukhari-Muslim)
Ketiga, Agar Menjadi Orang yang selalu Berada dalam Kebenaran
Dalam rangkaian ayat tentang puasa, Allah menyisipkan sebuah petunjuk Maha Dahsyat terkait tujuan puasa yang harus kita capai, “Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS 2:186)
Agar senantiasa berada dalam kebenaran, maka seorang hamba disyaratkan untuk melakukan dua hal. Memenuhi perintah Allah dan beriman.
Memenuhi Perintah Allah merupakan sebuah kewajiban sebagai konsekuensi diciptakannya kita di bumi. Yaitu sebagai hamba dan khalifah Allah. Aktivitas ini tidak bisa dipisahkan dari menjauhi semua larangan Allah. Jika dalam memenuhi perintah Allah kita diberi keringanan untuk melakukan semampu kita, tentunya tidak main-main. Sementara dalam menjauhi laranganNya, bersifat mutlak. Semua yang dilarang harus kita jauhi.
Syarat yang kedua adalah beriman. Allah berfirman, “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”(QS 103:2-3)
Beriman dalam ayat tersebut merupakan salah satu sarana agar kita tidak tergolong dalam manusia yang mendapat kerugian. Iman yang benar adalah iman yang dibenarkan dalam hati, terucap ikhlas dengan lisan dan mengerahkan seluruh mampu untuk mewujudkan iman dalam tingkah laku. Terkait ayat ini, Sayyid Quthb dalam tafsirnya menjelaskan, “Iman adalah gerakan, tindakan, pembinaan, pembangunan dan pemakmuran yang menuju kepada Allah. Iman bukan sekedar lintasan dan bukan sesuatu yang pasif yang tersimpan di dalam hati. Ia juga bukan sekedar niat-niat baik yang tidak terwujud dalam gerakan nyata. Ini adalah karakter islam yang menonjol dan menjadi kekuatan pembangunan yang sangat besar dalam kehidupan.” Jika tafsiran seperti ini berhasil kita lakukan, maka umat islam pasti akan kembali menjayakan bumi dengan kesejahteraan, insyaAllah Allah menerima dan memasukkan kita ke dalam tiga golongan yang merupakan target utama diturunkannya Ramadhan untuk kita. Sehingga kita tidak termasuk dalam kebanyakan orang yang berpuasa namun hanya mendapat lapar dan dahaga saja sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah dalam haditsnya.