Al Jashshash di dalam kitab tafsirnya, Ahkamul-Quran menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bangkai (میتة ) adalah: الحیوان المیت غیر المذكى hewan yang matinya tidak disembelih dengan cara disembelih. (Ahkamul Quran lil Al Jashshash 1 halaman 132)
Hewan yang menjadi bangkai hukumnya najis, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al Quran Al Kariem tentang hukum bangkai.
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai darah daging babi dan binatang yang disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS Al Baqarah: 173)
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor (najis).”(QS Al An’am: 145)
Keempat mazhab yaitu Al Hanafiyah, Al Malikiyah, Asy Syafi’iyah dan Al Hanabilah telah sampai kepada level ijma’ bahwa bangkai itu selain haram dimakan juga merupakan benda yang berstatus najasatul ‘ain ( نجاسة العین ). Maksudnya dari sisi dzat-nya bangkai itu memang benda najis. (Tafsir Al Fakhrurrazi jilid 5 halaman 19)
Ada dua macam kematian bangkai. Pertama bangkai itu mati oleh sebab tindakan manusia. Dalam hal ini yang cara penyembelihannya tidak sesuai dengan syariah Islam. Kedua mati bukan karena tindakan manusia seperti terbunuh mati karena tua atau dimangsa hewan lain dan seterusnya.
1. Disembelih Untuk Selain Allah
Di dalam Al Quran disebutkan bahwa yang termasuk bangkai adalah hewan yang disembelih untuk selain Allah atau juga untuk berhala.
(Diharamkan bagimu) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS Al Maidah 3)
(Diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala (QS Al Maidah 3)
Meski pun ayam itu halal tetapi jika saat disembelihnya ditujukan untuk selain Allah maka ayam itu hukumnya adalah bangkai. Termasuk bila disembelih untuk dijadikan sesaji kepada roh-roh tertentu atau untuk jin dan makhluk halus lainnya.
Daging hewan yang dijadikan persembahan untuk dewa atau untuk penunggu laut kidul termasuk dalam bab ini dan haram dimakan.
2. Disembelih Tidak Syar’i
Hewan yang disembelih dengan jalan dipukuli, dibanting, diracun, dicekik, dijerat, atau ditabrak kendaraan hingga tergilas mati adalah bangkai.
Penyembelihan yang syar’i adalah dengan cara pemutusan aliran darah di leher baik dengan cara dzabh (sembelih) atau pun nahr (ditusuk dengan tombak).
Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Dan lakukan shalat untuk tuhanmu dan lakukanlah an-nahr (penyembelihan). (QS Al Kautsar: 2)
Termasuk dalam kategori penyembelihan yang syar’i adalah berburu hewan. Bila hewan itu mati karena diburu oleh muslim atau ahli kitab, meski dengan tombak, anak panah, peluru atau sesuatu yang melukai badannya, hukumnya bukan termasuk bangkai.
Karena berburu adalah salah satu cara penyembelihan yang syar’i, meski bukan dengan lazimnya cara penyembelihan. Bahkan di dalam Al Quran dijelaskan tentang kebolehan berburu dengan menggunakan hewan pemburu yang sudah pasti termasuk hewan buas.
Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?.” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baikbaik dan oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu. Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.(QS Al Maidah: 4)
3. Disembelih Kafir Non Kitabi
Hewan yang disembelih oleh orang yang bukan muslim hukumnya adalah bangkai. Penyembelihan yang syar’i mensyaratkan penyembelihnya harus muslim atau setidaknya berstatus ahli kitab. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Sembelihan ahli kitab itu halal untukmu dan sembelihanmu halal untuk mereka. (QS Al Maidah: 5)
Sedangkan bacaan basmalah hanya sunnah bukan merupakan syarat atau kewajiban sebagaimana dikemukakan oleh mazhab Asy Syafi’iyah.
4. Mati Tanpa Disembelih
Yang termasuk bangkai adalah hewan yang matinya tidak disembelih tetapi mati terbunuh. Ada yang mati karena tercekik, terpukul, terjatuh dari tempat tinggi, ditanduk hewan lain atau diterkam binatang buas. Termasuk di dalamnya juga hewan yang dibiarkan mati karena serangan wabah penyakit tertentu.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Yang tercekik yang terpukul yang jatuh yang ditanduk dan diterkam binatang buas (QS Al Maidah: 3)
Namun bila sebelum mati hewan itu sempat disembelih secara syar’i, hukumnya bukan bangkai, karena secara sah mati akibat penyembelihan.
“Kecuali yang sempat kamu sembelih.” (QS Al Maidah: 3)
Termasuk hewan yang mati tanpa disembelih adalah hewan-hewan yang matinya sebagaimana disebutkan di dalam ayat ini.
a. Mati tercekik
Qatadah mengatakan bahwa orang-orang jahiliyah di masa lalu kalau mau memakan hewan tidak disembelih, mereka mencekiknya dengan tali atau dengan alat lain, sehingga ketika sudah tidak bernyawa lagi, mereka pun memakan hewan itu. (Al Jami’ li Ahkamil Quran oleh Al Imam Al Qurthubi, jilid 4 halaman 102)
Secara teknis, hewan yang matinya tidak dengan cara dikeluarkan darah dari seluruh tubuh, akan banyak mengandung penyakit, akibat darah yang bergumpal dan berkumpul di sekujur tubuh.
Hewan yang matinya tercekik, baik karena sebab orang lain sebagai pelakunya atau tercekik sendiri, hukumnya bangkai yang haram dimakan.
b. Mati karena terpukul
Yang dimaksud dengan hewan yang mati terpukul ini bisa dengan tongkat, palu, benda-benda berat atau pun terpukul dengan lemparan batu. Dan kalau hewan mati karena hal-hal itu, hewan itu menjadi bangkai yang hukumnya haram dimakan.
Dalam ketentuan berburu hewan, alat yang digunakan untuk membidik hewan buruan disyaratkan benda yang punya ujung yang tajam dan bisa menyayat atau menembus kulit dan mengeluarkan darah.
Sedangkan bila alat yang digunakan sifatnya tidak menembus tubuh seperti batu, bola besi, cakram, palu, martil, atau kunci inggris, maka hewan itu mati sebagai bangkai.
Dalam hal ini Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda:
“Kalau kamu membidik hewan itu dengan ujung anak panah hingga tersayat kulitnya, makanlah hewan itu. Tapi kalau hewan itu mati terkena bagian yang tumpul, jangan dimakan.” (HR. Muslim)
Kalau kita menyembelih seekor angsa yang meski telah terputus lehernya masih saja berjalan kesana-kemari, lantas angsa itu dipukul pakai tongkat atau digetok kepalanya pakai batu hingga mati, maka angsa itu mati sebagai bangkai yang hukumnya haram dimakan. Sebab kematiannya bukan karena disembelih, tetapi karean dipukul.
c. Mati karena jatuh
Hewan yang jatuh dari ketinggian, entah dari atas jurang atau jatuh ke dalam sumur, lalu mati, maka hewan itu menjadi bangkai. Hukumnya haram dimakan.
“Bila kamu menembakkan anak panahmu maka ucapkanlah nama Allah. Bila kamu dapati hewan mati, makanlah. Tetapi kalau kamu dapati dia mati di air, jangan dimakan. Karena karena kamu tidak tahu apakah hewan itu mati karena jatuh di air atau karena anak panahmu. (HR. Muslim)
d. Mati karena ditanduk
Contoh hewan yang mati tertanduk oleh hewan lain adalah hewan aduan, seperti domba dan ayam. Di pentas-pentas adu domba seringkali domba mati berdarah-darah karena ditanduk lawannya. Kalau tidak sempat disembelih, maka domba itu mati dalam keadaan sebagai bangkai yang haram dimakan dagingnya.
Demikian juga di arena sabung ayam, seringkali ayam aduan itu mati diserang oleh lawannya hingga berdarahdarah.
Kalau tidak segera disembelih, maka ayam itu mati sebagai bangkai dan dagingnya haram dimakan. Kadang-kadang kematian seekor sapi yang berada di tengah kawanannya bisa terjadi lantaran terkena tanduk sesamanya tanpa sengaja.
Tetapi semua akan menjadi halal manakala sempat disembelih, sehingga meski terluka dan lemah, asalkan detikdetik kematiannya semata karena disembelih, hukumnya halal.
e. Mati karena diterkam
Kalau pada point di atas, kita bicara tentang hewan yang mati karena terbunuh oleh sesama, maka pada point ini kita bicara tentang hewan yang mati karena memang diterkam oleh hewan lain yang punya kemampuan berburu dan merupakan hewan buas.
Al Quran menyebutkan hewan buas itu dengan istilah sabu’. Yang termasuk di dalamnya adalah singa,macam, harimau, srigala, beruang, anjing liar, musang, elang pemangsa, buaya dan lainnya. Para ulama umumnya menyebutkan dua kriteria, yaitu punya taring dan cakar yang digunakan untuk menerkam, mematikan dan mengoyak buruannya.
Hewan ternak kadang-kadang menjadi sasaran terkaman hewan buas, khususnya ketika hutan sebagai habitatnya sudah mulai sempit dan tidak mampu memberi makanan yang cukup. Seringkali hewan buas turun gunung keluar dari hutan untuk mencuri ternak penduduk.
Tetapi tidak termasuk ke dalam point ini adalah hewan buas yang digunakan untuk berburu. Apabila hewan itu mengerjar buruannya hingga mati, hukumnya tetap halal, selama buruan itu tidak disantapnya. Cengkraman kuku atau taringnya hanya digunakan sekedar mematikan, tetapi hewan pemburu itu tidak memakannya, maka hewan buruan itu halal hukumnya.
f. Mati disembelih untuk berhala
Meski cara menyembelih hewan itu sudah memenuhi aturan syariah, baik teknisnya atau pun agama orang yang menyembelihnya, tetapi kalau penyembelihan itu diniatkan untuk dijadikan persembahan kepada selain Allah, maka hukumnya tetap haram. Hewan itu tetap kita namakan bangkai.
Contoh yang paling sering kita lihat adalah sesajen buat para roh, dedemit, dan beragam makhluk halus lain. Termasuk juga acara melarung sesembahan ke laut kidul, yang masih saja terjadi di negeri kita.
Kalau ada anak kesurupan setan, lalu setannya bilang mau pergi asalkan disembelihkan ayam, maka ayam itu bangkai, karena ketika disembelih niatnya untuk dipersembahkan kepada setan. Lain halnya kalau setan itu minta ayam goreng kremes yang sudah siap santap, tanpa mengharuskan ada ritual penyembelihannya, hukumnya boleh dimakan.
5. Potongan Tubuh Hewan Yang Masih Hidup
Anggota tubuh hewan yang terlepas atau terpotong dari tubuhnya termasuk benda najis. Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Segala potongan dari tubuh hewan yang masih hidup termasuk bangkai.” (HR. Abu Daud dan At Timidzy)
Karena disebut sebagai bangkai, maka para ulama mengatakan bahwa hukumnya najis. Namun kalau lebih didetailkan lagi, ternyata tidak semua bagian tubuh yang terlepas atau terpotong dari tubuh hewan itu dianggap bangkai yang najis.
Al Hanafiyah mengatakan bahwa bagian tubuh dimana hewan itu tidak merasakan sakit kalau terlepas atau terpotong dari tubuhnya, bukan termasuk bangkai yang najis. Misalnya bulu, rambut, kuku, tanduk, gading, atau air susu yang diperas, semua bisa terlepas dari badannya dan hewan itu tidak merasakan sakit. (Hasyiyatu Ibnu Abidin 1 137-138)
Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan yang tidak najis dari potongan hewan yang masih hidup hanya terbatas pada bulu dan sejenisnya saja. Hal itu karena bulu hewan dan sejenisnya itu memang dianggap salah satu bentuk produktifitas dari hewan itu yang dibenarkan untuk diambil dari hewan dalam keadaan hidup. (Al Iqna’ li Asy Syarbini Al Khatib jilid 1 halaman 30)
“Dan dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing boleh kamu jadikan alat-alat rumah tangga dan perhiasan sampai waktu. (QS An-Nahl: 80)
Bahkan pendapat mazhab Al Hanabilah lebih ekstrim lagi. Mereka mengatakan bagian akar dari bulu-bulu hewan bila dicukur hukumnya najis. Karena akar dari bulu-bulu itu masih merupakan bagian dari tubuh hewan. (Kasysyaf Al Qina’ jilid 1 halaman 56)
6. Bangkai Yang Tidak Najis
Ada beberapa jenis hewan sesungguhnya termasuk bangkai, tetapi ditetapkan oleh syariat bahwa hukumnya tidak dianggap najis. Ketidak-najisannya memang disebutkan langsung di dalam teks-teks syariah yang kuat sehingga menjadi pengecualian hukum.
a. Lalat dan Nyamuk
Hewan yang tidak punya nafas seperti nyamuk, lalat, serangga dan sejenisnya tidak termasuk bangkai yang najis. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam masalah lalat yang jatuh tercebur masuk ke dalam minuman dimana ada isyarat bahwa lalat itu tidak mengakibatkan minuman itu menjadi najis:
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda. “Bila ada lalat jatuh ke dalam minumanmu maka tenggelamkanlah kemudian angkat. Karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan salah satunya kesembuhan. (HR. Bukhari)
Meski hadits ini hanya menyebut lalat, namun para ulama mengambil kesimpulan hewan lain yang punya kesamaan ‘illat dengan lalat mendapat hukum yang sama.
‘Illat yang ada pada lalat itu adalah tidak punya darah, maka hewan lain yang keadaannya mirip dengan lalat yaitu tidak berdarah, juga punya hukum yang sama yaitu tidak dianggap najis. Kalau mati tidak dianggap sebagai bangkai yang najis.
b. Bangkai Hewan Laut
Semua hewan laut pada dasarnya halal dimakan oleh karena itu para ulama juga mengatakan bahwa hewan-hewan itu tidak merupakan hewan yang najis baik dalam keadaan hidup atau mati.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam’Ya Rasulullah kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab’(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, An Nasai) (At Tirmidzy mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
c. Hewan Dua Alam (Barma’i)
Istilah hewan dua alam maksudnya mengacu kepada jenis hewan yang bisa hidup di air dan di darat. Dalam hal ini hewan laut yang dapat bertahan lama hidup di darat, begitu juga sebaliknya hewan darat yang dapat bertahan lama hidup di air.
Istilah yang sering digunakan untuk hewan yang seperti ini adalah barma’i ( برمئي ) yang merupakan gabungan dari dua kata barr ( برّ ) darat dan maa’ ( ماء ) air.
Dari sisi hukum, sesungguhnya para fuqaha’ tidak sepakat, apakah hukumnya halal atau tidak halal.
Al Hanafiyah mengatakan hewan yang asalnya di laut atau air, apabila dapat hidup sementara waktu ke daratan dalam waktu yang lama dan mati di darat, hukumnya tetap suci dan tidak najis. Bahkan meski pun misalnya hewan itu mati di dalam cairan seperti susu atau cuka, maka dalam hal ini murid Abu Hanifah yaitu Muhammad mengatakan bahwa cuka dan susu itu hukumnya tetap tidak najis, lantaran hewan itu tidak najis. Kecuali bila hewan itu punya darah yang mengalir keluar dan merusak cairan itu barulah dianggap najis. (Fathul Qadir jilid 1 halaman 57)
Al-Malikiyah mengatakan bahwa hukum hewan laut yang bisa lama hidup di darat sama dengan hewan laut. Dalam hal ini mereka mencontohkan kodok laut dan penyu laut. Keduanya boleh dibilang sebagai hewan laut yang bisa lama bertahan di darat. Keduanya tetap dikatakan sebagai hewan laut dan kemampuannya bisa bertahan hidup lama di darat tidak mengeluarkannya sebagai hewan laut. Sehingga hukum-hukum yang berlaku bagi hewan itu sama persis dengan hukum hewan laut 100%. (Asy Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 45)
Asy Syafi’iyah mengatakan bahwa hewan yang hidup di air dan di darat seperti bebek dan angsa hukumnya halal, dimakan tapi bangkainya tetap tidak halal.
Sedangkan kodok dan kepiting dalam pandangan masyhur mazhab ini termasuk yang haram dimakan. Demikian juga bila hewan itu berbisa (racun). Termasuk ke dalam yang diharamkan adalah buaya dan kura-kura. (Raudhatut Thalibin jilid 3 halaman 275)
Al Hanabilah mengatakan bahwa hewan laut yang bisa bertahan hidup lama di darat seperti kodok dan buaya bila mati maka termasuk bangkai yang hukumnya najis.
Dan karena tubuh bangkai itu najis maka bila mati di air yang sedikit otomatis air yang sedikit itu juga ikut tercemar dengan kenajisannya. Dan bila air itu banyak sekali serta tidak tercemar dengan bangkai itu maka air itu tidak dianggap terkena najis. (Al Mughni libni Qudamah jilid 1 halaman 40)
Referensi: Fiqih wal Hayah