Al-Hanafiyah Asy-Syafi’iyah dan Al Hanabilah sepakat mengatakan bahwa babi yang masih hidup itu najis pada keseluruhan tubuhnya, termasuk juga bagian yang terlepas darinya seperti bulu, keringat, ludah dan kotorannya.
Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (QS Al An’am: 145)
Kalau babi hidup dianggap najis, apalagi babi yang mati menjadi bangkai. Bahkan meskipun seekor babi disembelih dengan cara yang syar’i, namun dagingnya tetap haram dimakan, karena daging itu najis hukumnya.
Meskipun nash dalam Al Quran Al Kariem selalu menyebut keharaman daging babi namun kenajisannya bukan terbatas pada dagingnya saja namun termasuk juga darah tulang lemak kotoran dan semua bagian dari tubuhnya.
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai darah daging babi dan binatang yang disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al Baqarah: 173)
Namun pandangan mazhab Al Malikiyah agak sedikit berbeda. Mereka menganggap ‘ain tubuh babi itu tidak najis lantaran mereka berpegang pada prinsip bahwa hukum asal semua hewan itu suci. [1]Begitu juga dengan ludahnya dalam pandangan mereka bukan najis.[2]
1. Hakikat Kenajisan Babi
Najisnya babi bersifat ketetapan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, baik lewat Al Quran maupun lewat sabda Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka tidak ada ‘illat apapun dari kenajisannya atau pun dari keharaman memakannya, kecuali semata-mata ketetapan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maksudnya, babi itu dianggap najis bukan karena alasan-alasan ilmiyah, seperti anggapan bahwa babi itu hewan yang kotor, mengandung banyak kuman penyakit, atau cacing pita, virus tertentu dan sebagainya. Semua itu memang mungkin saja benar, namun kenapa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan sebagai hewan yang najis, tentu alasannya tidak kaitannya dengan hal-hal semacam itu.
Dan di dunia ini tidak sedikit orang yang memakan babi setiap hari sepanjang hidupnya. Orang-orang di China terbiasa makan babi, sebagaimana orang-orang di Bali pemeluk agama Hindu juga terbiasa memakannya. Kalau seandainya makan babi itu berbahaya dan merusak kesehatan, maka seharusnya makan babi dilarang oleh sekian banyak pemerintahan dunia. Setidaknya seperti kewajiban yang dibebankan kepada penguasaha rokok untuk memasang peringatan atas bahaya rokok di setiap bungkus kemasannya.
Namun berjuta manusia di dunia ini setiap hari aktif mengkonsumsi babi sebagai makan kesukaan. Dan negerinegeri yang penduduknya banyak makan babi ternyata bukan negeri yang banyak orang sakitnya.
Maka alasan mengharamkan babi karena hewan itu kotor dan mengandung penyakit, tentu bukan alasan yang bersifat syar’i. Hakikat najis dan haramnya babi yang sebenarnya adalah semata-mata alasan syariah saja, yaitu karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai tuhan telah menetapkan bahwa babi itu najis dan haram dimakan.
Alasan bahwa babi itu hewan yang najis juga bukankarena faktor perasaan atau pemikiran filosofis bahwa babi itu hewan yang menjijikkan, karena suka memakan kotorannya sendiri. Bahwa babi itu banyak membuat orangorang merasa jijik, tidak perlu diperdebatkan karena memang umumnya babi punya kehidupan seperti itu.
Tapi apabila ada orang yang memelihara babi secara bersih, sehat, setiap pagi dan petang dimandikan pakai sabun dan shampo, sehingga bulu-bulunya menjadi putih dan wangi harum semerbak, makanannya pun hanya dari makanan kaleng yang higyenis dan bermutu, apakah saat itu babi itu menjadi suci dan halal dimakan?
Jawabannya tentu tidak. Sebab prinsipnya sekali babi tetap babi, selama-lamanya akan terus menjadi babi. Dan hukumnya sesuai dengan ketentuan dari Allah, bahwa babi itu, secantik dan selucu apapun, tetap saja hewan yang najis dan haram dimakan.
2. Kulit Babi
Para ulama sepakat bahwa hukum kulit babi yang mati tetap najis meski pun sudah mengalami penyamakan. Sementara hewan-hewan lain yang mati menjadi bangkai apabila kulitnya disamak hukumnya menjadi suci kembali. Dan mazhab Al Malikiyah yang tidak menganggap babi yang hidup itu najis ketika bicara tentang kulit babi yang sudah mati mereka mengatakan hukumnya tetap najis.[3]
Satu-satunya pendapat yang mengatakan bahwa kulit babi itu tidak najis bila telah disamak adalah sebuah riwayat dari Abu Yusuf.[4]
2. Berubahnya Wujud ‘Ain Babi
‘Ain suatu benda maksudnya adalah wujud fisik hakikat dan dzat benda itu. ‘Ain suatu benda bisa berubah wujuddengan proses tertentu. Misalnya minyak bumi yang kita pakai untuk bahan bakar menurut pada ahli dahulu berasal dari hewan atau tumbuhan yang hidup jutaan tahun yang lalu. Disini terjadi perubahan ‘ain dari hewan menjadi ‘ain minyak bumi.
Proses perubahan ‘ain suatu benda menjadi ‘ain yang lain disebut ( استحالة ) istihalah.
Al Hanafiyah dan Al Malikiyah mengatakan bahwa benda yang najis apabila telah mengalami perubahan ‘ain dengan istihalah maka pada hakikatnya benda itu sudah berubah wujud sehingga hukumnya sudah bukan lagi seperti semua tetapi berubah menjadi suci.
Jadi bila kita ikuti logika pandangan kedua mazhab itu apabila babi sudah berubah menjadi benda lain misalnya menjadi tanah garam fosil batu atau benda lainnya yang sama sekali tidak lagi dikenali sebagai babi maka hukumnya tidak najis.
Dengan logika ini, insulin dan benda-benda kedokteran yang disinyalir berasal dari ekstrak babi secara nalar telah mengalami perubahan ‘ain lewat proses istihalah. Sehingga hukumnya tidak lagi najis.
Namun dalam pandangan mazhab Asy Syafi’iyah dan Al Hanabilah meski pun benda najis sudah berubah ‘ain-nya dan beristihalah menjadi ‘ain yang lain tetap saja hukum najis terbawa serta. Dengan pengecualian dua kasus saja yaitu penyamakan kulit bangkai dan berubahnya khamar menjadi cuka. Selebihnya semua perubahan ‘ain tidak berpengaruh pada perubahan hukum termasuk babi yang diekstrak menjadi insulin dan sebagainya.
3. Nilai Harta dan Kepemilikan Babi
Lantaran babi dikategorikan benda najis secara ‘ain maka hukumnya berpengaruh kepada hukum kepemilikan dan nilai jualnya.
Para ulama mengatakan bahwa babi itu tidak sah untuk dimiliki karena kenajisannya. Dan berarti juga tidak sah untuk diperjual-belikan. Dalilnya adalah hadits berikut ini:
“Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata pada hari fathu Mekkah”Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamar bangkai babi dan berhala.” Seseorang bertanya”Ya Rasulallah bagaimana hukumnya dengan minyak (gajih) bangkai? minyak itu berguna untuk mengecat (merapatkan) lambung kapal juga untuk mengeringkan kulit dan digunakan orang buat bahan bakar lampu.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab”Tidak tetap haram hukumnya.” Kemudian beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meneruskan”Semoga Allah memerangi Yahudi ketika diharamkan atas mereka malah mereka perjual-belikan dan makan keuntungan jual-beli itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama sepakat dengan diharamkannya kepemilikan dan jual-beli seorang muslim atas babi maka apabila ada seorang muslim yang mencuri babi milik orang lain yang muslim atau menghilangkannya tidak perlu menggantinya dan juga dipotong tangan meski tetap berdosa.[5]
Namun bila babi itu milik selain muslim maka hukumnya wajib mengganti atau mengembalikannya sebagaimana pendapat Al Hanafiyah dan Al Malikiyah.
______________________________
[1] Asy Syahush Shaghir jilid 1 halaman 43
[2] Al Kharsyi jilid 1 halaman 119
[3] Al Majmu’ jilid 1 halaman 217
[4] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah jilid 20 halaman 34