Muntah adalah makanan yang sempat masuk ke dalam lambung manusia lalu keluar lewat mulut. Meski dalam realitas kehidupan sehari-hari tidak ada orang yang secara sengaja memakan muntah, namun dalam banyak kasus terkadang ada orang yang dalam keadaan sakit dan hampir muntah, tetapi tidak keluar dan ditelan kembali. (Hasyiyatu Ad Dasuqi ala Syarhil Kabir jilid 5 halaman 1.)
1. Muntah Najis
Tentang hukum kenajisan muntah, umumnya ulama mengatakan bahwa muntah itu hukumnya najis. Dasarnya adalah hadis di bawah.
Di antara yang menyebutkan bahwa muntah itu najis adalah Asy Syafi’iyah dan Al Hanabilah. Dasarnya adalah bahwa muntah itu adalah makanan yang sudah masuk ke dalam lambung dan telah berubah menjadi rusak dan busuk. Al-Hanafiyah mengatakan bahwa muntah itu najis apabila memenuhi mulut. Tetapi jika sedikit dan tidak memenuhi mulut, hukumnya dimaafkan. ( Fathul Qadir jilid 1 halaman 141 dan Maraqi Al Falah halaman 16-18.)
Al-Malikiyah mengatakan bahwa muntah yang najis itu adalah makanan yang telah berubah di dalam perut dan sudah tidak lagi berbentuk makanan. Sedangkan jika wujudnya masih utuh dan belum berubah, hukumnya tidak najis. (Hasyiyatu Ad Dasuqi jilid 1 halaman 51.)
Jumhur ulama seperti Al Malikyah, Asy Syafi’iyah, dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa apa yang dimuntahkan oleh seseorang adalah sesuatu yang hukumnya najis. Dasarnya karena muntah adalah makanan yang telah berubah di dalam perut menjadi sesuatu yang kotor dan rusak.
Pendapat ini didukung pula oleh dalil yang lemah seperti hadis berikut.
Wahai Ammar, sesungguhnya pakaian itu dicuci oleh sebab salah satu dari 5 hal: kotoran, air kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Ad-Daruquthny)
Al-Hanafiyah bahkan mengatakan bahwa muntah itu hukumnya najis mughlladzah (najis berat). (Al Ikhtiyar Syarhul Mukhtar jilid 1 halaman 31.)
2. Muntah Tidak Najis
Sedangkan Ibnu Hazm dan Asy Syaukani mengatakan bahwa muntah itu tidak najis. Dasarnya karena mereka tidak menerima hadis di atas sebagai hadis yang shahih.