Kenapa kebanyakan dari kita sangat tidak mudah untuk merasakan kenikmatan keimanan, lezatnya ketaatan, khusyuknya keperibadahan dan manisnya amal kebajikan? Pada umumnya kita masih menjalani sebuah ibadah itu dengan setengah-tengah atau mungkin lebih rendah lagi.
Mayoritas masyarakat pada umumnya memiliki level masih berada di tataran seremoni (semangat peringatan-peringatan), atau formalitas saja. Padahal keimanan dan keislaman sejati itu seharusnya benar-benar bisa merasuk ke hati, menyatu dengan jiwa dan mewujud dalam rasa cinta dan ridha yang nyata.
Agar mampu merasakan nikmatnya amal saleh dan khusyuknya ibadah diharuskan beragama itu secara total. Syarat mutlaknya adalah hawa nafsu harus mampu ditundukkan dan dikendalikan. Karena selama masih ada hawa nafsu tertentu yang secara utuh atau hampir utuh selalu diperturutkan, maka selama itu pula sikap ogah-oagahan akan senantiasa menyertai dalam pelaksanaan setiap amal saleh dan penunaian ibadah. Karena pada umunya ketaatan itu harus disikapi sebagai beban berat yang harus ditanggung dan dilepaskan dan belum dirasakan sebagai kebutuhan hidup yang dirindukan rasa nikmatnya dan buah lezatnya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (secara total), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.” Q.S Al-Baqarah: 208
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tak sempurna iman seseorang dari kalian sampai hawa nafsunya tunduk mengikuti ajaran yang aku bawa”. (Hadist Riwayat Imam An-Nawawi, hadits hasan shahih yang kami riwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang shahih).
Dalam hadits lain Rasulullah juga bersabda:
“Telah bisa merasakan nikmat/lezatnya iman, orang yang telah ridha terhadap Allah sebagai Tuhan(nya), ridha terhadap Islam sebagai agama(nya) dan ridha terhadap Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) sebagai rasul(nya).” Hadits Riwayat Muslim dari Al-Abbas radhiyallahu ‘anhu.
Riwayat yang lain lagi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ada tiga hal di mana jika ketiganya ada dalam diri seseorang, maka ia bisa merasakan manisnya iman, yaitu: 1). Jika Allah dan Rasul-Nya telah ia cintai melebihi kecintaannya terhadap selain keduanya; 2). Jika ia mencintai seseorang benar-benar hanya karena Allah; dan 3). Jika ia benci untuk kembali kepada kekufuran seperti kebenciannya andai ia dilemparkan ke dalam api.” (Hadits Riwayat. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).
Jadi rumusnya adalah: Tidak memperturutkan hawa nafsu/menundukkan dan mengendalikannya -> tidak mengikuti langkah-langkah syetan -> beriman dengan sepenuh rasa cinta hati dan ridha jiwa -> berislam secara total -> manisnya beriman, nikmatnya berislam dan lezatnya berketaatan.
Sedangkan rumus sebaliknya adalah: Memperturutkan hawa nafsu -> mengikuti langkah-langkah syetan -> beriman sebatas teori logika, tidak turun dari hati dan tidak sampai menjiwai -> berislam secara setengah-setengah -> beriman sebagai beban, beribadah terasa hambar dan berketaatan terpaksa dan menjenuhkan.