Biasanya taubat orang-orang awam disertai dengan keberatan di dalam hati karena menganggap jenis-jenis ketaatan dan kebaikan yang harus dilakukan terlalu banyak. Jika dibandingkan dengan kedudukan orang-orang yang khusus, hal ini akan menimbulkan tiga kerusakan:
1. Menganggap Kebaikan Taubat sebagai Keburukan
Kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan merupakan keburukan menurut orang-orang yang khusus. Kebaikan orang awam bisa menjadi keburukan bagi orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Dia perlu bertaubat dari kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena dia melalaikan aib dan kekurangannya, karena menganggap kebaikan-kebaikan yang dilakukannya itu sudah banyak. Dia mengingkari nikmat Allah, karena nikmat itu tidak tampak atau ditangguhkan.
Jika engkau menginginkan pemahaman lebih mudah tentang hal ini, maka perhatikanlah keadaanmu saat membaca Al-Qur’an. Jika engkau tidak memahami, menelaah dan memikirkannya, menyimak apa yang dimaksudkan dalam setiap ayat, tidak peduli terhadap seruan yang seakan ditujukan kepadamu, engkau hanya ingin menamatkan bacaan, engkau tidak merasakan pengobatannya di dalam hatimu, atau engkau membacanya secara serampangan, tentu engkau akan merasa bahwa bacaanmu terlalu banyak. Namun jika engkau menelaah, menyimak maksud ayat-ayat yang engkau baca, merasa bahwa ayat-ayat itu ditujukan kepadamu, engkau merasakan pengobatannya di dalam hatimu, maka engkau tidak merasa bahwa engkau telah membaca satu ayat atau satu surat dan seterusnya. Begitu pula jika engkau memaksakan hatimu untuk khusyu’ saat mengerjakan dua rakaat shalat sunat, maka shalat berikutnya akan engkau kerjakan dengan berat hati. Tapi jika hatimu tidak terbebani dengan hal itu, maka berapa pun rakaat yang engkau kerjakan tidak akan terasa berat. Bertaubat dengan menganggap ketaatan terlalu banyak tanpa memperhatikan aib dan kekurangannya, adalah taubatnya orang awam.
2. Merasa Memiliki Hak terhadap Allah
Orang yang bertaubat merasa mempunyai hak terhadap Allah, agar Dia memberikan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dia kerjakan, dengan memasukkannya ke surga dan memberinya kenikmatan serta keridhaan. Akibatnya, pikiran seperti ini jauh lebih banyak dari porsi kebaikan yang dia lakukan. Sementara amalan orang yang lebih rajin dari dia pun belum menjamin dirinya masuk surga dan terbebas dari api neraka. Tak seorang pun yang bisa selamat dari neraka dengan amal-nya, kecuali setelah dia mendapat ampunan dan rahmat Allah.
3. Merasa Tidak Membutuhkan Ampunan Allah
Padahal dalam kenyataannya dia masih membutuhkan ampunan dari kesalahannya dan pahala dari kebaikan dan ketaatannya. Jika dia menganggap ketaatan yang dilakukannya sudah banyak, lalu membuatnya merasa tidak membutuhkan ampunan Allah, maka itu benar-benar merupakan kelancangan terhadap Allah.
Tidak dapat diragukan bahwa hanya sekedar berbuat dengan amal-amal anggota tubuh tanpa disertai kehadiran hati dan menghadap diri kepada Allah, maka bisa menimbulkan tiga macam kerusakan ini dan juga lain-lainnya. Yang demikian ini tidak banyak memberikan manfaat di dunia maupun di akhirat, seperti amal yang tidak memperhatikan ketentuan perintah dan tidak disertai keikhlasan kepada Allah. Sekalipun amal itu banyak, tapi tidak banyak bermanfaat dan hanya melelahkan. Sesungguhnya Allah tidak menetapkan pahala bagi hamba dari shalatnya kecualiyang dia hayati secara sungguh-sungguh. Begitu pula setiap ibadah yang mengharuskan adanya kekhusyu’an.
Sedangkan kendala taubatnya orang-orang kelas menengah ialah menganggap sedikit kedurhakaannya. Tentu saja ini merupakan sikap yang lancang dan merasa dirinya dalam keadaan terjaga dari kesalahan.
Dengan kata lain, menganggap kedurhakaannya hanya sedikit adalah perbuatan dosa, sebagaimana menganggap ketaatannya banyak, juga dosa.
Orang yang arif ialah yang memandang kebaikan-kebaikannya remeh dan dosa-dosanya besar. Selagi kebaikan-kebaikannya dianggap kecil, maka ia menjadi besar di sisi Allah. Selagi kebaikan-kebaikan itu terasa banyak dan besar di dalam hatimu, maka ia menjadi sedikit dan kecil di sisi Allah. Begitu pula sebaliknya yang berkaitan dengan keburukan. Siapa yang mengetahui hak-hak Allah dan melaksanakan ibadah sesuai dengan keagungan-Nya, maka kebaikan-kebaikannya tampak menjadi kecil, dan dia merasa tidak bisa selamat dari siksaan-Nya.
Sedangkan kendala taubatnya orang-orang yang khusus adalah membuang-buang waktu, lalu lama-kelamaan menjurus kepada kekurangan, memadamkan cahaya pengawasan dan mengeruhkan kebersamaan dengan Allah. Maksud membuang-buang waktu di sini bukan berarti menghabiskan waktu dalam kedurhakaan dan canda atau meninggalkan kewajiban. Sebab andaikan mereka berbuat seperti ini,berarti mereka bukan termasuk orang-orang yang khusus, tapi orang-orang awam. Waktu bagi mereka mempunyai pengertian yang spesifik. Bahkan di antara mereka ada yang menyebut waktu di sini adalah kebenaran. Ada pula yang mengartikannya kebenaran yang diselami hamba, atau pengertian-pengertian lain yang serupa. Kendala taubat golongan ini ialah dengan membuang waktu-waktu khusus dan yang sebaiknya digunakan bersa-ma Allah dan tidak dikotori debu.
Ada pula kedudukan taubat yang lebih tinggi dan lebih khusus dari gambaran-gambaran ini, yang tidak diketahui kecuali orang-orang khusus, yang menganggap perbuatan, perkataan dan tindakannya masih terlalu sedikit untuk memenuhi hak kekasihnya. Mereka tidak melihat apa yang ada pada dirinya kecuali dari sisi kekurangannya saja, melihat keadaan kekasihnya lebih agung, kekuasaannya lebih tinggi dari sekedar meridhai amalnya. Mereka adalah orang-orang yang paling menghinakan amalnya sendiri. Jika mereka merasa tidak mampu memenuhi hak kekasihnya, maka mereka bertaubat seperti taubatnya orang yang melakukan dosa besar. Jadi taubat tidak pernah mereka tinggalkan. Taubat mereka merupakan satu warna tertentu, sedangkan taubat selain mereka merupakan warna lain yang berbeda, sehingga tampak jelas perbedaannya.
Taubat tidak dianggap sempurna kecuali dengan membebaskan hati dari maksud-maksud selain Allah, kemudian mengetahui alasan dari taubat itu, kemudian bertaubat setelah tahu alasan tersebut. Jika sudah begitu keadaannya, maka dia akan beribadah kepada Allah semata sesuaidengan perintah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya, sehingga semua yang ada pada dirinya bagi Allah dan bersama Allah. Yang demikian ini tidak akan terjadi kecuali orang yangsudah dikuasai rasa cinta, hatinya dipenuhi cinta kepada Allah, diisi pengagungan, kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya.