Sebagai seorang pemuda, proses pencarian jati diri ini tidak akan paripurna sebelum kita merasa puas dengan konsep diri yang kita miliki. Ibarat menyusun kepingan puzzle yang berserakan, kita masih enggan untuk berhenti ketika kepingan itu belum tersusun rapi dan sempurna. Sesulit apapun perkiraannya, kita tidak peduli. Keinginan untuk segera melihat wujud di balik kepingan puzzle yang kini masih teracak tak berbentuk, bisa mengalahkan segalanya.
Pada suatu ketika, kita melirik puzzle kawan kita yang sudah separuh jadi. Kita pun terpesona melihat wujud setengah jadi itu. Pesona itulah yang kemudian mengalihkan pandangan kita. Perlahan perhatian pada puzzle yang kita susun mulai menurun. Kita menjadi lebih sibuk membantu dan memperhatikan teman kita dalam menyusun puzzlenya. Karena sudah setengah jadi, pasti wujud di balik puzzle itu akan lebih menarik untuk dilihat. Lagipula sebentar lagi puzzlenya juga jadi. Kita bisa segera menikmatinya secara utuh.
Walaupun sudah memiliki tekad yang kuat di awal, kita tetap berpotensi ikut terlena oleh kemampuan orang-orang di sekitar kita. Apa yang mereka miliki begitu memikat hati. Tanpa sadar, kita pun ingin menjadi seperti mereka. Potensi yang sebelumnya telah ada pada diri kita perlahan kita tinggalkan. Kita berambisi untuk menggantinya persis seperti apa yang orang lain miliki. Atau kita akan menjadi pengikut setia orang tersebut, hanya karena kita kagum dengan apa yang ia miliki. Kalaupun tidak bisa menguasai apa yang ia miliki, menjadi pengikutnya pun tidak jadi masalah.
Di titik menjelang akhir, kita pun tersadar bahwa puzzle yang disusun oleh masing-masing individu ini akan dikumpulkan di satu meja untuk dinilai. Tidak ada namanya karya seseorang yang dinikmati oleh orang lain. Penilaian akan dilakukan pada tiap individu. Kita yang terlanjur terlena dengan karya kawan kita, segera berlari kembali ke meja tempat kita menyusun puzzle. Setelah diperhatikan, ternyata baru satu keping yang kita letakkan. Jadilah kita kehabisan waktu dan tidak lagi memiliki kesempatan untuk melihat wujud di balik puzzle yang ada di hadapan kita.
Ketika kita sadar bahwa tidak ada gunanya meniru apa yang dilakukan oleh seseorang, kita dengan segera merubah gaya hidup kita. Tajuk besarnya adalah menjadi diri sendiri. Namun sayang, ketika semua sudah paham tentang makna dirinya, kita masih tertatih untuk bisa melihat siapa sebenarnya diri kita. Kita terlalu lama mengagumi seseorang. Sehingga kita tidak sempat mengubah kekaguman itu menjadi sebuah pembelajaran yang bisa diaplikasikan pada diri kita. Apalah gunanya kita meniru, sedangkan penilaian akhirnya adalah tentang orisinalitas.
Waktu telah habis, semua telah menyelesaikan puzzlenya kecuali diri kita. Tangan kita gemetar, tak kuasa lagi menyusun keping demi keping yang sempat kita telantarkan. Andai saja kita masih kuat, kita belum tentu tahu wujud apa yang sebenarnya sedang kita susun. Ketika semuanya saling menunjukkan hasil kerja masing-masing, kita hanya terdiam membisu, pandangan kita kosong, dan pikiran kita melayang. Ternyata kepingan puzzle yang telah diselesaikan membentuk wajah masing-masing individu yang menyusunnya. Betapa gembiranya orang yang mampu menyelesaikan. Setelah pekerjaan itu terselesaikan, mereka baru tahu kalau mereka mengerjakan hal yang sebenarnya ada pada diri mereka sendiri. Hal yang sangat mudah, jika masing-masing individu menyadarinya sejak awal.
Bagaimana dengan kita? Kita terlanjur terpesona dengan wajah orang lain, sampai harus menelantarkan wajah kita sendiri. Kita terlalu cepat menyimpulkan kalau apa yang orang lain kerjakan selalu lebih baik daripada yang kita kerjakan. Padahal tidak seperti itu. Setelah melihat semua pekerjaan yang terselesaikan, kita baru sadar bahwa masing-masing individu mengerjakan apa yang ada dalam dirinya sendiri. Ketika semua pekerjaan sudah mulai dinilai, hanya kita yang belum menyelesaikannya. Lalu, apa yang akan kita lakukan?