Tak sedikit orang mengklaim dirinya sebagai pembela kaum perempuan, atau sebagai pejuang penyetaraan gender. Sebagian lain meyakini bahwa pembelaan terhadap kaum perempuan merupakan hal yang baru yang belum pernah dilakukan oleh siapapun. Praduga dan perasaan seperti inilah yang kemudian menggerakkan sekelompok orang untuk –dengan berani- mengritisi nash-nash al-Quran dan hadits, karena keduanya dianggap belum memberikan porsi yang cukup dalam memberikan pembelaan terhadap kaum perempuan.
Di antara ayat-ayat yang dianggap dan diklaim misoginis itu adalah:
وليس الذكر كالانثى
Artinya, ”Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan…” (QS. Ali Imran [3]: 36)
Secara parsial ayat di atas dianggap mengandung makna pendiskreditan perempuan, padahal kata “tidaklah seperti” (ليس كـ) berarti umum. Perbedaan yang dimaksud bisa dari struktur fisik, peran-peran yang dilakukan serta fitrah dan tabiatnya sudah tentu tidak bisa sama persis. Maka perbedaan antara keduanya adalah keniscayaan.
Namun demikian, perbedaan di atas tak menandakan bahwa derajat perempuan di bawah kaum laki-laki. Ada banyak kesamaan lainnya dalam hak dan kewajiban. Seperti yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
والمؤمنون والمؤمنت بعضهم اولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكوة ويطيعون الله ورسوله أولئك سيرحمهم الله ان الله عزيز حكيم
Artinya, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71)
Orang-orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan saling menolong dalam memerankan tugas-tugas dan kewajiban sosial dan –bahkan- individu (fardhu ain).
Maka menjadi hal yang sangat prinsipil untuk dikatakan bahwa antara perempuan dan laki-laki terdapat banyak perbedaan sebagaimana juga tak sedikit persamaan di antara keduanya. Dan fungsi-fungsi yang diperankannya pun disesuaikan dengan struktur fisik dan kondisi non fisiknya.
Dengan demikian keduanya tak mungkin disamakan secara mutlak sebagaimana tak juga bisa selalu dibedakan dalam segala hal. Keseimbangan dalam hal persamaan dan perbedaan inilah yang menempatkan perempuan di bawah naungan syariat Islam menjadi mulia dan bermartabat. Sebelumnya perempuan tak pernah mendapatkan hak warisnya. Islam datang untuk mengatur hal-hal ini, termasuk memberikannya hak waris sebagai sebuah aturan yang menyeluruh. Perempuan juga mendapatkan hak belajar dan menuntut ilmu, keluar rumah dan beraktivitas, hak meriwayatkan hadits dan pergi ke medan peperangan sebagai paramedis maupun pejuang, sebagaimana ia mendapatkan jatahnya dari harta rampasan perang (ghanimah)[1]. Islam bahkan tak pernah melarangnya untuk berpenghasilan dan bekerja.
Sebagian orang menjadikan kewajiban shalat jumat bagi laki-laki -saja- dan tidak diwajibkan bagi perempuan, sebagai bentuk diskriminasi lain. Padahal tidak diwajibkannya perempuan Shalat Jumat adalah salah satu bentuk keringanan yang diberikan kepada perempuan. Dan bukan berarti Islam melarang perempuan untuk mendatangi Shalat Jumat. Karena ada sebuah kaidah “man shahhat zhuhruhû shahhat jum’atuhû” (Barang siapa yang shalat zhuhurnya sah maka sah pula shalat jum’atnya).[2]
Istilah dan Sejarah Gender
Istilah gender baru didengar dan diperdengarkan serta “diperjuangkan” sejak pertengahan abad lalu (abad XX). Gender diperkenalkan pertama kali oleh sekelompok orang yang menamakan diri sebagai gerakan pembela perempuan dari London. Gerakan ini memperkenalkan “Gender Discourse”. Istilah gender sendiri bukanlah jenis kelamin (sex), tapi gender adalah peran yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan). Memang tak bisa dipungkiri peran ini tentu akan berbeda dari masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Biasanya merujuk pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku di sebuah masyarakat. Tapi, Islam memberikan rambu-rambu besar dalam masalah ini. Ada banyak hal yang dibiarkan tetap global supaya rinciannya disesuaikan dengan keadaan.
Adapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa dilepaskan dari kisah emansipasi perempuan, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan perjuangan meraih persamaan hak dan kesetaraan dengan laki-laki. Secara personal emansipasi ini mencuat dengan diterbitkannya surat-surat pribadi RA Kartini dengan istri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia, Abendanon antara tahun 1899-1904 M. Terbitan dalam Bahasa Belanda itu diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dicetak sebanyak lima kali sejak tahun 1911 M. Dan pada tahun 1912 M Gubernur Van Deventer mendirikan “Jam’iyah Kartini”.[3]
Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan secara berkelompok dan dalam Aisyiyah Muhammadiyah (1917 M), Fatayat NU (1950 M), dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) (1954 M) sebuah under bow PKI.
Gerakan emansipasi perempuan ini mengalami perubahan orientasi dari sekedar menuntut hak pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang laik, menjadi sebuah arus feminis. Yaitu gerakan yang menuntut penyetaraan dan persamaan mutlak antara kaum laki-laki dan perempuan. Terutama pasca berlangsungnya Konferensi Perempuan Internasional I di Meksiko pada tahun 1975 M.
Gerakan feminisme ini menjadi sangat liberal dengan berkembangnya aliran liberal di Indonesia. Terutama pasca euforia kebebasan setelah runtuhnya rezim Soeharto (1998 M).
Sasaran Penyetaraan Gender
Jika yang menjadi target gerakan feminisme liberal yang terselubung dalam slogan penyetaraan gender adalah perempuan, maka termasuk di dalamnya –juga- anak-anak dan rumah tangga. Jangka panjangnya adalah merusak tatanan sosial masyarakat Islam. Lihat saja –misalnya- CEDAW (The Convention on the Elimination af All Form of Discrimination Againts Women). Kesepakatan ini memuat 30 materi yang terbagi menjadi 6 pokok tema; mengatur segala hal perbedaan perlakuan yang berkaitan dengan perempuan, langkah-langkah apa saja untuk menghilangkan dan menghapuskan diskriminasi tersebut, kemudian membicarakan hak-hak pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, perilaku seksual, hak bekerja, perlindungan dalam rumah tangga, perkawinan. Selain menjelaskan tatacara merealisasikan kesepakatan ini, diatur juga bentuk pengawasan bersama baik dari pemerintah maupun NGO untuk berkomitmen menghapuskan segala bentuk perbedaan perlakuan dan diskriminasi terhadap perempuan.[4]
Wacana yang semakin bebas juga dimasukkan dalam meja-meja keputusan di lingkungan PBB. Orientasi seksual dibebaskan. Pernikahan tak lagi dibatasi hanya terjadi antara dua jenis manusia, tapi memungkinkan untuk dilakukan dengan sesama jenis. Kriminalisasi terhadap homoseks dan lesbian akan menjadi pengekangan dan permusuhan terhadap HAM.[5]
Tema-tema yang Ditarget Para Pejuang Gender
- Asal kejadian manusia. Bahwa sangat diskriminatif jika dikatakan bahwa Adam adalah manusia pertama. Klaim yang disosialisasikan adalah bahwa “nafsun wahidah” lah yang pertama kali diciptakan Allah, dan buka laki-laki.
- Tema perwalian dan mahar dalam nikah. Adanya perwalian dan mahar dalam pernikahan, merupakan bentuk diskriminasi lain yang harus diamandemen aturannya.
- Masalah thalaq. Talak yang diklaim sebagai bentuk lain hegemoni laki-laki atas perempuan juga tak luput dari sasaran target. Karena hak talak antara suami (laki-laki) dan istri (perempuan) tidaklah sama.
- Hijab/Jilbab. Menutup aurat yang menjadi salah satu tanda iffah dan usaha merealisasikan ketakwaan. Namun, kewajiban kaum muslimah ini didesakralisasi dengan meluaskan wilayah khilafiyah dari yang sudah maklum; yaitu antara wajah dan kedua telapak tangan. Kemudian diperluas menjadi redefinisi dan pembatasan aurat perempuan (di depan publik dan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya) menjadi lebih luas dari itu; bukan hanya sekedar wajah dan dua telapak tangan.
- Warits. Satu-satunya wacana klasik yang diperdebatkan dalam masalah ini adalah bahwa dalam masalah perwarisan perempuan mendapatkan jatah setengah bagian laki-laki. Padahal warisan adalah sebuah sistem komprehensif dab tidak boleh dipahami dan dilaksanakan secara parsial saja. Hanya ada 4 kondisi saat itu perempuan menerima setengah bagian laki-laki. Ada 8 kondisi saat itu perempuan menerima bagian sempurna seperti laki-laki. Ada 10 kondisi saat itu perempuan menerima bagian lebih banyak dari laki-laki. Bahkan ada beberapa kondisi saat itu perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya.
- Poligami. Adapun poligami yang dihalalkan Allah disosialisasikan untuk diperangi, sebagai bentuk perbudakan dan perlakuan tidak adil yang dialami perempuan. Karena perempuan tidak diperbolehkan memiliki pasangan lebih dari satu. Sebuah upaya untuk menutupi perilaku selingkuh dan perzinahan. Hal ini memanfaatkan sisi emosional para perempuan yang memang sangat sedikit atau bahkan tak ada yang bersedia diduakan.
- Kepemimpinan (qawwamah). Pembahasan kepemimpinan lokal dalam skup rumah tangga yang diluaskan seolah menjadi genderang perang terhadap Al-Quran yang diklaim menutup hak politik dan publik para perempuan.
- Persaksian perempuan. Sama seperti poin-poin sebelumnya, perlakuan tak adil (diskriminatif) terhadap perempuan dalam masalah persaksian sama halnya seperti menempatkan perempuan sebagai setengah manusia.
Pendekatan yang Dilakukan
- Hermeneutika
- Kritik sastra
- Pendekatan sejarah dan kebahasaan al-Quran
- Pendekatan sosiologis dan antropologis
- Pendekatan psikologis
Penutup
Semoga pengantar singkat ini bermanfaat dan bisa dilanjutkan lebih dalam di forum dialog, untuk menghasilkan masukan-masukan konstruktif yang lebih aplikatif dan mudah dipahami serta dilaksanakan.
Oleh: DR. Saiful Bahri, MA – Jakarta
Alumni Al-Azhar University, Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Quran, Cairo-Mesir
[2] An-Nawawi, Minhaj al-Qashidin wa Umdatu al-Muftin, Beirut: darul Ma’rifah, 1986 M-1406 H, 1/21.
[3] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200 – 2008 M), Jakarta: Serambi, Cet. I, November 2008
[4] United Nations, The CEDAW and its Optinal Protocol-Handbook for Parlimentarians, Switzerland, 2003, p. 9, 13
[5] International Commision of Jurists, Sexual Orientation, Gender Identity and International Human Rights Law-Practitioners Guide No. 4, Geneva, 2009, p. 52, 53