Di tengah gunjang-ganjing isu kenaikan BBM yang menyedot perhatian sebagian besar masyarakat, DPR kini juga tengah menggodok RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender). Walau kurang terekspose media massa, RUU ini sebenarnya sangat vital bagi tatanan sosial masyarakat Indonesia, pada bagian yang paling fundamental: relasi laki-laki dan perempuan serta keluarga.
“RUU ini berusaha memberikan solusi,” ujar Fauziyah (Ketua Panja RUU KKG), “dalam mengantisipasi soal gender, pembangunan responsif gender, mendorong partisipasi masyarakat, juga tentang bagaimana supaya tidak terjadi kriminalisasi tentang gender.”[1] Benarkah ini solusi? Atau justru malah menjadi pemicu masalah baru?
Kita boleh saja menganggap bahwa spirit RUU ini adalah untuk “kebaikan perempuan”. Namun sayangnya, definisi RUU ini tentang gender, kesetaraan gender, dan diskriminasi justru melanggar anggapan kita tersebut. Bagi Henry Shalahuddin yang kini tengah menulis disertasi tentang Gender di Universiti Malaya Kuala Lumpur, RUU ini akan menjadi semacam pintu masuk sekaligus landasan formal bagi dendang khas feminis: My body, my choice, my pleasure.[2] Negara akan melegalkan berbagai kebutuhan elit feminis yang belum tentu perempuan lain membutuhkannya dan (jika memang jadi dilegalkan) semua perempuan harus membutuhkannya.
Masalah paling mendasar adalah RUU ini merupakan upaya formalisasi perspektif feminis yang dikonstruksikan sebagai “solusi” atas masalah yang terjadi di Barat dan disebarluaskan ke penjuru dunia lewat CEDAW (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) dan berbagai lembaga pengajur KKG yang mengesankan bahwa semua negara membutuhkannya. Kata Gramsci, inilah hegemoni.
“Solusi” tersebut bagi saya justru masalah setidaknya karena tiga hal: Ancamannya terhadap institusi keluarga, pengabaiannya atas masalah yang sebenarnya lebih riil, dan kesalahpahamannya atas makna kesetaraan.
Institusi Keluarga Terancam
Perempuan tertindas! Perempuan terdiskriminasi! Ungkapan-ungkapan khas feminis yang sebenarnya berakar pada pola pikir Marxis yang melihat institusi keluarga sebagai cikal bakal dari segala ketimpangan sosial yang ada sehingga harus dihilangkan atau diperkecil perannya agar tercipta masyarakat komunis tanpa pembedaan.[3] Dengan pola pikir semacam ini, ungkapan-ungkapan romantis penuh cinta antara suami dan istri akan berganti dengan ungkapan-ungkapan perjuangan dan perebutan kekuasaan. Tidak ada lagi ketenangan dan kebahagiaan ketika bertemu pasangan, semua lenyap dalam kosakata ketertindasan. Kata seorang teman, “RUU KKG ini berusaha memisahkan Adam dan Hawa. Dua manusia pertama yang mengajarkan kita pentingnya institusi keluarga dan bagaimana mereka berdua menjalin relasi di dalamnya.”
Tidak hanya itu, fungsi keluarga dalam melanjutkan generasi pun terancam. “Ibu rumah tangga,” ungkap seorang tokoh feminis dalam The War Over of Family: Capturing the Middle Ground, “adalah perbudakan perempuan.” Yang lebih parah lagi, data dari Centers for Disease Control menunjukkan jumlah aborsi antara tahun 2000-2005 mencapai angka 850 ribu, belum lagi aborsi yang ilegal.[4] Mereka enggan menjadi ibu dan melakukan aborsi. Belum lagi persoalan pernikahan sejenis yang dalam sebuah artikel berjudul “Etika Lesbian” di Jurnal Perempuan digambarkan dengan cukup vulgar, “cinta antar perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki.” Bayangkan! Jika ternyata lesbian telah mewabah bak jamur di musim hujan. Lantas… Apakah masyarakat akan terus berlanjut? Inikah hasil dari “solusi” atas ketimpangan gender itu?
Masalah Riil Perempuan
Meskipun banyak masalah dari tawaran “solusi” ini, toh sebagian besar dari ormas Islam yang diundang dalam RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) Komisi VIII seperti Muslimat NU, Aisyiyah Muhammadiyah, PUI, BMOIWI bahkan MUI tidak menolaknya, melainkan hanya meminta perombakan total dari RUU KKG ini. Hanya Muslimat HTI yang menolak.[5] Saya melihat ada semacam kekhawatiran dari sebagian besar ormas Islam dan pihak-pihak yang mengambil sikap serupa bahwa sikap menolak penuh akan diartikan sebagai pembiaran terhadap masalah yang dialami perempuan.
Padahal apa yang disebut “masalah” oleh RUU KKG dan para pengajurnya ini pun sebenarnya hanya masalah yang tercipta akibat pola pikir ketertindasan ala Marxis mereka dan belum tentu juga dianggap masalah oleh perempuan lainnya. Di sisi lain, sebenarnya ada masalah yang lebih riil untuk diperhatikan dan diselesaikan, seperti human trafficking dan rehabilitasi kesehatan mental para korban; memperbanyak tersedianya ruang menyusui di mal-mal, terminal, tempat kerja, dan fasilitas publik lainnya; memberikan cuti bergaji bagi yang hamil dan melahirkan selama setahun, cuti haid, menerapkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu berkarier, dsb.[6] Di sinilah bedanya, pola pikir feminis dan pengajur KKG mengesankan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah itu lebih baik. Padahal, status termulia yang diajarkan Islam untuk seorang perempuan adalah Ibu. Siapakah yang permintaannya lebih harus kita utamakan sebagai seorang anak, Ibu atau Ayah? Ibu, Ibu, Ibu (sampai tiga kali), kemudian ayah. Ini adalah bukti bahwa istilah ketimpangan gender tidak menemukan konteksnya dalam Peradaban Islam.
Kesetaraan, Bukan Kesamaan
Dr. Lamya Al Faruqi mengatakan bahwa konsep Barat menciptakan masyarakat unisex dengan mendewa-dewakan peran laki-laki dan merendahkan peran perempuan sehingga memaksa perempuan untuk menyerupai laki-laki.[7] Kesetaraan pun akhirnya dimaknai sebagai kesamaan secara kuantitatif. Di Indonesia, contoh paling nyata adalah keharusan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif sebesar 30% yang membuat partai-partai berlomba untuk memenuhi keharusan itu, meski risikonya akan sedikit abai dengan kualitas. Perempuan juga hanya dianggap berkontribusi terhadap pembangunan ketika beraktivitas di luar rumah. Sebuah penghinaan atas peran Ibu yang sangat besar pada diri-diri setiap kita, manusia Indonesia.
Konsep kesetaraan dalam RUU KKG ini pun abai terhadap salah satu nilai penting dalam pembentukan budaya dan jati diri bangsa: Nilai Ketuhanan atau Religius. Nuansa dari RUU KKG ini jelas sangat sekular dan melupakan dimensi akhirat. Masyarakat Islam secara konseptual maupun historis,” ungkap Hamid Fahmy Zarkasyi dengan sangat indah, “tidak menjunjung konsep kesetaraan 50-50. Di hadapan Tuhan memang sama, tapi Tuhan tidak menyamakan cara bagaimana kedua makhluk berlainan jenis kelamin ini menempuh surga-Nya.”[8]Seorang perempuan yang meninggal saat melahirkan anaknya, diganjar dengan status yang sama ketika seorang laki-laki meninggalkan di medan perang: syuhada. Sungguh, hanya Allah-lah sebaik-baiknya pemberi standar kesetaraan dan keadilan. Bukan manusia, apalagi para feminis yang konon akar katanya adalah fe (iman) dan minus (kurang); kurang iman.
[1] http://www.pikiran-rakyat.com/node/179202
[2] http://www.eramuslim.com/berita/analisa/cetak/membangun-ruu-gender-yang-harmoni-dan-beradab
[3] Ratna Megawangi, 1991, Membiarkan Berbeda?, Jakarta: Mizan, h.11
[4] Warsito, Konsep Keluarga Islam: Lebih Indah, Jurnal Islamia Republika Edisi Kamis 22 Maret 2012, h.24
[5] http://jilbabkujiwaku.blogspot.com/2012/03/mayoritas-ormas-islam-tidak-menolak-ruu.html
[6] Henry Shalahuddin, Kesetaraan Gender: Untuk Siapa?, http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=309:ruu-kesetaraan-gender-untuk-siapa&catid=4:henri-shalahuddin
[7] Lamya Al Faruqi, 1997, ‘Ailah, Masa Deepan Kaum Wanita, Surabaya: AlFikr, h.93
[8] Hamid Fahmy Zarkasyi, Gender, http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=307:gender&catid=2:hamid-fahmy-zarkasyi