Seperti biasa, suasana pertemuan pekanan kelompok ‘Azzam berlangsung semarak. Akan tetapi pertemuan lengkap, full team, bisa dihitung jari. Dan pertemuan sore itu, termasuk yang sedikit tadi . Penyebabnya ternyata sederhana. Dimulai dari lontaran seloroh dari Ardy. Ia berkata lepas, “Gimana sih rasanya kalau ikhwan jatuh cinta?”
Pertanyaan itu sebenarnya tidak bermaksud apa-apa. Ardy hanya seadang merespon musim lain selain musim hujan setelah Ramadhan lalu, yaitu musim nikah.
Izzah yang tanggap terhadap kebutuhan wawasan binaannya, menanggapinya serius. “Insya Allah, pekan depan kita membahas pertanyaan antum.”
Azzam yang melihat peluang terbuka langsung menyambar, “Ceritain ke kita dong, Bang.. Eh, afwan ya Bang, kalau gak keberatan, ceritain dong saat Abang jatuh cinta ke mbak Aisyah.” Azzam menundukkan wajahnya merasa bersalah.
“Ye… ngelunjak. Iqab (hukum-red) aja, Bang. Gampang, tinggal gantung proses aja,” Ardy menimpali, yang mendapatkan tatapan mengejek Azzam.
Izzah melerai binaannya seperti biasa, “Sudah… sudah…, insya Allah pekan depan kita akan bahas tentang itu semua.”
Dani, yang dari tadi senyam-senyum menanggapi teman-temannya, dengan polos melontarkan pertanyaan – yang suka telat – yang membuat teman-temannya ketawa ngakak, “Emang boleh ya Bang, ikhwan jatuh cinta?”
Dengan sabar akhirnya Izzah memulai topik yang seharusnya baru dimulai pekan depan. Ia bertutur, “Akhi sekalian, ikhwan maupun akhwat adalah juga manusia biasa. Kita semua berbeda bukan karena tidak memiliki cinta, melainkan karena cinta kita selalu berbingkai ketaatan kepada Sang Pencipta.”
Izzah menatap antusias di wajah binaannya. “Kita berhati-hati agar cinta kita tidak terjebak dalam setting setan yang bermuara maksiat.”
Azzam menanggapi pembinanya, “Trus, kapan dan dimana Abang jatuh cinta ke mbak Aisyah?”
Izzah tersenyum, “Saya jatuh cinta ke mbak Aisy tepat ketika saya memutuskan menikah dengannya. Perasaannya sederhana, yaitu kesesuaian. Kita jika sudah melihat akhlak seseorang baik, maka akan mudah untuk menyukainya. Letaknya lebih kepada hal-hal yang substansial, misalnya kita merasa bahwa inilah akhwat yang dapat mendampingi kita dalam beban berat amanah dakwah, inilah akhwat yang dapat membantu terwujudnya cita-cita pembinaan diri kita ,inilah akhwat yang dapat mengambil peran sebagai madrasah bagi anak-anak kita kelak. Hal-hal seperti itu… Dan masyaAllah, semakin bertambah hari yang dilalui bersama, perasaan cinta itu semakin mendalam. Terutama jika kita membingkainya dengan kerelaan kita menerima pendamping kita apa adanya.”
Izzah menatap binaannya yang nyengir-nyengir kuda, sembari menduga-duga apa isi kepala binaannya saat ini.
“Trus, romantis-romantisan dong, Bang,” Ardy bertanya lugu yang mendapat koor teman-temannya.
“O iya, itu dengan sendirinya. Kalau orang mementaskan romantisme dengan cara-cara yang tidak halal, maka kita lebih berhak melakukan hal tersebut, atau bahkan lebih wajib. Dengan catatan, hal itu dilakukan ketika sang akhwat sudah sah menjadi istri kita. Jangan sampai ada yang menyangka bahwa proses ta’aruf identik dengan pacaran yang romantis. Perasaan ini harus dijaga. Bertahaplah membinanya. Setelah khitbah, intensitasnya mungkin bisa ditingkatkan dalam batas yang wajar. Lalu menjadi wajib setelah akad nikah dilangsungkan.”
“Wah.., Bang. Kalau gitu, kayaknya ane sedang jatuh cinta nich Bang.” Ardy nyletuk setengah tidak sadar.
Azzam langsung menimpali, “Ngaco..! Iqab aja nich, Bang.. Khitbah akhwat dulu ente.. Sembarangan!”
Azzam manyun yang lain ketawa.
Majalah Al Izzah