Masih saja begitu indah Allah merangkai jalinan mozaik peristiwa agar makhluk-Nya senantiasa mengambil hikmah atas segalanya. Dua hikmah yang sangat besar, tentunya adalah Al Qur’an dan kabar duka dari siapapun tentang kematian. Dua hal itu sangat terang untuk dicari hikmahnya dalam-dalam jika menginginkan Allah berkenan meridhai jalan bagi manusia untuk menuju kepada-Nya.
“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS Al Baqarah:269).
Secuil lagi hikmah dari kisah sederhana menghampirinya. Peristiwa itu, muncul sekitar 24 jam penentuan keberlanjutan hubungan antara dua insan yang tengah berharap ridha-Nya.
Arliva. wanita itu, menangis hebat pagi itu. Jiwanya sungguh terasa sangat picisan. Entah mengapa kisah sederhana yang sebetulnya ia yakini telah banyak dilewati dua sejoli di dunia ini membuat benteng jiwanya porak poranda. Sungguh picisan jiwa ini. Seolah berbagai masalah besar tiba-tiba saja hilang dari pikirannya. Lalu, tergantikan dengan masalah sepele yang ternyata membuat arah kemudi kalbunya oleng. Apakah ia memang selemah ini?
Benarkah ini bukti bahwa memang Allah seringkali menguji jiwa pada titik lemahnya? Ketika sang jiwa bisa menghadapi suatu cobaan, bahkan orang kagum dengan kemampuan sang jiwa menghadapi cobaan itu, masih belum cukup ketika titik lemah sang jiwa belum diuji? Atau memang jiwanya teramat lemah atas imannya yang lemah? Sehingga ketika segala teori ia pahami belum pula cukup kuat untuk memberi cahaya bagi amalnya untuk bekerja.
“Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al Baqarah:155)
Ia, sebagai wanita merasa sungguh sangat manja atas cita-citanya menggapai langit, mendambakan proses percintaannya dengan manusia begitu suci menurut kehendaknya. Menginginkan setiap jalan menuju bahtera bernama pernikahan adalah sesuai apa yang dipikirkannya. Mungkin pula wanita ini lantas mendirikan benteng keangkuhan sikap yang ia sebut sebagai keperawanan hati yang juga ia inginkan dari lelaki yang hendak bersamanya. Ia tidak ingin mencinta sebelum waktunya.
Untuk itulah ia berniat menjaga komitmennya untuk tidak menjalin hubungan khusus dengan lawan jenisnya sejak SMA, dimana saat itu ia merasa sudah ada bibit cinta dalam hatinya untuk menemukan tulang rusuknya. Begitupula ia ingin lelaki yang datang padanya tak cacat dalam hal ini.
Impian yang juga mungkin saja dipunyai oleh banyak wanita jagat ini dengan setiap laku takdir mereka sendiri. Alasan itulah yang membuatnya sangat gemetar ketika hatinya telah condong kepada seorang lelaki yang ia kagumi kesalehannya. Dengan segala dayanya, ia pungkiri setiap rasa. Ia doktrin hatinya bahwa siapapun yang hatinya condong kepadanya sebelum akad diucapkan adalah bukan untuknya. Wanita ini memilih jalan dimana cintanya bagai mutiara setelah pernikahan. Awalnya tiada berbentuk. Hanya sebutir pasir kecil. Namun, dengan kuasa Sang Pemberi Cinta, butir pasir itu dipertemukan dengan liur suatu hewan yang juga bukanlah barang berharga di awal prosesnya, bahkan lebih hina dari sebutir pasir. Ketika keduanya dipertemukan, muncullah butir mutiara yang makin menebal dan menampakkan kilaunya yang beraneka warna hingga diburu manusia akan keindahannya.
Demikianlah wanita itu berteori, sehingga ia sangat ingin Allah menghadirkan cintanya laksana mutiara itu setelah akad diucapkan. Hanya saja, atas perihal jiwanya itu, Allah seolah hendak mengujinya. Ia malah dekatkan wanita itu pada lelaki dambaannya. Semakin dekat dengan segala agenda yang tidak disangka, hingga hatinya sangat lemah seraya memohon kepada-Nya. Wanita itu takut jika amal yang ia perjuangkan tidak lagi murni untuk pencipta-Nya. Kedekatan momentum dengan lelaki dambaannya di ladang perjuangan seorang pelajar, di sekolahnya. Sekolah tempat wanita itu dibentuk paradigmanya dan dibesarkan dengan segala kesibukan organisasi dan akademis.
Dan sekali lagi, dalam beberapa kesempatan harus bertemu dengan lelaki dambaannya itu. Ia yakin kisah ini juga dialami oleh banyak aktivis organisasi sekolah atau kampus kala seumurannya. Bukanlah kisah istimewa, tapi ketika ia mengalaminya pula, semuanya menjadi tampak tidak sederhana.
Seharusnya, jika ia cuek saja tentunya tidak ada masalah. Ya, memang bukan masalah besar. Namun, masalah yang muncul adalah bahwa hatinya terasa tidak sekuat pikirannya. Ia sadari ia harus berbenah dan hanya Allah-lah tumpuan harapan. Ia bersyukur ketika apa yang ia sebut solusi adalah ada lelaki lain yang hendak meminangnya. Tanpa pikir panjang, ia sambut niat baik itu.
Atas sikap hatinya itu, wanita itu sudah bisa mengendalikan diri hingga sekitar dua puluh empat jam menuju waktu ia dikhitbah hatinya membiru melankolik.
“Ya Allah benarkah aku sering berlebihan? Jika iya, tunjukkanlah caranya agar aku senantiasa dekat kepada-Mu.Tuangkanlah kesabaran pada hatiku agar aku tidak terjerumus kepada maksiat kepada-Mu melalui sikapku yang tidak aku pahami ini.”
Ia hanya berderai tangis saat perantara dari sang lelaki yang hendak mengkhitbahnya meluncurkan SMS pertanyaan.
“Maaf mbak, bagaimana akhirnya? Apakah beliau diizinkan datang ke rumah untuk mengkhitbah antunna? Tentang pertanyaan yang mbak tanyakan akan dijelaskan lebih rinci kalau khitbah sudah berlangsung. Saya izinkan berkomunikasi langsung lewat sms atau jika mendesak lewat telpon. Asal, tetap menjaga batasan syar’i.”
Belum sempat ia balas, tampaknya sang perantara mulai gusar hingga akhirnya menelponnya.
”Mbak, saya menjadi perantara proses ini sungguh ingin mencari ridha Allah. Dan saya memang cukup yakin bahwa beliau bisa menjadi qowwam antunna. Tentang masa lalu, saya pikir itu tidak terlalu diambil pusing.”
Wanita itu hanya mencoba menahan tangisnya agar tidak terdengar dari sang perantara dan sang perantara melanjutkan petuahnya.
“Dulu, istri saya mengatakan kepada saya bahwa ia menerima saya utuh. Bukan hanya dengan sebagaimanapun masa lalu saya, tapi juga sebagaimanapun masa depan saya. Dan, saya juga berharap mbak bisa demikian atas beliau.”
Wanita itu sedikit bisa menenangkan diri meskipun agak gemetar menjawab. Ia tentu saja percaya atau bahasa lainnya tsiqah dengan perantara tersebut. Dengannya lah Allah memudahkan jalan menuju bahtera rumah tangganya. Ia sangat bersyukur bisa menjadi sekian dari wanita yang menuju rumah tangga dengan cara yang demikian, sungguh nikmat baginya meskipun ini tentu bukanlah jalan satu-satunya yang paling diridhai-Nya. Setiap orang punya cerita. Dan ia ingin citanya bisa terwujud karena cara inilah yang ia pahami bisa memberikan hikmah yang besar baginya.
“Bukan tentang masa lalu, Pak. Saya sudah mencukupkan masa lalu beliau. Tidak masalah bagi saya, seperti halnya perkataan beliau bahwa beliau sudah mencukupkan masa lalunya sebagai pembelajaran. Tidak lebih. Hanya saja, adakah jaminan bahwa saya tidak akan berada dalam bingkai emas sosok yang telah beliau ciptakan atas sosok mulia perempuan di masa lalunya itu?”
“Perempuan itu sangat mulia di mata saya, bahkan memliki banyak yang tidak saya miliki. Dan keduanya berpisah bukan karena tidak saling ridha. Tapi karena ada hal lain yang lebih prioritas, Pak.”
Wanita itu masih saja tenggelam dalam opininya. Ia mencoba mengurai sendu hatinya.
“Tentang itu, beliau juga sudah menyampaikan melalui SMS bahwa beliau sudah yakin memilih antunna. Dan, bagaimanapun antunna adalah pintu syukur bagi beliau yang akan membuat beliau mencinta sepenuh jiwa. Mungkin SMS nya masih pending. Tadi sudah saya forward ke antunna.”
Sekitar satu hari menjelang khitbah, wanita itu malah meragu atas informasi dari seorang teman yang ia percaya netral berbicara, hingga akhirnya kisah masa lalu terbongkar. Ia berniat di awal tidak akan mencari rekomendasi atau informasi tambahan terkait lelaki itu hingga ia berpikiran ikhtiar harus pada titik akhirnya. Bahwa mengetahui sebelum memutuskan patut dilakukan. Lalu ia pun akhirnya menghubungi seorang sahabat dari lelaki yang hendak meminangnya itu.
Keperawanan hati yang ia citakan, benarkah tidak bisa ia dapatkan dari seorang yang akan mengkhitbahnya? Padahal itulah yang menjadi puncak ridhanya agar seorang lelaki bisa menyandingnya. Yang ia dapatkan kini adalah lelaki dengan masa lalu dimana tiap pelaku masa lalu itu ia kenal dengan baik. Sangat akrab bahkan. Tak lain adalah teman berjuangnya. Ia tidak memungkiri bahwa perempuan masa lalu itu begitu indah yang juga membuat hatinya menciut. Bagaimana jika peran perempuan itu di hatinya tidak dapat tergantikan?
“Saya harap mbak bisa sedikit bijak. Saya khawatir keraguan ini adalah langkah syaitan untuk menjerumuskan hamba-Nya dalam beribadah,” kata bapak perantara itu.
Wanita itu tersadar sejenak akan niat awalnya. Mengapa harus ragu ketika ternyata hatinya sudah tidak perawan? Mungkin juga ini adalah ladang amal yang disiapkan baginya. Dimana di dalamnya akan terkuak hikmah yang ia cari. Mengapa harus bertinggi angan, bisa jadi semua itu tidak penting. Atas nama ukhuwah, sungguh, Salman Al Farisi pun menyerahkan wanita yang akan dilamarnya kepada Abu Darda. Ketika terjadi permasalahan rumah tangga mereka maka Salman pula yang mendamaikannya. Tidakkah wanita ini paham tentang makna ukhuwah? Tidakkah doa rabithah–nya menyinari sanubarinya?
Wanita ini dibesarkan pada akhir zaman, tapi tentu saja ingin meneladani sosok-sosok generasi terbaik. Masalahnya, tentu bukan menjadi masalah di masa generasi emas itu. Ini hanyalah masalah kecil. Namun, mungkin karena ia yang belum mendalami bagaimana sosok-sosok teladan itu berkiprah ia pun menjadi kurang bijak.
Kalau boleh dianalogikan, untuk masalah yang lebih berat, seperti halnya poligami, dimana di masa Rasulullah bukanlah suatu masalah. Namun, sekarang terasa kurang patut untuk dilakukan karena nilai sudah bergeser. Dan ia sebagai wanita, menghadapi masalahnya saja belum ridha apalagi perkara poligami. Masih lagi syariat lain yang harus ditunaikan sebagai seorang muslim. Ia ingat perkataan temannya yang shalih bahwa dasar yang dijadikan patokan adalah syariah, bukan kecenderungan zaman apalagi keinginan hati.
Dan wanita itu berazzam untuk membuka lembaran baru, mencukupkan pemahamannya atas keperawaan hati yang adalah cita-citanya demi hikmah yang lebih besar. Antara ukhuwah dan cinta.
“Ya Allah, tunjukilah aku ke jalan rahmat-Mu. Buatlah hatiku melunak karena iman kepada-Mu dengan mencintai saudaraku dan bukalah pintu cinta-Mu untuk membangun kehidupan baruku. Dan bimbinglah aku menepati bacaan doa rabithahku.”
Dan wanita itu, Arliva, mencukupkan bimbangnya dengan menjawab kepada sang perantara bahwa ia mengizinkan lelaki yang hendak mengkhitbahnya datang ke rumah hingga bertemu dengan walinya untuk menegaskan bahwa wanita itu tidak halal dikhitbah oleh lelaki manapun selainnya.
“Aku akan mencoba menerimamu. Utuh, penuh, dan seluruh. Bukan hanya atas masa lalumu, tapi juga masa depanmu.”