Kebiasaan hafal-hafalan di tanah Arab, khususnya Mesir, sampai hari ini masih bertahan. Sekalipun tidak ada yang sampai ke derajat hafizh, yang hafal ratusan ribu hadits dan ilmu-ilmu lainnya.
Melihat kemampuan mereka menghafal kadang-kadang membuat decak kagum yang tidak tertahankan. “Gila” atau “syetan”, itulah ungkapan yang keluar. Bukan maksudnya menghina, tapi karena kehabisan kosa kota, apa harusnya pujian yang tepat kita berikan untuk kehebatan seperti itu. Karena tidak pernah kita temukan manusia di tanah air yang hafalannya seperti hardis komputer.
Hafal-hafalan sangat penting dalam membangun keilmuan. Semakin banyak maklumat yang bisa dihafal semakin kokoh bangunan keilmuan seseorang.
Man hafizhal mutun hazal funun. Siapa yang hafal matan-matan (kalimat-kalaimat sandi ilmu) ia akan menguasai berbagai bidang disiplin keilmuan. Begitu ungkapan ilmuan semenjak dulu.
Lain halnya dengan sebagian orang yang mengaku pencinta ilmu di negeri sebelah, hafal-hafalan tidak ada gunanya, begitulah kata mereka. Yang penting pemahaman. Bahkan mereka berpandangan miring kepada orang yang mementingkan dan suka hafal-hafalan.
Alasannya, bila hafal-hafalan lupa maka ia akan kehilangan ilmu. Jika hal itu terjadi ketika ujian atau menyampaikan sesuatu dalam forum ilmiah ia akan terdiam, tidak bisa apa-apa. Tapi bila ia paham, ia akan bisa mengolah bahasa sesuai dengan maksud yang dituju.
Alasan ini kedengarannya bagus dan logis. Namun bila dicermati akan terlihat ganjil. Apa keganjilannya?
Dari mana datangnya pemahaman kalau tidak ada yang dihafal? Padahal kita memahami sesuatu kemudian mengembangkannya bila ada dasar sesuatu itu di dalam memori. Kalau bukan demikian pasti pemahaman itu muncul dari reka-rekaan, kira-kira dan pemikiran tanpa dasar.
Sementara Allah berfirman:
“…….sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”. (An Najm: 28)
Ulama juga mengatakan: “Siapa yang tidak hafal dasar-dasar ilmu akan terhalang untuk sampai kepada ilmu”.
Itulah makanya kita sering kegelian melihat orang yang hafalan al Qur’an baru beberapa surat pendek dan ayat penting, hadits tidak seberapa, bahkan bacaan al Qur’annya berlepotan, apalagi bahasa Arab, jauh sekali dari dikatakan bisa, di saat berdebat ceritanya kian kemari bagaikan orang akrobat. Padahal yang dia bicarakan sederhana saja, dalil dan nashnya sudah lengkap di dalam al Qur’an dan hadits. Tapi karena tidak hafal dalilnya, pembicaraannya terbang dan mengelantur kian kemari memakai ilmu kirolologi. Semuanya serba asumsi, tanpa ada yang pasti. Sialnya lagi, mereka merasa bangga dan merasa hebat dengan kenekatan tersebut.
Salah satu akibat terparah lainnya adalah menganggap kebenaran segala hal, relatif. Tidak ada perkara “tsawabit”, semua “mutaghayyirat”. Tidak ada yang qath’i, semua zhanni. Apapun terbuka untuk didialogkan dan diperdebatkan, tidak ada hal yang sakral dan sudah final, tidak perlu diperdebatkan. Yang penting bisa beretorika, bisa memutar-mutar pikiran lawan bicara. Itulah yang ilmiyah, saudara-saudara!
Tidak mengherankan cara pikir mereka seperti itu, karena memang ilmunya mengawang-awang. Tidak ada landasan untuk berpijak.
Akhirnya, ketika mereka membicarakan agama, harap -harap penjelasan, pembelaan dan pengajaran yang benar keluar dari lidah mereka, malah justru agama dijadikan bahan mainan, bahkan ejekan tanpa mereka sadari.
Mereka merasa keren mengikutkan pendapat orang-orang Barat yang tidak ada hubungannya sedikitpun dengan agama ini. Padahal perkataan dan pendapat ulama yang menjadi pewaris dan perantara kita dengan Rasulullah tidak mereka gubris.
Kita berlindung dari kesesatan tapi merasa benar.