Hari-hari ini kita makin disibukkan dengan beragam peristiwa. Umumnya semua peristiwa itu tak luput dari mata pers, dari telinga jurnalis, dari penciuman wartawan. Media bergerak meliput dan mengejar kasus dan banyak peristiwa. Maka, kita pun, sebagai pemirsa dan pembaca juga bergerak menyimak berita, mendengar, melihat dan membaca.
Tak jarang kita bersungut, apalagi jika melihat, mendengar dan membaca berita yang menyebal. Banyak cerita yang membuat panas kuping, tak sedikit berita yang membuat dahi mengkerut. Parahnya kebanyakan media lebih berpihak pada ucapan dan omongan batil, membela yang jahil. Itu namanya media tanpa nilai. Saat ini siapa yang bisa menguasai dan mengendalikan media atau informasi, maka seakan dia itulah yang benar. Yang lain salah.
Sejatinya fungsi media (surat kabar/tabloid, majalah, radio, televisi, film) adalah memberi informasi, membentuk opini, mendidik dan menghibur. Menghibur pun tentu yang sehat. Menghibur bukan jualan seks, menampilkan pornografi dan pornoaksi, sebagaimana telah dilakoni sejumlah media. Banyak media tampil jorok, itu tentu bukan menghibur yang dimaksud.
Manakala sejumlah stasiun televisi mempertontonkan tayangan vulgar, mengumbar aurat dan ngomong jorok, itu namanya bukan menghibur, tapi merusak alias tidak mendidik. Tatkala film nasional yang, katanya, sedang bangkit, kemudian menjual cerita, tema dan adegan-adegan murahan (nge-seks, hidup bebas/hedonis, perselingkuhan), itu jelas makin melengkapi “sakit”nya sebagian besar masyarakat kita.
Beberapa film Indonesia di bioskop yang berhasil menyedot penonton, sama sekali tidak mengandung dan mengusung nilai (positif). Film-film tersebut, sebagaimana kebanyakan sinetron, hanya menjual gaya hidup yang cenderung jadi pembenaran (justifikasi) kehidupan yang sesungguhnya abnormal, tapi melalui tayangan-tayangan tersebut, jadi sesuatu yang biasa (dianggap normal). Kebatilan yang sudah biasa dilakukan, berulang-ulang, akhirnya seolah dianggap sebagai “kebenaran”.
Itu belum lagi jenis film yang sengaja diproduksi untuk membentuk opini agar orang ragu terhadap Islam. Ingin membuat image buruk tentang Islam.
Bangsa ini akan tetap terpuruk (berantakan) jika salah satu unsur terpenting, yakni medianya, tidak mencerdaskan, tidak mencerahkan. Fungsi mendidik (mencerdaskan dan mencerahkan) tidak diminati, lantaran media lebih memilih selera pasar yang tengah ‘sakit’. Media tak lagi berperan sebagai pengarah, pengendali, pembentuk opini yang benar, tapi sebaliknya. Media telah dikendalikan oleh mesin bisnis, para investor, kaum beruang yang lebih melihat peluang pasar, ketimbang visi-misi menyelamatkan bangsa yang sedang rusak dan dirusak ini. Lebih parah lagi, media digunakan untuk menghantam Islam —secara halus ataupun vulgar. Tuntutan pasar dan kepentingan menghantam Islam membuat banyak orang tambah nekat untuk membuat proyek apa saja yang menghasilkan (secara materi) tanpa memikirkan aspek lain, yakni keterpurukan moral dan akhlak yang telah membuat negeri ini berjalan tanpa kendali.
Sungguh menyedihkan membaca sebagian koran/tabloid, melihat televisi dan film-film bioskop yang sama sekali bebas dari nilai (yang benar). Yang diusung lebih pada nilai-nilai liberalisme. Tanggung jawab media, sebagai pengemban misi dan fungsi: memberi informasi yang benar, membentuk opini, mendidik/mencerdaskan dan menghibur dalam arti sebenarnya sudah banyak diabaikan.
Bill Kovach yang hidup di negara liberal saja, dalam The Elements of Journalism, mengingatkan bahwa jurnalisme —yang merupakan bagian dari media— setidaknya memiliki kewajiban pertama mengusung kebenaran. Bicara kebenaran, Islam adalah al-Haq.
Sesungguhnya jalan hidup (way of life), yang benar dan diridhai Allah hanyalah Islam. Barang siapa yang mencari-cari jalan hidup selain Islam, ia tertolak!
Sajian media-media kita, terutama kebanyakan tabloid, tayangan televisi dan film-film di bioskop, bukan mendakwahkan yang benar. Pamer aurat dianggap mode, sedang seks bebas jadi gaya hidup. Film-film yang dipertontonkan sangat mendukung gaya hidup seperti tersebut.
Orang hidup serumah tanpa ikatan nikah dianggap normal. Pasangan lesbi dan gay, manakala keluarga, lingkungan dan teman-temannya tahu keadaan mereka sebenarnya, bukannya diselamatkan, malah disupport. Dianggap normal saja, no problem! Digambarkan, sang ibu, menerimanya tanpa usaha untuk menyelamatkan sang anak. Nrimo saja. Ayo, bagaimana masa depan negeri ini 5, 10, 20 tahun mendatang?
Film-film remaja tak kalah dahsyatnya. Semuanya mengarahkan remaja kita untuk hidup bebas, mewah, tanpa arah. Itu karena anggapan, nilai-nilai yang baik tak laku, tak menghasilkan duit. Media (film) sudah terjebak pada jalan pintas, malas memikirkan bagaimana cara membuat film yang bernilai dengan kemasan menarik. Kalaupun ada, itu tak banyak, bisa dihitung jari. Karena tidak kreatif, malas, dibuatlah film seadanya, sekenanya. Mana yang jadi tren hidup sekarang, itulah yang dijual, tanpa memikirkan lagi dampak jeleknya terhadap negeri yang tengah banyak dilanda masalah ini.
Jika semua pihak tak menyuguhkan program dan film-film berselera rendah, memangnya siapa yang protes? Jika kita menemukan sebagian besar rakyat sedang “sakit”, kalau kita dapatkan sebagian rakyat melakukan perbuatan mungkar dan maksiat, hidup bebas tanpa kendali akhlak, mengapa dipublikasikan? Apabila sarana-sarana maksiat seperti diskotik, tempat-tempat judi dan pelacuran, marak dan berkembang, kenapa segala kejelekan itu kita tayangkan? Bukankah jadi iklan gratis, dan membuat para penonton yang juga punya kecenderungan ke sana penasaran, terinspirasi, lalu ikut menceburkan diri ke gelanggang maksiat?
Tanpa kemauan dan itikad yang kuat dari pemerintah untuk membereskan sajian dan tayangan yang tidak mendidik ini, tak ada gunanya. Para dai, terutama di lingkungan media (cetak dan elektronik, termasuk film), punya tanggung jawab lebih besar terhadap kerusakan dan ketidakbecusan ini. Mereka harus mendorong pemerintah dan para wakil rakyat agar melahirkan UU tayangan yang mencerahkan lagi mencerdaskan bangsa. Jika tidak, siap-siap saja bangsa ini melahirkan generasi berikut yang lebih parah dari sebelumnya. Akhirnya, bangsa ini benar-benar akan jadi mainan dan dalam kendali bangsa-bangsa lain, lantaran generasi berikutnya bego-bego!
Ketika sebagian dari anak bangsa ini tak jujur, lain di mulut lain di hati, dan itu disupport oleh sebagian besar media. Sebut misalnya, dulu, ketika muncul pertarungan antara yang mendukung RUU Anti Pornografi-Pornoaksi (APP—ketika menjadi UU namanya menjadi UU Pornografi-Pornoaksi, kata “Anti” hilang, pen) dengan yang menolak. Banyak media yang sinis terhadap kelompok masyarakat yang mayoritas menyatakan mendukung RUU APP. Umumnya media justru mendukung kelompok kecil yang menentang RUU APP.
Masih berhubungan dengan contoh di atas, seorang presenter infotainment wanita yang berpakaian minim (sebagian dadanya tampak) pada sebuah stasiun televisi, berceloteh dengan kebodohannya. Sang presenter mengomentari Aksi Sejuta Umat yang mendukung RUU APP sehari sebelumnya. “Di hari libur kemarin di Jakarta ada demo mendukung RUU APP. Ngapain ya, kurang kerjaan kali ya…,” kata si presenter itu. Ia melanjutkan, sambil memegang bagian tubuhnya yang terbuka, “Aduuh, saya jangan didemo ya….”
“Ngapain ya, kurang kerjaan kali ya,” ini jelas omongan asal bunyi yang berangkat dari kebodohan. Sama bodohnya ketika seseorang yang, katanya public figur (artis)—padahal apanya yang jadi figur untuk orang semacam ini—melakukan orasi saat demo menentang RUU APP di Bali. Orasi tidak nyambungnya itu antara lain, “Siang ini di Jakarta mendukung pengesahan RUU APP dengan alasan untuk meningkatkan martabat bangsa ini. Bobroknya bangsa ini bukan karena goyangan penyanyi dangdut tetapi karena koruptor. Jika RUU APP disahkan, penjara akan dipenuhi oleh seniman, ibu-ibu penjual jamu yang memakai kebaya, sementara koruptor bebas melenggang.”
Kita akan mudah mendapatkan kalimat tak bernalar pada pernyataan di atas. Omongan yang mengada-ada, indikasi orang panik dan sudah kehilangan bobot dalam berbicara. Memangnya para seniman kita ingin membuat karya pornografi? Memangnya dalam RUU APP kebaya dinyatakan sebagai pakaian yang mengandung pornoaksi? Memangnya kalau RUU APP menjadi UU, bangsa ini dipastikan tak bisa mengejar para koruptor?
Kita prihatin, orang-orang yang sering ngomong di televisi dan pernyataannya dimuat di koran, ternyata tak memiliki kapasitas intelektual. Tapi, tanya kenapa, sebagian besar media mengutip dan bahkan mendukung pernyataan tak berbobot mereka. Itu disebabkan banyak media yang setali tiga uang dengan mereka, sebut misalnya dengan kelompok yang menolak RUU APP.
Ketika Aksi Sejuta Umat mendukung segera pengesahan RUU APP, digelar di Jakarta, harian umumRepublika melaporkan jumlah massa sekitar 1 juta orang, sementara media cetak lain dan umumnya stasiun televisi menyebut angka ribuan orang. Itu jauh sekali. Angka ribuan bisa diasumsikan di bawah 10 ribu. Padahal kenyataannya dari laporan sejumlah jurnalis Muslim, tak berbeda dengan angka yang ditulis Republika, sekitar 1 juta.
Bayangkan, saat aksi berlangsung, ruas jalan tol dalam kota ditutup selama 2 jam. Iring-iringan massa dari Bundaran HI bergerak hingga Senayan, Gedung DPR, belum lagi massa yang meleber atau tumpah ruah ke ruas jalan lain. Tapi semua ini tak ditulis oleh kebanyakan media cetak, elektronik dan online yang mendukung segelintir aktris dan LSM yang menolak RUU APP. Sedang media infotainment yang tayang di stasiun televisi, umumnya sinis. Mereka seakan menutup mata atau tak terima atas realitas. Itu lantaran mereka sama dengan sekelompok kecil orang yang takut bisnis amoralnya mati.
Ironi tentang pendemo yang jumlahnya puluhan minta FPI dibubarkan adalah cerita lain dari contoh nekatnya para pengusung kebatilan—lantaran merasa didukung media. Aneh aja, memang, jumlah pendemo 50-an orang—itu pun terdiri para bencong waria, orang-orang bertato dan tak jelas, selain ada sutradara liberal—tapi kesan yang dibangun unjuk rasa itu ‘wah’ dan berarti sekali untuk membubarkan FPI. Sekali lagi, karena didukung media. Padahal demo tandingan mendukung FPI dan menginginkan Indonesia tanpa Liberal lebih kurangnya berjumlah 10 ribu, tapi oleh media pendukung liberal seperti dianggap angin lalu.
Sekali lagi, sebagai bahan renungan kita, begitulah konsekuensinya jika media dikuasai dan dikendalikan pihak lain. Kita bisanya mengelus dada, mengernyitkan dahi, jengkel, dan seterusnya.
Sampai saat ini hasrat pengusaha dan pemodal Muslim yang bersungguh-sungguh menggarap media, masih belum tampak. Kalaupun ada beberapa di antaranya, tetap tak mau fokus untuk benar-benar menceburkan diri di bidang yang satu ini. Karena sudah dihantui oleh trauma dan ketakutan akan gagal, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah.
Padahal kalau kita berazzam dengan tekad sungguh-sungguh akan menciptakan SDM dan manajemen yang itqan (profesional), maka langkah untuk melahirkan kelompok atau holding company di bidang media yang memiliki izzah, prestise dan unggul, bukan hal yang mustahil.
Berhubung yang mustahil itu belum juga mewujud, maka setidaknya insan-insan pers Islam bersatu dulu. Bersama menyusun kekuatan, membuat plan, rencana ke depan. Bersungguh-sungguh untuk menggarap bidang yang merupakan sarana amar ma’ruf nahi mungkar ini, sehingga Cahaya Allah menembus kepekatan (jahiliyah) yang mereka pertontonkan.
Ingatlah firman-Nya, “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (Din) Allah melalui mulut (pernyataan-pernyataan dan sarana) mereka, tapi Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai,” (QS At Taubah: 32).
Dengan kesungguhan untuk membendung pengaruh dan bahaya opini mereka, mudah-mudahan Allah menjadikan kita sebagai kaum pilihan yang berjuang di jalan-Nya melalui media.
Media Islam dan Ironi Global TV
Selama ini dikesankan pers Islam tak menguntungkan, susah mendapatkan iklan dan sulit menjaring pembaca. Kesan itu muncul, lantaran tak pernah terdengar suksesnya bisnis media Islam di negeri ini. Ketika ada media Islam yang nyaris ‘sukses’ dari segi bisnis, eh ujung-ujungnya selalu dilanda konflik, manajemen tak beres, dan SDM yang diamanahkan mengelola adalah manusia yang jahil (tidak mengerti) dan ‘bahlul’.
Akhirnya, satu per satu media cetak Islam berguguran, terkubur, masuk kotak atau terseok-seok. “Televisi Islam”? Jangan tanya itu dulu, karena sampai detik ini belum ada “konglomerat Muslim” yang tertarik, di samping kemampuan dana yang masih pas-pasan, sehingga hanya mampu bermain di TV lokal yang siarannya sangat terbatas.
Baiklah, kita fokus dulu ke media cetak. Dalam kurun Orde Baru, tercatat sejumlah media cetak Islam pernah terbit, kemudian tenggelam atau terseok-seok. Sebut misalnya, Majalah Kiblat, Panji Masyarakat, Harmonis, Estafet, Panggilan Azan, Ummat, Harian Abadi, Harian Pelita, Adil, Tabloid SALAM dan Hikmah (dua terakhir terbit di Bandung). Mengapa sejumlah media cetak yang mengusung nama Islam itu tak dapat berkembang atau menghilang dari pasar? Sebab musababnya bervariasi. Tetapi setidaknya ada dua faktor penghambat kemajuan media/pers Islam. Dua hal ini merupakan tantangan yang harus disingkirkan, kalau memang kita ingin membangun pers Islam yang kuat.
Dua hal tersebut berkaitan dengan masalah eksternal dan internal. Faktor eksternal, harus diakui memang, bahwa pihak-pihak luar Islam tak rela jika kaum Muslimin menguasai dan mengendalikan media massa. Maka, pers Islam sulit mendapatkan peluang untuk berkembang, lantaran jaringan pasar dikuasai oleh mafia-mafia anti Islam. Tetapi yang terpokok dari itu adalah faktor internal, sehingga pers Islam di Indonesia sulit berkembang. Sebab yang pasti dari masalah internal itu bersumber dari ketidakjelasan Visi-Misi, segmentasi dan manajemen (SDM) yang tidak kondusif (selain itu, di era Orde Baru peluang umat Islam untuk menerbitkan pers Islam terganjal oleh SIUPP). Padahal, kalau ditata dengan manajemen yang ihsan (baik) dan itqon (profesional), sesungguhnya media Islam sangat layak, baik dari segi gagasan maupun bisnis.
Benarkah bisnis pers Islam tak menguntungkan? Atau, dengan kata lain—lebih luas lagi—benarkah bisnis yang berbau Islam susah berkembangnya di Republik ini? Marak dan pesatnya penerbitan buku-buku Islam di awal 1990-an sampai sekarang, menepis anggapan itu. Dominannya buku-buku Islam di setiap pameran besar dan ramainya pengunjung dalam pameran penerbitan Islam, membuktikan cerahnya bisnis Islam, termasuk pers Islam. Hal ini, dibuktikan lagi dengan semakin berkembangnya bisnis dengan semangat keislaman lainnya.
Tapi, lantaran buruknya manajemen atau media itu jatuh di tangan orang-orang yang tak menguasai dan punya kepentingan-kepentingan tertentu, maka media Islam yang semula tumbuh bagus, akhirnya tumbang juga. Seorang diplomat asing dari sebuah Negara yang anti Islam menyambut gembira terseok-seoknya sebuah media cetak yang semula dikenal “garang” menakutkan dan berkembang. Bagi sang diplomat, tak perlu repot-repot bagaimana caranya menggembosi media Islam itu, karena ternyata cukup dari orang dalamnya sendiri, maka media Islam yang dia maksud dengan sendirinya akan terkubur.
Seiring dengan itu, kemunculan Ummi dan Annida (majalah Muslimah dan remaja Muslimah), dengan pasar yang jelas, mestinya mementahkan anggapan bahwa media Islam itu sulit berkembang. Ditambah lagi hasil survei ACNielsen, telah menempatkan Majalah Islam SABILI pada 5 besar dari segi keluasan pembacanya. Pada periode 2000-2001 SABILI berada di posisi 4, sedang periode 2001-2002 SABILI naik ke peringkat 3, 2002-2003 (SABILI tak diikutkan dalam survei, entah mengapa), 2003-2004 SABILI peringkat ke-2 terbanyak dibaca kaum laki-laki dan peringkat 3 secara keseluruhan. Tapi kejayaan yang pernah diraih SABILI dan kawan-kawannya itu sekarang tinggal cerita. Masalah klasik yang sejak dulu merasuki media Islam berakibat kita belum mampu menghadirkan konglomerasi media yang disegani.
Dalam konteks bisnis pers Islam, jika ingin sukses membangun konglomerasi—dalam arti tak hanya satu penerbitan—setidaknya ada beberapa aspek yang harus dimiliki. Pertama, Visi-Misi (dengan komitmen dakwah yang tinggi dan keberpihakan terhadap Islam dan kaum Muslimin). Kedua, segmentasi yang jelas (dalam arti didukung basis pembaca yang luas dan segmented). Ketiga, modal yang cukup. Keempat, SDM yang andal. Kelima, manajemen yang itqon, dalam arti amanah dan profesional. Keenam, sistem keagenan dengan jaringan khusus dan luas. Ketujuh, mendapat dukungan iklan.
Jika hal-hal di atas dapat kita kuasai, maka harapan munculnya media Islam (group) yang kuat dan berwibawa, bukan hal yang mustahil. Persoalannya sekarang, media Islam masih jauh dari aspek-aspek di atas. Umumnya media Islam masih terjebak keberpihakan pada golongan tertentu—sehingga membatasi segmen—dengan “manajemen warung”, dan masih pula kurang didukung iklan.
Karena itu, tak banyak pers Islam yang mampu bertahan. Itu tadi, lantaran secara umum pers Islam tak dapat memenuhi persyaratannya sebagai pers Islam. Punya modal cukup saja tak bisa dijadikan ukuran bahwa media tersebut akan sukses, jika SDMnya payah, apalagi jauh dari nilai-nilai Islam.
Di tengah belum adanya group (konglomerasi) media yang mengusung Islam, namun banyak kaum Muslimin yang berharap munculnya televisi Islam. Harapan itu sesuatu yang sangat wajar, di tengah tayangan televisi banyak yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang dipahami masyarakat Islam. Masalahnya, kita belum melihat ada konglomerat Muslim yang tertarik dengan media yang satu ini.
Di era Habibie memimpin Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), tahun 1990-an sejumlah cendekiawan dan pengusaha Muslim sempat merintis, namanya Global TV. Izin sudah di tangan. Tapi entah mengapa, Global TV yang muncul urung mengusung nama Islam. Global TV saat itu justru tampil full music dan kemudian bekerjasama dengan MTV. Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji”uun….
Melalui kolom ini, kita berharap lembaga-institusi, tokoh dan pengusaha Muslim, saling bersinergi untuk mengambil langkah nyata, segera melakukan action, merintis kembali televisi dengan warna Islam. Kita sadar, gerak apapun yang akan dilakukan, selalu ada yang memulai.
Karenanya, kita berharap ormas atau lembaga-lembaga resmi Islam seperti MUI memelopori untuk mengumpulkan sejumlah cendekiawan dan pengusaha Muslim, agar TV Islam yang lama diharap, dapat terwujud. Kalau kita sering kecewa dan mengritik tayangan-tayangan TV yang jauh dari nilai-nilai Islam, maka kita harus menghadirkan alternatif yang sesuai dengan harapan kita.
Ironi Global TV
Kasus Global TV terungkap melalui surat mantan Mensesneg Muladi bernomor B-602/M.Setneg/9/1999 bertanggal 13 September 1999. Ironi Global TV punya arti sendiri bagi umat.
Ceritanya pada tahun 1990-an, ‘TV Islam’ pernah dirintis, bahkan telah mengantongi izin. Sayangnya, tak ada follow up yang baik. Peluang itu pun hilang.
Belasan tahun lalu, di era Orba, Departemen Penerangan, mengeluarkan izin beberapa stasiun televisi swasta, termasuk Global TV, yang diharapkan dapat menampilkan nuansa Islam. Harapan akan kehadiran ‘TV Islam’ pun kembali bersemi. Ini tak berlebihan, mengingat umat Islam di republik ini adalah mayoritas. Kita pun bergembira. Berharap Global TV menjadi penyeimbang atas tayangan-tayangan yang selama ini kurang mendidik.
Lagi-lagi kita menelan pil pahit. Harapan tinggallah harapan. Global TV versi Islam gagal tayang, karena persoalan klasik: dana. Lebih dari itu, tak adanya trust (kepercayaan) dari investor.
Mengapa investor tak berminat? Bukan hanya pendana dalam negeri yang enggan, investor dari Timur Tengah pun urung menanamkan dananya. Itu terjadi karena sulitnya membangun kepercayaan (trust building) berbanding lurus dengan susahnya mencari dana dari pihak-pihak yang berduit. Sayangnya, hal ini dari dulu hingga sekarang tak pernah disadari dan diperbaiki. Mengapa? Sebab, orang-orang yang memainkan ‘kartu’ adalah para petualang (avonturir) yang tak berpihak pada kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Susah mengharapkan tsiqah (kepercayaan) dari orang-orang yang reputasinya tentang keumatan dan keberpihakannya pada Islam tak pernah teruji.
Umat ini mempertanyakan keseriusan dan tanggung jawab para tokoh yang dulu pernah mengantongi izin Global TV. Di bawah bendera The International Islamic Forum for Science Technology and Human Resources Development (IIFTIHAR), Global TV sejak awal dimaksudkan sebagai televisi dengan syiar Islam, selain pendidikan, teknologi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Jika kemudian Global TV menayangkan program yang tak sesuai dengan Visi-Misi semula, maka para tokoh yang membidani televisi tersebut harus menjelaskannya pada umat, mengapa hal itu sampai terjadi? Apa kendalanya, sehingga dana untuk sebuah televisi yang bernuansa Islam—yang sesungguhnya jadi dambaan kita semua—tak mengucur? Mengapa saat itu tak ada transparansi kepada publik (umat), agar persoalan dana dapat diselesaikan oleh umat Islam sendiri?
Beberapa tahun lalu muncul gugatan terhadap isi siaran dan alih kepemilikan izin Global TV. Atas gugatan itu manajemen Global TV menyampaikan klarifikasi. Klarifikasi itu menegaskan bahwa tak ada pengalihan kepemilikan izin Global TV, maupun perubahan isi siaran.
Padahal dalam konteks ini, adalah sesuatu yang sudah kerap terjadi di Republik ini: “jual-beli” izin. Di era Orde Baru, bukan rahasia lagi, yang namanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) diperjualbelikan. Caranya, sang pembeli (investor baru) masuk ke perusahaan penerbitan pers tersebut lalu mengucurkan dana. Kepemilikan saham pun berubah.
Karena ada peraturan yang sangat ketat, tak mudah mengganti pemimpin umum, pemimpin perusahaan dan pemimpin redaksi, maka ketentuan ini pun diakali. Biasanya nama-nama lama masih dipajang, meski realitanya sudah tak aktif lagi. Nama-nama pengelola baru pun dicantumkan dengan sebutan, misalnya, “pemimpin pelaksana redaksi” (untuk pemred), “pemimpin harian perusahaan” (untuk pemimpin perusahaan), dan sejenisnya.
Dalam kasus Global TV, memang betul, izin prinsipnya pun tak berubah, masih tetap PT Global Informasi Bermutu (GIB). Tapi, orang-orangnya berubah, kepemilikan sahamnya pun berganti. Meski namanya bukan “jual-beli”, tapi dengan berubahnya kepemilikan saham, apa lagi istilah yang tepat untuk kasus ini?
Waktu itu anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bimo Nugroho Sekundatmo menyebut kasus perpindahan kepemilikan saham PT Global Indonesia Bermutu atas Global TV sebagai penyiasatan hukum. Menurutnya, transaksi ini harus diselidiki, apakah saat Bimantara membeli 70% saham GIB waktu itu ada nilai asetnya. Jika tak ada asetnya, berarti sama dengan jual beli izin.
“Ini penyiasatan hukum. Ini namanya membeli tali dapat kerbau, karena sebenarnya yang diincar kerbau. Tapi karena kerbau tidak bisa dipindahtangankan, maka yang dibeli tali. Dicari, bagaimana caranya agar kerbau bisa dibawa,” kata Bimo kala itu. Ia melanjutkan, jika nilai aset terbesar adalah frekuensi, sementara aset lain tak ada nilainya, maka UU Telekomunikasi harus ditegakkan. “Ini namanya telah terjadi penyelundupan hukum yang mengakibatkan pindah tangannya frekuensi,” ujarnya.
Apapun ceritanya, mestinya saat itu “akal-akalan” ini harus diusut dan dipertanggungjawabkan ke hadapan publik. Apalagi melihat dampaknya, dimana dengan mudah harapan Global TV sebagai televisi Islam pupus bahkan berganti menjadi siaran yang jauh dari nilai-nilai Islam. Lucunya, Departemen Komunikasi dan Informasi (Kominfo) seperti berkelit. Usulan pencabutan terhadap izin Global TV—karena dinilai disalahgunakan—menurut Dirjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Depkominfo Gde Widyatnyana Merati saat itu, harus melalui putusan pengadilan. Padahal, tinggal diusut. Jika benar tayangannya selama ini menyalahi izin semula, semestinya tinggal dicabut. Apa susahnya.
Jika ada penyimpangan dalam pemberian izin frekuensi Global TV, menurut Ade Armando dari KPI, maka frekuensi tersebut harus dikembalikan pada negara. Lalu negara menawarkannya kembali pada publik. Dalam hal ini, kita berharap, izin prinsip dan frekuensi Global TV, dikembalikan kepada umat Islam. Karena, sejatinya ia adalah milik dan aset umat yang pernah diusung melalui IIFTIHAR.
Kaum Muslimin harus menjadikan pelajaran pahit ini tidak terulang lagi. Kesungguhan dan tanggung jawab terhadap umat dalam menghadirkan TV Islam semestinya tidak dimainkan apalagi hanya untuk kepentingan sesaat.
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (berjihad) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS Al Ankabuut: 69).