Memperbaiki Pola Didik Pada Anak

Rani, adalah seorang perempuan yang telah dikarunia seorang putra kecil berumur hampir 3 tahun. Usianya memang masih kecil, namun perkembangan sang anak melebihi perkembangan anak rata-rata seusianya, baik dari sisi vocal maupun motoriknya.

Sudah satu bulan lebih Rani mengalami “sakit”. Sebuah penyakit yang tak biasa, dan penyakitnya ini terus menggerogoti fisiknya. Karena sakitnya ini, maka Rani sempat menghilang dari aktivitas pergaulan social. Fisik Rani kian rapuh, tensinya melonjak drastis hingga 150/90. Rani benar-benar merasakan sakit yang teramat sakit. Berbagai upaya dia lakukan untuk menurunkan tensinya dengan berbagai obat alami. Tensi pun normal kembali, namun penyakit berpindah. Rani merasakan seluruh tubuhnya sakit luar biasa, sampai-sampai dia minum vitamin syaraf, juga obat-obatan kimia, sebuah hal yang sudah dia tinggalkan bertahun-tahun. Namun semua upaya itu tidak juga meredakan sakit di tubuhnya, padahal dia sudah minum sekian obat per hari. Rani merasakan dadanya sangat sesak.

Tak hanya berhenti di situ. Detak jantungnya menjadi tak beraturan, tensi tidak stabil, gelisah, ketakutan, kecemasan merajalela. Sangat tidak nyaman. Rani benar-benar merasakan sakit yang teramat sakit. Makan, tidur, interaksi social tidak enak, juga insomnia. Complicated! Fisik tergerogoti, ibadah pun tiada nyaman. Shalat, tilawah, dan ibadah lain terganggu. Rani merasa hampir gila.

Apa yang menyebabkan kondisi itu semua? Rupanya, selama ini Rani memendam kemarahan kepada orangtua hampir seumur hidupnya. Tentu kemarahan Rani beralasan. Pola asuh yang salah, itulah penyebabnya. Rani kecil biasa ditampar pipi, dicubit paha sampai biru, diseret keluar rumah dan dikunci dari dalam rumah, kemudian listrik dimatikan.

Sebenarnya Riani sudah lupa dengan hal-hal itu. Tetapi memeori itu seakan terpanggil kembali ketika dia memiliki anak, dan ketika anaknya mulai polah. Kekerasan yang Rani alami sedari kecil membuatnya dendam kepada kedua orangtuanya. Namun ternyata antara sadar dan tidak, Rani melakukan perlakuan yang sama kepada sang anak, meskipun tidak membabi buta, tidak separah yang Rani alami sewaktu kecil. Rani sadar, bahwa dia benci terhadap perlakuan itu. Namun justru Rani juga memperlakukan anaknya secara kasar ketika dia dalam kondisi capek dan jengkel.

Rani berusaha mati-matian melawan alam bawah sadarnya. Rani benci perlakuan orang tuanya, baik sama dirinya sendiri maupun sama anaknya yang tidak lain adalah cucu orangtuanya sendiri. Orang tua Rani memang tak jarang memberi perlakuan kasar sebagaimana yang diterima Rani sewaktu kecil kepada anak Rani.  Hal inilah yang membuat Rani heran, kenapa orangtuanya bisa berbuat seperti itu kepada cucunya sendiri. Bahkan sang cucu hampir tidak pernah dimandikan, disuapi, ataupun di temani ketika Rani sedang ada keperluan ataupun ketika Rani terpaksa harus opname di RS.

Cukup mengerikan memang. Sesuatu yang hampir dilupakannya, namun tiba-tiba memori itu muncul kembali ketika Rani punya anak yang mulai polah. Rani marah-marah sama anaknya, namun Rani tak sanggup menghentikan kemarahan itu. Rani sangat sadar, tapi  alam bawah sadarnya mengendalikannya. Rani benar-benar merasa tersiksa dan itu seperti lingkaran setan. anaknya dimarahi eyang. Rani marah dengan eyang, anak dan suaminya jadi sasaran pelampiasan kemarahannya, begitu seterusnya. Sakit psikis itu benar-benar sangat menyiksanya. Imbasnya ke tubuh dan kesehatannya. Rani melakukan apapun untuk menghentikan semua itu, mulai dari bekam hingga terapi ruqyah. Keluhan mulai berkurang, tapi bara api masih di hati dan dadanya. Rani tetap merasa tidak kuat. Hingga akhirnya Rani berniat mencari psikolog. Pokoknya apapun akan Rani lakukan asal bisa terlepas dari semua belenggu itu.

Ada banyak hal yang bisa saya dapatkan dari cerita tersebut. Bahwa menjadi orangtua terbaik untuk anak-anak bukanlah berarti menjadi orangtua ‘malaikat’ yang tak boleh kecewa, sedih, capek, pusing menghadapi anak. Perasaan negatif pada anak adalah wajar. Namun, sebagai orangtua hendaknya kita bisa bijak dan pandai menahan emosi, bagaimana agar semua rasa negatif tersebut tidak sampai menyakiti sang anak. Inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian kita. Karena hal-hal negatif yang orangtua lakukan terhadap anak ternyata bisa menempel begitu kuatnya pada diri sang anak, sehingga bukan tak mungkin apa yang dialami Rani tersebut juga dialami oleh anak-anak kita kelak.

Ketika kita mendapati perilaku negatif pada anak, bukan berarti kita tidak boleh sedih dan kecewa pada anak, tetapi yang harus kita ingat adalah, kita sama sekali tak berhak untuk melukai dan menyakiti anak-anak kita. Ingatlah, bahwa melotot, mengancam, membentak dapat membuat hati anak terluka. Apalagi, mencubit dan memukul tubuhnya. Tubuhnya bisa kesakitan, tapi yang lebih sakit sebenarnya apa yang ada dalam tubuhnya. Bisa jadi sang anak mengatakan bahwa dia telah memaafkan perilaku orangtuanya tersebut, tetapi mungkin hatinya masih terluka, sebuah luka yang mungkin butuh waktu sangat lama untuk menyembuhkannya. Tentu saja ini akan berdampak panjang, seperti halnya yang dialami oleh Rani.

Kita bukanlah orangtua malaikat, maka yakinlah anak kita pun bukan anak malaikat yang langsung terampil berbuat kebaikan dan mudah diatur serta menuruti apa saja yang diinginkan orangtua. Anak-anak kita pun butuh belajar, mereka seperti kita juga yang membutuhkan proses. Seperti belajar berjalan, kadang mereka terjatuh, kadang mereka mengerang kesakitan ketika terjatuh.

Perilaku anak-anak kita, mereka bereksplorasi, mereka berproses, mereka mengayuh kehidupan untuk meraih kebaikan dan menjadi manusia yang berperilaku baik. Ketika mereka terjatuh saat belajar berperilaku, sebagian kita (orangtua) terburu-buru memvonisnya sebagai anak nakal, padahal kalo kita sadar, sebenarnya mereka hanya belum terampil berbuat kebaikan.

Anak-anak kita, masih butuh banyak bimbingan, sebagaimana kita yang juga masih sering membutuhkannya. Maka bimbinglah kebelumterampilan perbuatan baik anak dengan cara yang baik sehingga kebelumterampilan berbuat baik mereka akan terus tergerus dari kehidupan mereka. Sekali lagi, bimbinglah mereka dengan cara yang baik, karena jika kita menghadapi ketidakterampilan ini dengan tekanan, ancaman, bentakan, cubitan, pelototan, mereka akan semakin terpuruk ke arah keburukan, sadar ataupun tidak.

Jika sang anak emosinya kepanasan: nangis, marah yang terekspresikan dalam bentuk yang mungkin dapat membuat kita jengkel, maka janganlah dibentak. Api tidak akan padam dengan disiram bensin, yang ada malah akan semakin terbakar, tapi siramlah api dengan air yang memberikan kesejukan.

Apapun yang dilakukan anak, yakinilah, bahwa ketika anak melakukan hal-hal negatif, itu semua hanyalah bagian daari proses eksplorasi untuk mencari cahaya kehidupan, bagian dari proses eksplorasi untuk trampil berbuat kebaikan. Jika kita memahaminya sebagai sebuah bagian proses kehidupan, maka insyaAllah ini semua akan memberikan dampak positif, anak-anak kita akan akan menebar cahaya untuk kehidupan.

Pupuk selalu positive thinking dalam diri. Jika kadang amarah dengan kejahilian memperlakukan anak mampir lagi dalam hidup kita, kamus yang benar adalah ‘inilah uji ketulusan’ bukan kegagalan, terus belajar tentang kehidupan, bukan tak berhasil dalam kehidupan. Belajar, memburu ilmu, adalah ikhtiar yang kita tuju, karena sebagian kita ketika menikah tidak disiapkan jadi orangtua.

Teruslah belajar, belajar sepanjang hayat, meskipun telah jadi orangtua atau bahkan telah menjadi eyang sekalipun. Belajar menjadi orangtua yang baik, belajar menjadi eyang yang baik, belajar menjadi manusia yang baik, cerdas, dan bijak dalam menjalani semua proses kehidupan. Kuatkan diri, keluarga, maka insyaAllah anak-anak kita memiliki ketahanan mental terhadap lingkungan yang gawat.