Kertasnya kuning. Gundul tak berharokat. Tertulis kecil-kecil dan huruf-hurufnya rapat. Kaum akademisi hari ini, semakin hari semakin tak kuat, untuk membacanya yang terkadang bahasanya memang berat. Kadang kau temukan mubtada’ di sebuah tempat, dengan khobar di lain tempat. Khobar itu seakan meloncat. Hal yang sama juga bisa terjadi untuk Jawabnya Syarat. Dalam benak saya, deskripsi kitab kuning yang demikian inilah yang melekat. Dulu.
Dengan semakin luasnya bahan baca, saya merasa perlu untuk mengkonstruksi ulang deskripsi saya tersebut. Bukannya salah. Hanya saja kurang lengkap. Ternyata, ada satu kata yang jauh lebih tepat. Turats. Secara harfiah memang tak ada korelasi. Tapi secara makna, deskripsi diatas bolehlah masuk dalam lingkaran definitifnya. Dan boleh jugalah kita sinonimkan antara keduanya. Setidaknya untuk mempermudah memahami tulisan ini.
Ketika kita membincang turats, akan terbentang luas dibenak kita cakrawala ilmiah para ‘ulama salaf; kitab-kitab fiqih empat madzhab, karya-karya sastra para Udaba, literatur filsafat dan kalam para filsuf dan mutakallimuun, berjilid buku sejarah para sejarawan dan banyak lagi karya brilyan yang bukan saja sangat amat susah untuk ditiru, membaca semuanya saja sungguh terasa mustahil. Judul-judulnya saja tak lagi mampu jari ini untuk menghitungnya. Itulah turats Islam. Itulah kitab kuning.
Warisan itu sungguh berharga. Kita perlu menjaganya. Itulah peninggalan bernilai dari Warotsatul Anbiya. Kita perlu menghormatinya. Tanpa harus memperlakukannya laksana sabda. Seperti santri-santri desa yang tak pernah mengenal esensi kitab kecuali sebagai perkara sakral. Kita hanya perlu memandangnya sebagai karya. Karya manusia. Tapi sekali-kali janganlah kau anggap itu karya biasa. Seperti pandangan kaum (sok) intelek yang silau dengan pandangan barat. Atau juga pandangan kaum (sok) mujtahid yang merasa pemahaman sekilasnya terhadap nash adalah yang paling benar. Padahal karya-karya itu lahir dari rahim ijtihad panjang nan melelahkan para mujtahid luar biasa.
Bagaimana seharusnya memperlakukan turats atau kitab kuning, sebenarnya sudah banyak dicontohkan oleh para pendahulu kita. Imam besar, Hujjatul Islam, Mujaddid abad ke-5, Al Imam Al Ghozali memiliki banyak karya dalam khazanah turats kita. Beliau selain banyak mendapat pujian atas karyanya, juga menuai banyak kritik. Pujian itu misalnya muncul dari Faqih dan Sejarawan besar Al Hafidz Ad Dzahabi. Beliau dengan bijaksana, memberikan penilaian adil terhadap salah satu karya monumental Sang Mujaddid; Ihya ‘Ulumuddin. Adapun kritiknya, muncul dari berbagai arah. Ada kritik ilmiah yang membangun, namun ada juga kritikan yang mungkin lebih tepat jika disebut cercaan. Dari dulu hingga sekarang. Semenjak beliau tiada hingga hari ini. Zaman kita. Bukan hanya dari Timur. Orang-orang Baratpun tak sedikit yang menghujani beliau dengan kritikan. Karya beliau, Tahafut al falasifah sungguh telah membuat sebagian mereka gerah. Kritikan-kritikan seperti ini laris sekali di tulisan-tulisan mahasiswa yang dulunya adalah santri. Pengkaji kitab kuning.
Sikap ilmiah terhadap kitab kuning juga telah dicontohkan oleh Al Hafidz Al ‘Iraqi. Ihya ‘Ulumuddin adalah kitab kuning pada zamannya. Terhadap kitab monumental ini, Al ‘Iraqi bukanlah pembaca tradisionalis yang memandangnya sabda. Bukan pula pembaca sok modernis yang gengsi untuk sekedar menatap karya-karya zaman baheula. Ia adalah pembaca kritis yang berakhlak manis. Karenanya, untuk menutupi kekurangan yang memang mungkin terjadi dalam kitab yang dikarang oleh seorang manusia, ia torehkan sebuah karya; Al Mughni ‘an hamlil asfaar fi takhriiji ma fil ihya min al akhbar.
Buku itu adalah kumpulan takhrij hadits-hadits yang terdapat dalam Ihya. Namun, takhrij beliau memang belum lengkap. Untuk melengkapinya, aktivitas ilmiah terhadap kitab kuning tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqolani. Beliau menambahkan takhrij hadits-hadits yang terlewatkan oleh gurunya.
Bukan hanya Sang Guru Murid itu saja yang melakukan takhrij hadits-hadits Al Ihya. Pengarang Thobaqot As syafi’iyyah, Imam Tajudin As Subki juga melakukan hal yang sama. Beliau menulis sebuah risalah 101 halaman yang berisi takhrij hadits-hadits yang lain. Risalah tersebut beliau sertakan dalam Thabaqatnya. Begitu pula lah apa yang dilakukan oleh seorang ‘ulama bermadzhab hanafi, Al Hafidz Qasim bin Quthlubugha.
Selain kitab-kitab takhrij diatas, ada beberapa kitab lain yang kelihatannya peduli dengan Ihya ‘Ulumuddin. Ada Ta’rif al Ahya fi Fadhail al Ihya yang menjelaskan keutamaan-keutamaan Ihya ‘Ulumuddin. Ada juga Ithaaf Assadah al Muttaqiin. Kalau yang ini adalah Syarah dari Ihya. Dan kitab-kitab yang lain yang bisa berupa syarah, hasyiyah atau juga mukhtashornya Ihya.
Begitulah para ‘ulama dulu bersikap terhadap turats. Sikap yang cerdas. Sikap yang ilmiah. “Sikap-sikap” itu kemudian menjadi turats bagi kita. Dan bagaimanakah kita menyikapinya?
Dalam Majmu Fatawanya Imam Ibnu Taymiah juga pernah menyinggung tentang turats. Ada petunjuk bagus tentang bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap turats. Dan juga beberapa ulama yang lain. Kalau yang kontemporer, tulisannya Qordhowi; Kaifa Nata’amal ma’a Atturats juga bagus untuk tambahan bacaan.
Ada beban berat sebenarnya yang harus kita pikul. Ada ribuan karya ulama yang belum tersentuh bahkan oleh para pakar Tahqiq. Karya-karya itu masih berupa Makhthuthaat (manuskrip). Sebuah seminar bertajuk Kaifa Nata’aamal ma’a Atturats Al Fiqhi pernah digelar oleh Institut Daarul ‘Uluum di Cairo. Pada Senin 16 Mei 2011. Dr. Muhammad Siraaaj dalam presentasinya mengungkapkan, “Turats kita yang telah terpublish baru sekitar 5 sampai 7 persen saja”.
Menakjubkan. Dalam prosentasi yang kecil saja, kita sudah melihat banyak maktabah atau perpustakaan Islam sangat penuh dengan kitab-kitab. Bagaimana nanti kalau Turats dalam jumlah besar yang masih dalam bentuk manuskrip itu di Tahqiq?. Ulama kita dulu memang benar-benar produktif. Padahal dulu sama sekali belum mengenal komputer, laptop, printer, dan segala kemudahan lain yang memanjakan para penuntut ilmu di era millenium ketiga ini. Sedangkan di zaman ini, untuk membacanya saja, kita sudah kewalahan.
Lebih menakjubkan lagi kalau kita mengingat banyak peristiwa dan musibah yang menimpa umat Islam dahulu. Sejarah tragis yang menimpa Abbasiyah di Baghdad dulu sungguh memilukan. Entah berapa kitab yang dibakar oleh kaum manusia yang tak punya hati itu. Kaum Tartar yang tak kenal peradaban itu, begitu ringannya membakar kitab-kitab brilyan karya para ulama. Entah berapa banyak? Yang jelas sungai Trigis menghitam kelam karena banyaknya kitab-kitab yang terbuang disana. Demikian pula yang menimpa peradaban Andalus dan kitab kuning – kitab kuningnya. Dulu.
Hari ini kita “hanya” melihat sisa-sisa turats atau kitab kuning yang terselamatkan.
Oleh: Sutomo Ibnu Abi Nashr, Jakarta
Facebook