Konsekuensi Cinta

Seorang pemuda asal tanah arab dan wanita itu baru saja melangsungkan pernikahannya siang tadi. Suatu kesyukuran yang tak ternilai bagi keduanya.

Lelaki muda itu sangat bahagia. Sangat bahagia. Ia mendapatkan perempuan muda sesuai harapannya. Perempuan yang taat kepada Tuhannya, cinta pada Nabi-Nya, sayang terhadap keluarganya, peduli dengan orang yang berada disekitarnya. Idaman.

Malam itu lelaki muda yang sudah menjadi seorang suami ingin sekali mewakilkan segala
perasaanya melalui sepenggal kalimat deklarasi jiwa. Bisiknya kepada sang istri, “Uhibbuki Fillah, Ya Habibati” ( Wahai kasihku, karena Allahlah aku mencintaimu).

Terlihat raut wajah istrinya datar saja, tak ada senyum kebahagiaan padanya. Nyatanya sepenggal kalimat yang ia anggap romantis itu tak mampu membuat wanita yang ada dihadapannya tersenyum bahagia.

Lelaki itu mengulanginya lagi, dengan kalimat lainnya yang dia anggap bisa meyakinkan istrinya.
Untuk yang kedua kalinya ia bisikan kepada istrinya dengan lemah lembut, “Wallahi. Uhibbuki Fillahi” (Demi Allah, aku mencintaimu karena Allah).

Ekspresinya tidak berubah, perempuan yang tak lain istrinya itu belum tergerak untuk tersenyum kepadanya. Lelaki arab itu pun tak bisa membuat istrinya tadi tersenyum bahagia. Adakah kebahagian tanpa senyuman? Ada. Tapi ia ingin mereka berdua tersenyum bersama, menandakan kesyukuran mereka. Sang suami terlihat hampir kecewa, tapi ia terus berusaha.

Ia tak tahu apa yang harus ia ucapkan malam itu. Dengan suara parau di malam yang hening, pemuda itu bertanya, “Dek, Dek, apa yang harus kukatakan supaya kamu bisa bahagia dan tersenyum malam ini? Aku ingin sekali melihat senyummu.”

Suasana kediaman mereka pun hening….

Perempuan itu mengisyaratkan kalimat yang membuat lelaki itu termenung. Takjub.
Sang istri berbisik perlahan dan pelan kepada suaminya, “Mas, coba baca surat Al-Fatihah dulu, aku paling suka di bagian ayat kelima dari surat tersebut.”

Lelaki itupun membacanya perlahan dengan penuh hikmat, “IyyaKa na’budu wa iyyaKa nasta’in. (QS Al-Fatihah : 5)

Oleh perempuan itu, di-ingatkannya lagi suaminya seputar tafsir daripada penggalan ayat tadi, ada alasan yang sangat indah kenapa penggalan ayat tadi diawali oleh kalimat “IyyaKa…” yang bermakna “hanya untuk-Mu sepenuhnya”.

Pahamlah keduanya…

“Mas, kenapa tidak engkau katakan saja : “Iyyaki uhibbuki, fi-Llah” : (Sepenuhnya aku mencintaimu, karena Allah)?”

Pemuda itu menunduk. Karena ia tahu. Mereka berdua tahu, konsekuensi dari ucapan dan kalimat yang diucapkannya tadi.

Kalimat tadi mengandung dua hal yang sangat berharga, saling mengikat, sangat erat
ketergantungannya : Pertama, ‘Nafyun’ : Meniadakan. Meniadakan cinta lain. Dan menfokuskan
cintanya hanya untuk perempuan yang ada dihadapannya saja. Tidak untuk wanita yang lainnya.

Kedua, adalah ‘Itsbat’ : menetapkan. Menetapkan cintanya hanya untuk perempuan tadi.
Menetapkan cinta dengan pola perilaku mencintainya, menjaganya, merawatnya, melindunginya
dalam waktu yang lama.

Dan, pada surat Al-Fatihah ayat kelima, “IyyaKa Na’budu Wa IyyaKa Nasta’in : Hanya kepada-Mu lah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan.”

Sunguh, sangat tepatlah Allah SWT memilih ungkapan ini pada ayat tadi. Karena ungkapan tadi –
sama dengan cerita diatas. Ia mengandung dua konsekuensi : Nafyun, dan Itsbat. Meniadakan segala bentuk, macam, rupa yang mengandung makna ‘disembah’ itu harus ditiadakan dalam kehidupan kita. Itsbat, menetapkan bahwa Allah lah yang benar-benar pantas disembah, tiada yang lain. Hanya Dia. Sepenuhnya.

 

Oleh : Ibnu Irawan