Para pengamat politik pada umumnya sepakat, krisis Golkar — dengan tokoh utama Abu Rizal Bakri (ARB)– menjelang akhir tahun 2014 ini sangat parah, bahkan paling parah dalam sejarah Golkar. Krisis disebabkan terutama oleh ambisi pribadi Aburizal Bakrie untuk tetap bertahan pada kursi Ketua Umum partai yang dipimpinnya sejak Musyawarah Nasional Pekanbaru tahun 2009. Ini suatu ambisi luar biasa, sebab dalam sejarah Golkar kekustsn politik itu tidak pernah dipimpin seseorang untuk dua masa jabatan. Seandainya Aburizal Bakrie sadar terhadap sejarah demikian, hampir bisa dipastikan tidak akan ada krisis seperti yang terlihat hari-hari ini.
Jauh sebelum ambisi Aburizal Bakrie terlihat mencuat, keresahakan sebenarnya sudah melanda para elit Partai Golkar. Penyebabnya: 1. Pada pemilihan anggota parlemen 2014 jumlah kursi Golkar merosot di DPR; 2. Aburizal Bakrie gagal menjadi Calon Presiden (Capres). Lebih menyedihkan lagi bahkan tidak diterima oleh partai mana saja ketika menawarkan diri sebagai Wakil Presiden (Wapres). Dua alasan tersebut – terutama alasan terakhir — diterima sebagai penghinaan oleh para elit Golkar.
Ke dalam partai, Aburizal Bakrie tidak pula memenuhi janjinya membangun gedung pimpinan pusat Partai Golkar yang dijanjikannya akan berlantai 25. Aburizal Bakrie juga gagal melaksanakan programnya membagi dana –seperti janjinya pada Munas Pekanbaru—kepada cabang-cabang partai di daerah (DPD). Seandainya Aburizal Bakrie sadar akan berbagai kelemahan dan kegagalannya ke dalam dan ke luar Partai dan karena itu secepatnya mundur, hampir bisa dipastikan tidak ada krisis seperti hari-hari ini.
Pertanyaannya, mengapa Aburizal Bakrie bertahan untuk tetap memimpin Golkar? Kalau para elit Golkar menghadapi pertanyaan ini, maka jawabnya akan bertolak dari pengalaman pemilihan-pemilihan ketua lewat Munas sejak reformasi. Para elit Golkar, para pengamat politik dan para wartawan yang meliput Munas, sulit untuk tidak sependapat, yang akan memimpin Golkar lewat Munas adalah para kandidat yang paling berduit. Jusuf Kalla (JK) tidak pernah membantah berita keluarnya sejumlah duit untuk memenangkan dirinya pada Munas 2005 di Bali. Faktor yang juga mempermudah kemenangan Jusuf Kalla waktu itu adalah posisinya sebagai Wakil Presiden . Berada dalam atau di pihak pemerintah adalah dambaan sebagian terbesar orang Golkar. Sejatinya partai itu memang lahir sebagai alat memerintah Presiden Soeharto menjelang dan sejak pemilihan umum 1971.
Karena memiliki duit nyaris tak terbatas dan berkedudukan sebagai Wapres, Jusuf Kalla dengan mudah merebut kursi Ketua Umum Golkar dari tangan Akbar Tandjung di Munas Bali.Di Munas Pekanbaru cerita tradisional Partai Golkar terulang kembali. Di sana Aburizal Bakrie yang punya duit paling banyak, dan karena Jusuf Kalla bukan Wapres lagi, posisi tawarnya merosot.
Di Pekanbaru Akbar Tandjung memilih mendukung Aburizal Bakrie, tapi sebagai Ketua Dewan Pertimbangan dia sudah lama – sejak dikalahkan oleh Jusuf Kalla — hilang dan karena itu tak terbilang lagi. Di Pekanbaru Jusuf Kalla bahkan tersingkir secara sempurna, seperti setelah di Bali dulu Akbar Tandjung juga dilupakan begitu saja.
Sekarang sulit secara persis menjelaskan dasar ambisi Aburizal Bakrie untuk tetap ingin menguasai Golkar. Popularitasnya rendah, frustrasi terhadap dirinya meluas dalam Golkar dan dalam percaturan politik, sebagai bagian dari Koalisi Merah Putih (KMP) Aburizal Bakrie hanya satu komponen dari satu koalisi yang belum pasti bertahan lama. Yang barangkali masih mungkin menguntungkan Aburizal Bakrie adalah duitnya yang banyak.Dia mungkin politisi terkaya di Indonesia.
Tapi desas-desus di Jakarta hari-hari ini menyebut posisi ekonomi Aburizal Bakrie sekarang sangat merosot. Konon utangnya banyak yang akan jatuh tempo. Jika desas-desus itu benar adanya, apakah Aburizal Bakrie masih dimungkinkan “membeli” kursi Ketua Umum secara meyakinkan? Desas-desus lain menyebut perlunya Aburizal Bakrie tetap menguasai Partai Golkar, sebab dengan kedudukan Ketua Umum partai besar maka posisi tawar menawarnya terhadap para kreditornya menjadi kuat. Pertanyaan lain, apakah Presiden Joko widodo Jokowi) yang kewalahan menghadapi Koalisi Merah Putih akan duduk berpangku tangan menjelang dan selama Munas?
Pada awal pemerintahan SBY-JK Partai Golkar pimpinan Akbar Tandjung bersekutu dengan Megawati (PDIP) beroposisi melawan pemerintah. Dengan canggih dan dengan duit lebih dari cukup Jusuf Kalla merebut Golkar dari tangan Akbar Tandjung di Bali. Maka selamatlah pemerintahan SBY-JK. Sekarang Golkar pimpinan Aburizal Bakrie berada dalam kelompok oposis Koalisi Merah Putih. Banyak orang yang masih berharap, sebagai Wapres Jusuf Kalla bisa mengulangi suksesnya di Bali 10 tahun silam.
Jusuf Kalla sekarang adalah tokoh yang 10 tahun lebih tua, dan “konfliknya” dengan SBY dulu sudah dipelajari dengan saksama oleh para pendukung Joko Widodo (Jokowi) sehingga ruang gerak Jusuf Kalla menjadi amat sempit karena diawasi dengan ketat. Banyak yang melihat Surya Paloh lebih memainkan peran politik di sekitar Jokowi ketimbang Jusuf Kalla. Lagi pula Jusuf Kalla menjadi Wapres terutama disebabkan kebaikan Megawati. Artinya sama sekali bukan karena kampanye Jusuf Kalla seperti yang dulu dilakukannya bersama SBY. Dengan kata lain, selain karena sudah berusia tua (72 tahun), menjadi Wapres karena kebaikan Megawati plus dukungan Surya Paloh, Jusuf Kalla kini juga dikepung dan diamati dengan saksama oleh pendukungan Megawati dan Surya Paloh. Seorang yang berada di dekat Jokowi melihat Jusuf Kalla sekarang hanya sebagai “konsultan” bagi kebijakan Jokowi. “Keputusan-keputusan itupun disampaikan kepadanya setelah Presiden memutuskannya.”
Posisi Akbar Tandjung nampaknya lebih menyedihkan. Belajar dari pengalamannya tersingkir di Munas Bali — terutama karena keputusannya berkongsi dengan Megawati dalam kelompok oposisi – di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung terjerumus lagi kedalam “lubang oposisi” tanpa daya mencegah keputusan Aburizal Bakrie yang telah putus asa dengan sejumlah kegagalan dan penghinaan oleh sejumlah partai. Sebelumnya Akbar Tandjung juga tidak berhasil mencegah Aburizal Bakrie menjadi Capres meski sadar sang Ketua Umum tidak mencapai popularitas yang memungkinkannya terpilih.
Menarik untuk dicatat, dalam sejarah partai Golkar baru akhir-akhir inilah kita saksikan kader-kader muda partai tersebut tampil dengan suara lantang menuntut peremajaan kepemimpinan Golkar. Tantangan yang kini dihadapi para senior Golkar, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung dan Aburizal Bakrie mengindikasikan telah berubahnya zaman dan karena itu nampaknya sudah tiba masanya memposisikan mereka sebagai pini sepuh (tetua) Golkar saja. Apakah akan sesederhana itu jalannya cerita. Satu kemungkinan lain, perpecahan Golkar yang mungkin saja mengakibatkan lahirnya partai Baru. Kalau diperhatikan secara saksama, Munas Golkar selalu terjadi pada saat partai itu “Hamil Tua.” Selain menghasilkan pengurus baru, Munas Golkar juga selalu melahirkan partai baru.***
29 November 2014.
Salim Haji Said