Menghadapi anak kecil memang susah-susah gampang. Sekilas mungkin kita, orang dewasa akan berpikir betapa mudahnya memanipulasi mereka, mereka yang tidak tahu apa-apa, mereka yang hidup baru beberapa periode. Namun, tidak sedikit pula yang mampu menerima kenyataan bahwasanya sensitivitas anak-anak terhadap ketulusan begitu tingginya. Beruntung bagi Anda yang masuk di barisan kedua.
Nah jika Anda menginginkan sesuatu terjadi pada anak, maka kuncinya adalah konsisten dan sabar. Ingat, anak bukanlah orang dewasa mini yang terjebak dalam tubuh orang dewasa, mereka masih dalam proses belajar, jadi wajar jika mereka melakukan banyak kesalahan dan sering tidak sesuai dengan keinginan orang dewasa.
Tentang konsistensi, seberapa sering kita bersikap inkonsisten dalam berinteraksi dengan anak? Sudah sepakat dengan anak bahwa ke supermarket hanya beli alat tulis, namun tiba-tiba belanjaan bertambah dengan mainan, hanya karena tak tahan dengan rengekan sang anak. Konsistensi ini penting karena menyangkut peletakan dasar pendidikan kedisiplinan.
Drs. Zaenal Abidin M.Si, seorang psikolog UNDIP mengatakan ada dua teori psikologi, yakni behaviorisme dan kognitif. Dalam teori behaviorisme, seseorang menyerap pesan karena perilaku mereka yang cenderung meniru, sedangkan dalam psikologi kognitif pesan itu terserap apabila sejalan dengan pengetahuan, referensi dari lingkungannya, atau buku bacaannya.
Saat kita merasakan begitu sulitnya menanamkan kebiasaan baik pada anak, atau nasehat yang baik kepadanya, maka tentunya pesan tersebut harus disampaikan berulang-ulang dan terus-menerus, kegiatan penyampaian pesan yang dilakukan terus-menerus dan berulang inilah yang akan menjadi sugesti positif bagi penerima pesan (dalam hal ini adalah anak). Mestinya perlakuan ini harus diharmonisasikan dengan pola pendidikan dalam keluarga, bisa melalui keteladanan, penyampaian secara langsung, ataupun hasil belajar dari kesalahan.
Ada pengalaman menarik yang penulis dapat sewaktu menjadi instruktur sekolah rumah, sebutlah Hamza (2 th), anaknya pendiam, dan tak serapi kakaknya. Namun, dalam beberapa kali kesempatan saya selalu membiasakannya untuk teratur, misalnya kalau selesai bermain maka semua harus kembali seperti semula. Ya, sulit awalnya, tapi suatu saat temannya (Fauzan, 2 tahun) datang bermain ke rumah, si kecil Hamza mengatakan kepada Fausan, “Nanti selesai main dirapiin lagi ya?”, begitu terus diulanginya pernyataan tersebut karena melihat si Fauzan yang cuek bebek. Beberapa waktu berlalu, Bundanya Fauzan berpamitan akan pulang, dan tak disangka-sangka si kecil Hamza kembali mengingatkan, “mainannya dirapiin dulu yuk, mainannya dirapiin dulu..”, katanya sambil memasukkan mainan-mainan yang tercecer di lantai ke dalam toples.
Dari contoh tersebut, dapat kita simpulkan bahwa begitu pentingnya konsistensi dalam mendidik anak, mungkin tidak sekarang si anak melakukan apa yang kita inginkan, tetapi karena kita konsisten, ia menjadi sangat ingat dengan apa yang kita ajarkan kepadanya.
Yang kedua sabar, kenapa sabar? mungkin menurut beberapa orang aksi sabar ini sangat abstrak karena masuk dalam wilayah perasaan yang dalam pelaksanaannya berbeda-beda untuk tiap individu. Tapi tahukah Anda? Sabar adalah kunci paling pokok jika berhadapan dengan anak-anak. Lihat saja, jika Anda tidak sabar menghadapi mereka, maka sia-sia apa yang anda usahakan terhadap mereka. Semakin Anda tidak sabar, maka semakin menjauhlah si anak dari keinginan Anda.