Pagi sunyi, hawa dingin masih menyelimuti perkampungan bertanah gambut itu. Sesekali terdengar kokok ayam dan kicau burung bersahutan. Setelah bersiap-siap, Yeni segera mengeluarkan sepedanya menuju sekolah. Perjalanan ke sekolah ditempuhnya dalam waktu 30 menit dengan menggunakan sepeda.
Di dusun tempat Yeni tinggal hanya ada empat orang yang melanjutkan sekolah hingga SLTA, karena sebagian besar anak yang sudah tamat SD atau SMP bekerja ke Batam atau Pekanbaru. Dari empat orang tersebut satu orang yang masuk Kristen.
Yeni Marnika (18) adalah anak tunggal dari pasangan orang tua suku Akit yang masih menganut paham animisme. Ayahnya meninggal ketika Yeni masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tinggalah kini Yeni hidup berdua dengan ibunya yang sudah berusia senja.
Hidup tanpa agama membuat Yeni sering gundah, dia tidak tahu kemana harus mengadu ketika masalah menimpa diri dan ibunya. Terlebih karena dia telah lama ditinggal ayahnya. Kadang dia bingung bagaimana agar bisa menyambung hidup dan meneruskan sekolah dalam kondisi tidak punya ayah dan ibu yang sudah tua, sedangkan dia masih kelas 1 SMA.
Dalam kondisi seperti itu akhirnya datang seorang pria paruh baya yang mencoba membuka usaha di desa itu. Dia mencari lokasi strategis untuk membuka usaha menjahit dan warung kecil-kecilan. Walaupun berusia hampir 50 tahun, lelaki yang dahulunya waria penyanyi sinden ini belum berkeluarga. Akhirnya dipilih lah bagian depan pekarangan rumah Yeni untuk dijadikan tempat usaha.
Setelah dilakukan kesepakatan antara ibu Yeni dan pria itu maka warung pun didirikan. Beruntung bagi Yeni dan ibunya karena mendapatkan pemasukan tiap bulannya melalui sewa tanah itu. Selain itu pria yang menempati tanah di pekarangan Yeni itu seorang muslim yang ramah, walaupun dari segi beribadah terdapat kekurangan.
Seiring berjalannya waktu keinginan Yeni untuk masuk Islam semakin kuat. Akhirnya diutarakanlah keinginan itu kepada pria yang tinggal di depan rumahnya itu. Pria itu sangat menyambut baik, karena dia sudah menganggap Yeni sebagai anak, walaupun entah memposisikan sebagai ayah atau sebagai ibu, karena sifat-sifat kefeminimannya masih terlihat.
Di kampung yang belum ada listrik dan masih sepi itu kabar angin mudah sekali menyebar. Tak berapa lama, pada suatu sore datanglah seorang ustadz ke rumah Yeni menanyakan keinginannya masuk Islam, serta kapan kiranya Yeni siap untuk diantar ke kota Selatpanjang untuk bersyahadat di Masjid Raya, karena biasanya orang yang masuk Islam di kabupaten Kepulauan Meranti bersyahadat di Masjid Raya, agar disaksikan banyak orang dan mudah mengurus administrasinya.
Pagi hari Rabu, 15 Agustus, Yeni sudah siap-siap untuk berangkat ke Selatpanjang. Setelah memantapkan niatnya kembali, Yeni memohon restu dari ibunya, dengan berderai air mata ibunya merestui keputusan Yeni. Kini anak semata wayangnya itu sudah dewasa, sudah berhak memilih jalan hidupnya.
Dengan menggunakan kapal motor yang terbuat dari kayu akhirnya Yeni berangkat ke kota dengan ditemani pria yang membuka usaha di depan rumahnya dan juga ustadz dari Jakarta itu. Kebahagian dan rasa haru Yeni bertambah ketika dia mengetahui kedua orang teman SMA-nya yaitu Mita dan Mira juga akan bersyahadat bersamanya di Masjid Raya. Dua orang sahabatnya semenjak kecil ini diajak oleh kepala desa yang tak lain adalah paman mereka berdua.
Setelah diceritakan oleh ustadz tentang rencana keislaman Yeni, kepala desa pun bercerita tentang dua orang keponakannya dari dua orang kakaknya yang juga teman Yeni. Atas usulan ustadz tak berapa lama kepala desa mengajak dua orang keponakannya untuk bersyahadat bersama Yeni . Akhirnya tawaran itu pun diterima oleh dua orang remaja itu karena mereka pun sebenarnya sudah ada niat untuk memeluk Islam.
Hampir dua jam perjalanan laut ditempuh, akhirnya sampai di dermaga kota Selatpanjang pukul 10.20. Pada hari ke 26 bulan Ramadhan penuh berkah itu, tiga orang remaja putri suku akit memeluk agama Islam disaksikan oleh ratusan jama’ah dzuhur Masjid Raya Selatpanjang. Disertai isak haru dan suara tahmid dilakukanlah pengumpulan sedekah untuk membeli keperluan sarana beribadah ke tiga remaja yang baru masuk Islam itu. Karena orang tua mereka belum ada yang muslim, maka sudah tentu membeli keperluan seperti jilbab, mukena, sajadah dan lain sebagainya mereka sendiri yang menanggungnya.
Sebenarnya ada beberapa orang kaya muslim yang mau mengangkat mereka sebagai anak dan menyekolahkan mereka di kota, diantaranya wakil bupati, akan tetapi mereka tidak ingin berpisah dari keluarganya. Walaupun orang tua mereka belum muslim, mereka ingin mendampingi orang tuanya hingga suatu saat bisa masuk Islam.
Sepulangnya dari kota kembali ke kampung suku Akit, ada suasana agak berbeda di kampung yang masih penuh semak itu. Mereka berusaha selalu mengenakan jilbab. Walaupun sudah ada sekitar 30 wanita suku Akit yang masuk Islam dan ada juga beberapa pendatang, akan tetapi pakaian mereka masih sama seperti sebelum masuk Islam, kecuali ketika ke pengajian. Karena sebagian besar alasan para wanita itu masuk Islam adalah karena menikah dengan laki-laki muslim.
Tak lama setelah keislaman mereka, setiap maghrib hingga Isya mereka belajar “Iqro” kepada ustadz di mushola. Selain iqro ustadz juga menerangkan mengenai Tauhid dan Fiqh.
Walaupun kondisi malam yang gelap karena belum ada listrik PLN yang masuk ke desa itu mereka tetap datang, bahkan ketika hujan sekalipun mereka tetap bersemangat mengaji.
Kondisi rumah yang jauh dari mushola tak mengurungkan niat mereka, bahkan salah seorang dari mereka harus menggunakan sepeda dengan melewati jalan yang kanan kirinya rimbunan pohon sagu dan semak setiap malam demi datang mengaji.
Tak jarang mereka termenung dan menitikkan air mata ketika ustadz menjelaskan mengenai masalah Aqidah, karena mengingat orang tua mereka yang belum muslim. Terutama Yeni yang kerap menangis jika mengingat ayahnya yang meninggal dalam kondisi tidak beriman. Dia tahu konsekuensi orang yang meninggal dalam kondisi bukan muslim.
Kini, Yeni dan dua orang temannya selalu berdo’a, semoga kelak orang tua mereka memeluk agama Islam. Yeni tidak ingin melihat ibunya yang sudah renta meninggal seperti kondisi ayahnya. karena Yeni yang merupakan anak tunggal dan tidak punya siapa-siapa lagi selain ibunya, tidak ingin sendiri tanpa keluarga di surga. Dia selalu berusaha mengajak ibunya untuk bersyahadat. Mengusahakan kunci surga untuk bundanya tercinta.
(Beberapa hari setelah 3 orang remaja putri suku Akit tersebut bersyahadat, Alhamdulillah ada seorang pemudi kemudian disusul seorang pemuda suku akit masuk Islam)
Oleh : Ust. Romdhoni
Da’i alumni STID M. Natsir yang senantiasa bertugas dakwah lintas daerah-daerah terpencil