Usaid bin Hudhair adalah seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar; salah satu orang besar di kaumnya; dan ayahnya adalah pemuka suku Aus. Suatu ketika, terjadilah peristiwa-peristiwa panas yang berkaitan erat dengan tingkah Abdullah bin Ubay, seorang munafiq. Rasulullah dan para sahabat sudah cukup berang; bahkan pernah sayyiduna Umar bin al-Khaththab memohon pada Rasulullah agar memerintahkan Abbad bin Bisyr untuk memenggal leher Abdullah bin Ubay. Tapi Rasulullah urungkan itu; karena mafsadatnya besar. Ini sikap dan teori yang dikenal oleh ulama kemudian dengan “Sadd adz-Dzarii’ah”.
Usaid sebagai salah satu orang besar Madinah, setelah memuji Rasulullah, berkata:
“Kasihanilah dia (Abdullah bin Ubay) wahai Rasulullah. Demi Allah, Allah telah mengutusmu ke Madinah di saat kami sedang menyusun batu-batu perhiasan untuk kami pakaikan padanya sebagai mahkota. Maka dia mengira bahwa Anda telah merampas miliknya.”
Maksudnya, Usaid berpendapat bahwa tingkah Abdullah bin Ubay ini disebabkan ‘merasa tersaingi’ atau ‘merasa keagungannya dirampas’ oleh Rasulullah.
Hal yang mirip dengan ini sebelumnya juga terjadi ketika Rasulullah memulai dakwah di Tha’if. Asalnya, pemuka Tha’if mengizinkan beliau bicara. Namun ketika mereka menyangka bahwa Rasulullah datang ke Tha’if untuk merebut mahligai kekuasaan dan menjadi pesaing mereka sebagai tokoh daerah, maka mereka pun terkompori oleh syaithan dan menyeru warga untuk menyerang Rasulullah dan Zaid bin Haritsah, anak muda yang ikut serta beliau ke Tha’if.
Ibrah dari dua kisah dipersingkat di atas adalah:
Bahwasanya sikap sensi dan menyerang bisa disebabkan su’uzhan yang kemudian menyakiti hati sendiri; dan imbasnya orang lain pun terhasut dengan itu. Kasus kontemporer yang ingin saya angkat adalah kasus kyai atau ustadz besar di suatu kota atau daerah; yang tidak mengizinkan adanya kajian di kota atau daerahnya kecuali harus dengan sepengetahuan, mandat dan rekomendasi dari beliau. Jika ‘illegal’ walau ilmiah dan tidak ada maksud menyaingi, maka sikap sensinya akan menular ke murid-muridnya yang kemudian tanpa disadari terkerahkan pasukan untuk menghasut hamba-hamba Allah agar tidak datang ke pengajian fulan yang illegal.
Atau bisa jadi murid-murid fanatiknyalah yang menghasut sang kyai atau ustadz. Menginfokan pada beliau aib-aib yang entah benar entah tidak.
Sehingga yang boleh exist di tanah itu adalah kajian beliau sendiri atau yayasan beliau sendiri. Hal ini karena beliaulah yang merintis. Padahal bumi adalah bumi Allah al-Khaliq. Secara legal pun, tanah satu RT belum mampu dibeli. Dan dakwah tidak harus menjadikan satu tokoh manusia non-Nabi non-Rasul bahkan sekadar level lokal sebagai marja’; karena kalimat siapapun boleh ditolak boleh diterima kecuali kalimat Rasulullah.
Jika lahan dakwah yang basah dan enak, atau masjid/mushalla dan kampung yang sudah ter-install fasilitas enak dan diterima, adalah rebutan dai-dai besar, maka siapa yang akan membuka lahan baru di tanah-tanah gersang?
“Oh, itu mah tugas dai-dai level pemula.”
Allahul musta’an.
Perlu kami tegaskan (karena kami juga mulai merasakan): semakin sering diundang dakwah, godaan dunia -demi Allah- semakin besar. Dan orientasi dakwah perlahan-lahan bergeser. Jika bukan karena pertolongan Allah, kami yakin tak satu pun dai-dai besar sekarang selamat dari godaan itu. Karena itulah, kita semua tidak layak merasa bahwa perintisan ini itu karena ‘SAYA’ dan ‘TIM SAYA’, melainkan semuanya dari ALLAH. Kita masing-masing bertahan dengan hablillah, karena ALLAH.