Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar Rum : 21).
Ayat Allah di atas sangat ‘populer’ untuk membahas pernikahan dan keluarga. Kita mendapatkan sejumlah informasi dari ayat tersebut, diantaranya adalah diciptakannya laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang berpasangan. Kata “azwaja” sebagaimana tersebut dalam ayat di atas memiliki makna isteri, namun juga bisa memiliki makna pasangan. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan adalah format yang berpasangan.
Mereka tentu berbeda, karena satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Namun mereka berpasangan, bukan berlawanan. Sehingga akan lebih ramah apabila kita menggunakan istilah ‘pasangan jenis’ untuk menyebut laki-laki dan perempuan, dan bukan ‘lawan jenis’. Jika kita memaknai ‘pasangan jenis’ maka kita meletakkan laki-laki dan perempuan secara seimbang dan adil, mereka memiliki relasi sebagai suami dan istri dalam kehidupan keluarga, yang lengkap dengan potensi dan karakter masing-masing.
Karena Berbeda, Maka Berpasangan
Pasangan itu tentu dua hal yang tidak sama, namun saling melengkapi. Lelaki memiliki potensi kelelakian, karakter laki-laki, dan ego kelelakian. Perempuan memiliki potensi keperempuanan, karakter perempuan dan ego keperempuanan. Mereka akan saling berbagi, saling mengisi, saling melengkapi, saling menguatkan satu dengan yang lain, dalam perbedaan tersebut.
Ada karakter yang khas pada laki-laki, dan ada karakter yang khas pada perempuan. Untuk itulah mereka bisa menjadi pasangan yang saling melengkapi. Maka dalam kehidupan berumah tangga, suami harus tetap menjadi laki-laki dan istri harus tetap menjadi perempuan. Mereka hanya perlu saling pengertian, saling memahami, saling berbagi satu dengan yang lain. Bukan saling bertukar karakter satu sama lain.
Banyak perempuan menjadi maskulin dengan slogan ‘fearless female’ dan ‘girl power’, karena sifat feminin dianggap lebay. “Sudah saatnya perempuan tampil memimpin semua bidang kehidupan”, begitu bunyi slogan yang sangat deras dan kuat pada zaman ini. Perempuan didorong untuk melakukan berbagai aktivitas yang sama dengan laki-laki, dan tidak boleh kalah oleh kaum laki-laki.
Tentu saja bukan persoalan perempuan ‘tampil’ dan ‘memimpin’, karena hal itu banyak manfaat apabila dilakukan dalam konteks yang positif. Namun yang menjadi persoalan adalah apabila perempuan kehilangan sifat keperempuanannya. Tidak memiliki perasaan keibuan dan kebetahan tinggal di rumah. Inginnya selalu tampil keluar dan memimpin, sehingga bersaing dengan suami dalam segala sesuatu.
Di sisi lain, karena isu kesetaraan gender, banyak pula lelaki menjadi feminin dengan menjadi terlalu sensitif secara emosional dan bercorak metroseksual. Istilah metroseksual sendiri dalam perkembangannya mengarah kepada gaya hidup laki-laki perkotaan modern yang berpenghasilan lebih dan sangat peduli kepada penampilan dan citra dirinya. Gaya hidup ini berkait erat dengan konsumerisme, kapitalisme dan bahkan dengan perilaku narsisme.
Lelaki metroseksual menaruh perhatian lebih kepada penampilan, ia cenderung memiliki kepekaan mode dan memilih pakaian berkualitas atau bermerek, serta memiliki kebiasan merawat diri (grooming) atau kebiasaan-kebiasaan yang dahulu lazim dikaitkan dengan kaum perempuan. Misalnya menyukai kosmetik untuk lelaki, pergi ke salon atau spa, atau melakukan perawatan tubuh seperti perawatan rambut, kuku dan kulit.
Tentu saja bukan soal kepekaan hati dan perawatan diri bagi lelaki, karena hal-hal seperti itu tetap ada sisi positifnya jika digunakan secara benar. Namun menjadi persoalan serius apabila lelaki hilang sifat kelelakiannya. Tidak mampu memimpin, tidak bisa mengambil keputusan, terlalu perasa, terlalu mudah menangis.
Jika Sifat-sifat Khas itu Hilang
Hilangnya sifat keperempuanan pada perempuan dan sifat kelelakian pada laki-laki, tentu membawa sejumlah dampak ikutan. Banyak orang zaman sekarang mengeluh tidak dapat menemukan pasangan yang tepat untuk menikah. Ketika perempuan tidak lagi memberikan kesejukan dan kelembutan pada laki-laki, ketika laki-laki tidak lagi memberikan ketegasan dan perlindungan kepada perempuan, maka relasi seperti apa yang akan terbentuk dalam sebuah keluarga?
Apakah perempuan yang mampu mengalahkan lelaki di segala hal dianggap hebat dan dikagumi? Apakah laki-laki yang tidak malu untuk menangis dan bersifat lemah gemulai dianggap lelaki hebat dan dikagumi? Ini kan sesungguhnya bukan persaingan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Bukan soal siapa menguasai siapa, atau siapa menang atas siapa. Namun lebih kepada bagaimana laki-laki dan perempuan saling melengkapi dan menguatkan satu dengan yang lain dalam kehidupan.
Sejujurnya, tidak ada laki-laki yang menyukai perempuan yang kasar, dominan, terlalu perkasa, terlalu mandiri, tukang ngatur, terlalu girl power, dan jutek. Sama seperti tidak ada perempuan yang menyukai laki-laki yang terlalu sensitif, sedikit-sedikit menangis, mudah panik, mudah merajuk, lemah gemulai, tidak tegas dan gampang terbawa perasaan.
Ada sisi keperempuanan yang harus dijaga saat menjadi istri, ada sisi kelelakian yang harus dijaga saat menjadi suami, secara proporsional. Karena itulah mereka benar-benar bisa menjadi ‘pasangan’ yang saling mengerti, saling melengkapi, saling memberi, saling menguatkan dalam kebaikan. Laki-laki dan perempuan bukan lawan sehingga mereka menjadi saling bersaing bahkan bermusuhan. Jangan berpikir saling mengalahkan, jangan berpikir saling menguasai, jangan berpikir saling menjatuhkan.
Laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang saling menyempurnakan. Harus berpikir saling menguatkan, saling membahagiakan, saling mencintai dengan sepenuh jiwa dan raga…..