“Ini kan saya, bukan hak anda?”, katanya, ketika seseorang diingatkan agar tidak berbuat salah. Bebas betul, “terserah saya, mau melakukan apapun, tubuh, tubuh saya”, Ucapnya. Memang, asal katanya liber, bahasa latin yang artinya bebas atau merdeka. Mungkin, masih ingat Revolusi Prancis, jargon yang dibawa liberte, egalite, fratenite – kebebasan,kesetaraan, persaudaraan, sebagai magna carta.
Dikukuhkan oleh Grubber, bahwa tunduk pada suatu otoritas, adalah substansi dari Liberalisme. Niatnya baik, yang bertentangan dengan kebebasan dirinya ia tolak. Termasuk yang disebut kebenaran? Mungkin saja, ia berani menolak kebenaran. Karena baginya, kebenaran relatif, karena tidak ada otoritas yang dikukuhkan sebagai pembawa kebenaran, yang berujung pada nihilisme, tidak adanya kebenaran. Tentunya, hal ini yang menggembirakan para fans Nietzshe, bahwa Kebenaran itu sudah mati. Ya, Tuhan sudah mati!!
Sebagai anak kandung dari umanista (humanisme) , tren ini menyebar dengan pesat. Ada David Hume, dari Inggris, juga cabang Prancis adanya Rousseau, Diderot, dkk), Jerman ada Immanunel Kant, mungkin di Indonesia sudah ‘buka cabang’ juga. Liberalisme, istilah mereka pada abad 16, memang benar asli Barat. Mungkin, karena mereka trauma. Kata Germaine de Stael, ( lihat Dr. Syamsyudin Arif, Orientalis & Diabloisme Pemikiran) “ kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gerje ataupun raja”
Tentunya, dalam potilik, artinya menentang absolutisme kekuasaan, mungkin hilangnya kerajaan-kerajaan, kerjaanya worldview liberalis ini. Secara ekonomi, mereka suda mulai bergerak. Ada yang namanya kebebasan , pemerintah tidak perlu intervensi, dalilnya adlah pasar bebas. Dalam sosial, lebih keren lagi. Bebas benar. Alangkah nikmatnya, anda mabuk mabukan, tidak perlu diingatkan. Karena itu hak individu mereka. Bahkan, judi menjadi legal, karena kesepakatan masyarakat. Jadi apa ukuran kebenaran? Tidak ada kontrol sosial terhadap individu.
Dalam agama, mungkin terdengar, “Anda nggak usah bicara cara, kami masing-masing sudah tahu”, “Yang penting hatinya benar, tidak perlu shalat”. Hatinya di Mesjid, fisiknya di tempat judi. ”Saya ini orang yang religious”, katanya, tapi tidak pergi ke gereja. Adanya dualisme, dalam tataran epistimologi. Ya, dualisme memang juga anak kandung Peradaban Barat. ”Ini urusan privat, anda nggak perlu ngatur-ngatur”. Kata Judson Taylor, tokoh besar Amerika, dalam tulisannya The Evil of Liberalism, dibuka oleh kalimat “Liberalisme telah menggantikan Persecutiton”. Persecutiton artinya panganiayaan atau pembunuhan. Dalam tradisi Kristen penganiayaan terjadi karena adanya keyakinan yang menyimpang (heresy) dalam teologi. Artinya liberalisme sama dengan penganiayaan. Hanya saja, lanjutnya, jika Persecution membunuh orang, tapi menyuburkan penyebabnya, maka liberalisme membunuh sebabnya dan menyuburkan pikiran orang. Dalam artian liberalisme memenangkan akal manusia daripada firman atau ajaran Tuhan” (lihat Berpikir Liberal, Hamid Fahmy, insistent.com)
“Ini urusan saya dengan Tuhan, anda diam saja.” Padahal Tuhan-nya menyuruh amar ma’ruf nahi munkar. Tidak ada lagi kebenaran disana. “Biar Tuhan yang menilai”, anda bukan Tuhan”. Namun pernyataanya sendiri ‘amar ma’ruf’ versinya sendiri, kepada orang-orang yang berusaha menunjukkan kebenaran. Kebenaran menjadi bias. Karena kebebasan setiap individu berbicara, berbicara tanpa ilmu. Karenanya, asal tidak merugikan orang lain, kita bebas berperilaku, orang berzina tidak perlu dihukum, karena suka-sama suka. Tidak ada Tuhan disana, memang betul, peradaban barat yang Godess. Liberalisme asli betul dari Barat. Worldview Barat. Oleh karena itu, pada awalnya, Benjamin Constant, tokoh Kristen liberal, menginginkan agar adanya reformasi gereja, doktrin-doktrinnya agar sesuai dengan semangat zaman –sekarang (now), kata Harvey Cox, zaman sekarang, yang artinya Saeculum (latin) , maksdunya adalah Sekuler. Pantas, ada yang bilang Liberalisme, padanannya adalah Sekulerisme (lihat Orientalis dan Diabloisme Pemikiran, Dr. Syamsuddin Arif, hal 78)
Ini yang mengawali semangat ‘modernisme’ di Barat. Karena modern dan saeculum, memang sama. Cicero mengatakan modern itu here, now, up to date. Makanya, tokoh –tokoh Liberal begitu gencar me’modern’kan pemikiran agamanya, mulai dari tataran epistimologis. Tafsir ini udah usang, katanya, lebih baik diganti. “Oh itu kan budaya masa lalu, tidak cocok diterapkan di sini”. Inilah worldview Barat, yang masih mencari jati dirinya. Bahkan, modern-pun di habisi oleh post-Modern.
Berubah-ubah seperti kebingungan. hingga post -Modern pun di kiritik, cacat istilahnya, kata Lesszek Kolaskosky, perkawinan kata yang tidak sah menurut linguistik. Seperti ungkapan makan di warteg, hari ini makan, besok gratis. Tidak akan pernah ada yang makan gratis disitu, sebab orang makan hari ini,bukan besok. (Lihat Jurnal INSIST, ISLAMIA vol VI, no 1 , 2012).
Jadi, Peradaban Barat, peradaban yang bingung. Sampai-sampai menyatakan cogeto ergo sum, kita bertepuk tangan, ketika Decrates menyatakan “aku berpikir, maka aku ada”, seolah-olah sebelum ada Decrates, seluruh manusia tidak menyadari bahwa dirinya itu ada. Nggak heran, kalau ada istilah “Islam Liberal”, artinya Islam yang mem-Barat, atau Islam yang Bingung.
Sedangkan dalam Islam tidak ada kebingungan. Prof Al Attas, dalam bukunya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, mengatakan bahwa kebebasan dalam Islam berarti memilih yang baik (ikhtiyar). Ikhtiar yaitu menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya. Oleh karena itu, memilih keburukan adalah menyalahgunakan kebebasanya, sebab pilihannya bukan sesuatu yang baik (khayr). Inilah yang disebut adab. Jadi, kebebasan sejati memantulkan ilmu dan adab , sedangkan kebebasan yang bingung mencerminkan ketidaktahuan dan kebiadaban (tanpa adab). Artinya, kebebasan dipandu oleh adab dan ilmu, agar menghasilkan sesuatu yang baik. Maka, apa yang dapat diharapkan dari orang-orang yang kebingungan? Wallahua’lam
Oleh: Muhammad Rizki Utama, Bandung
Facebook – Blog
Mahasiswa ITB, aktif di kajian PIMPIN (Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan)