Ungkapan, “Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan,” yang dinisbatkan kepada Amirul Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dari sisi penyampaian ilmu, bukanlah bermaksud setiap orang boleh berbicara perihal agama, apalagi yang rumit-rumit.
Hari ini, banyak yang menggunakan ungkapan ini untuk membenarkan ‘keberaniannya’ berbicara panjang-lebar persoalan agama tanpa ilmu yang memadai. Saat ditegur, ia katakan, ‘unzhur maa qaala, wa laa tanzhur man qaala’. Yang dilakukannya ini tidak benar.
Tak tahukah dia, Imam Mujahid, seorang ulama tabi’in pernah berkata, “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berbicara tentang Kitabullah jika ia bukan seorang yang ‘alim dalam bahasa Arab.”
Diriwayatkan juga, ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah melewati seorang ‘tukang cerita’ di masjid, dan ‘tukang cerita’ tersebut sedang berbicara di hadapan orang-orang’.
‘Ali kemudian bertanya kepadanya, “Apakah Anda mengetahui nasikh-mansukh?”
Orang tersebut menjawab, “Tidak!”
‘Ali kemudian mengatakan, “Anda telah binasa dan membinasakan orang lain”.
Ulama salaf dulu memang biasa memilah-milah informasi yang mereka terima, tak semua mereka ambil. Ibn Sirin, salah seorang ulama tabi’in, berkata, “Dulu mereka tidak bertanya tentang isnad. Namun kemudian terjadi fitnah, dan setelah itu mereka berkata: Sebutkan pada kami nama rijal kalian. Dan dilihat, jika rijal-nya adalah dari Ahlus Sunnah, diambil haditsnya. Dan jika rijal-nya termasuk ahli bid’ah, haditsnya tidak diterima.”
Tidak semua orang berhak bicara agama, apalagi persoalan yang rumit dan njelimet. Jika semua orang dibiarkan berbicara, umat ini akan menjadi rusak dan semakin terpuruk. Na’uudzu billaahi min dzaalik.
Para ahli ilmu mengatakan, ungkapan “Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan,” ini adalah bentuk ‘peringatan’ terhadap orang-orang yang ta’ashshub (fanatik buta) terhadap kelompok. Orang-orang yang ta’ashshub ini sudah terbiasa hanya menerima perkataan orang-orang yang satu kelompok, satu madzhab, satu aliran atau satu guru dengan mereka. Perkataan orang-orang di luar mereka, mereka tolak, tanpa penelitian yang memadai, apakah pendapat orang tersebut memang keliru, atau jangan-jangan itulah yang benar.
Sikap seperti ini jelas salah. Kebenaran adalah kebenaran, dari manapun datangnya.
Imam Asy-Syafi’i mengajarkan kita hal ini. Beliau berkata, “Jika telah shahih suatu hadits, maka itu adalah madzhabku. Dan jika telah shahih suatu hadits, lemparkanlah kata-kataku (yang menyelisihinya) ke dinding.”
Beliau juga berkata, “Setiap yang saya katakan, jika terdapat hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku, maka hadits shahih itu lebih utama (untuk diikuti), dan janganlah kalian bertaqlid kepadaku.”
Sikap ini juga diajarkan oleh Imam Malik. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, semua yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.”
Inilah yang diajarkan oleh dua ulama besar ini, yang barakah ilmunya telah dirasakan oleh umat Islam lebih dari seribu tahun. Mereka dan ulama-ulama lainnya pun terkenal dengan ungkapan, “Pendapatku benar, namun ada kemungkinan salah. Pendapat selainku salah, namun ada kemungkinan benar.”
Adapun orang-orang yang ta’ashshub, mereka berprinsip sebaliknya. Bagi mereka, “Pendapat yang kuikuti pasti benar, tak mungkin salah. Pendapat yang menyelisihiku pasti salah, tak mungkin benar.”
Jika ada ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi yang terlihat bertentangan dengan pendapat yang mereka ikuti, mereka akan ta’wil ayat dan hadits tersebut agar sesuai dengan paham yang mereka ikuti, walaupun ta’wil mereka tersebut bertentangan dengan zhahir makna ayat dan hadits tersebut, walau tak ada seorang pun ulama mu’tabar sebelumnya yang memahami ayat dan hadits tersebut sebagaimana yang mereka pahami.
Pada tingkat akut, orang-orang sejenis ini bisa saja membuat kerusakan parah terhadap diin, misal dengan membuat hadits-hadits palsu, sebagaimana pernah dilakukan orang-orang sebelum mereka. Wal ‘iyaadzu billaah.