Lokalisasi

Kearifan lokal, begitulah kaum sekularis-pluralis-liberalis menyebutnya. Setiap daerah memiliki kearifan lokalnya masing-masing yang telah disesuaikan dengan kepribadian khas penduduk setempat, dan semuanya itu murni dan valid sebagai kebenaran. Karena itu, tradisi setempat tidak boleh diganggu-gugat dengan alasan apa pun. Lebih jelasnya lagi, agama sekalipun tidak punya hak untuk ikut campur masalah adat.

Gagasan ini diolah kembali oleh seorang liberalis. Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya nama “sinkretisme” dipandang sebagai sesuatu yang buruk oleh bangsa Indonesia (walaupun banyak dilakukan juga oleh mereka yang malu mengakuinya), sang pemikir yang satu ini mengatakan bahwa kita tidak perlu canggung melakukan sinkretisasi antara agama dan budaya; katakanlah, antara Islam dan adat Jawa.

Dengan dibukanya ‘pintu sinkretisme’, maka berlomba-lombalah mereka menyuarakan pendapatnya. Yang satu menyatakan dengan tegas bahwa dirinya menginginkan terwujudnya ‘Islam yang Indonesiawi’, bukannya ‘Indonesia yang Islami’. Rekannya yang lain lagi malah dengan gagahnya memungkas sebuah debat terbuka dengan ‘kata-kata mutiara’: “Saya ini orang Indonesia yang kebetulan lahir sebagai Muslim, dan bukannya Muslim yang kebetulan lahir sebagai orang Indonesia.”

‘Perselingkuhan’ antara tradisionalisme dan pemikiran liberal memang cukup problematis, bahkan terkesan ngawur. Dari jamannya Mustafa Kemal Ataturk sampai Soekarno, dari Nurcholish Madjid sampai Ulil Abshar-Abdalla, yang selalu didengung-dengungkan sebagai basis pemikiran liberal adalah modernisme. Berpikir itu harus progresif dan maju, bukannya konservatif dan kolot. Tapi pada kenyataannya, modernisme tidak selalu cocok dengan bangsa Indonesia. Maka bagi mereka yang sudah terlanjur cocok dengan tradisionalisme, dipersilakan untuk mempertahankan ketradisionalannya. Yang penting tetap sekuler, liberal dan pluralis.

Dalam wacana pluralisme sendiri memang tradisionalisme itu telah memberikan pengaruh yang tidak sedikit. Dalam agama Hindu, misalnya, terbuka begitu besar kesempatan untuk melakukan sinkretisasi dengan tradisi-tradisi dan corak pemikiran setempat. Hindu di India sangat berbeda dengan Hindu di Indonesia, walaupun para sejarawan ngotot mengatakan bahwa agama Hindu di Indonesia benar-benar anak kandung dari agama Hindu di India. Tapi, sebagaimana yang pernah digarisbawahi oleh Buya Hamka: yang satu menyucikan sapi, yang lainnya mengkonsumsi sapi.

Bahkan di negara yang sama pun kita temukan corak yang berbeda-beda dalam agama Hindu. Di India, masyarakat Hindu beribadah dengan cara yang berbeda-beda, tergantung dewa mana yang lebih mereka utamakan (dan agaknya ‘majelis dewa-dewi’ ini pun tidak memiliki keanggotaan yang tetap). Di suatu wilayah, ada yang menganggap tikus-tikus penghuni kuilnya sebagai jelmaan orang-orang suci, sedangkan di tempat-tempat lain, tikus diusir dari rumah-rumah seperti yang umumnya terjadi di seluruh dunia. Di Bali, pusat berkembangnya agama Hindu Indonesia, perlakuan terhadap jenazah pun berbeda. Ada yang ditaruh begitu saja di luar rumah (tidak dikubur, karena pohon di daerah itu bisa menghilangkan bau busuknya secara sempurna), ada juga yang bersusah payah mengumpulkan dana agar jenazah kerabatnya bisa dibakar dengan prosesi yang layak.

Tokoh-tokoh agama Hindu di India sudah banyak yang mengakui bahwa Hindu memang sangat ‘fleksibel’ dan bisa beradaptasi dengan tradisi lokal mana pun, bahkan juga beradaptasi dengan agama lain. Itulah sebabnya di India berkembang aliran Sinkretisme; ada yang bersemboyan “Mengkristenkan Hindu dan Menghindukan Kristen”, ada yang memadukan Hindu dan Islam, ada pula yang mencampurkan Hindu, Kristen dan Islam sekaligus. Bahkan Mahatma Gandhi pun menganggap semua agama benar, namun semua agama juga memiliki kesalahan; oleh karena itu, kesalahan dalam suatu agama bisa ‘ditambal’ oleh ajaran agama-agama lainnya.

Tradisionalisme juga dikenal sebagai aliran tersendiri dalam tren pluralisme yang lebih dikenal sebagai ‘Hikmah Abadi’, ‘Sophia Perennis’, atau ‘Kesatuan Transenden Agama-agama’ (KTAA). Menurut aliran KTAA ini, setiap agama bersifat ‘tradisional’. Artinya, ia bersifat primordial dan wajib dipertahankan dalam bentuk aslinya. Mempertahankan bentuk asli dari ajaran agama adalah suatu hal yang terpuji, hanya saja dasar pemikirannya kurang dapat diterima oleh para ulama, yaitu karena KTAA membenarkan semua agama.

Pemikiran teosofi tidak kalah menariknya, karena teosofi inilah yang dengan mantap memperumit relasi antara agama dan tradisi lokal. Menurut mereka, semua agama itu berasal dari Tuhan yang sama, hanya saja masing-masing agama diturunkan kepada umat yang berbeda-beda berdasarkan ‘tingkat evolusinya’. Kepada kaum yang masih primitif, diajarkan agama yang primitif juga. Sebaliknya, masyarakat yang sudah lebih maju akan menerima agama yang lebih maju juga. Agaknya pengaruh Charles Darwin sampai juga pada aliran teosofi ini, karena istilah “primitif” umumnya mengacu pada bangsa berkulit kuning, merah, coklat dan hitam, sedangkan yang “maju” adalah bangsa berkulit putih. Oleh karena itu, Hindu, Budha, Konghucu, Zoroaster, Islam dan sebagainya adalah agama yang primitif, sedangkan agama yang modern adalah Kristen dan Yahudi. Bagaimana pun, kaum teosofi bersikeras bahwa mereka tidak mengacu pada satu agama saja, melainkan hendak memuliakan semua agama, dengan berbagai retorika yang digunakannya.

Proyek mengidentikkan Islam dengan tradisi lokal sudah dilakukan sejak dahulu kala. Kaum orientalis jaman dahulu tidak terbiasa membedakan antara Islam dan Arab, sehingga Islam disebut dengan istilah-istilah lain yang sebenarnya mengacu pada bangsa atau wilayah, misalnya “Saracens” atau “Turks”. Jadi, menurut mereka, Islam adalah agamanya bangsa Arab. Lambat laun, mereka pun menyadari bahwa definisi ini tak dapat dipertahankan, karena muallaf  terus bermunculan dari seluruh penjuru dunia. Maka mereka ajarkanlah kepada murid-muridnya (kaum sekularis-pluralis-liberalis) bahwa Islam memang bukan agama bangsa Arab, namun dalam ajaran agama Islam yang telah kita kenali ini terdapat begitu banyak aturan-aturan yang diadaptasi dari tradisi-tradisi Arab. Dengan kata lain, Islam tidak identik dengan Arab, namun Islam bisa (dan telah) terinfiltrasi oleh corak budaya Arab. Muncullah gagasan berikutnya. Kalau Islam bisa ‘diwarnai’ dengan budaya Arab, mengapa kita tidak ikut ‘mewarnai’ Islam dengan budaya Indonesia?

Berputar-putar kemana pun, ‘perselingkuhan’ semacam ini tetaplah problematis. Sebab, kaum sekularis mengkritik sebagian ajaran Islam karena dianggapnya tidak rasional, namun sebaliknya mereka justru tiarap ketika menghadapi tradisi-tradisi lokal yang lebih tidak rasional lagi. Sebagian di antara mereka mengatakan bahwa dzikir, apalagi berjamaah, adalah ‘pelarian’ bagi orang-orang yang tak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya dengan akal sehat. Tapi atas nama ‘kearifan lokal’, mereka anggap masuk akal saja tradisi berendam ramai-ramai di sungai untuk membersihkan diri dari segala sifat buruk atau dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan. Ada juga yang bilang bahwa merujuk pada syariat Islam itu identik dengan melarikan diri karena tak mampu lagi menggunakan kekuatan akalnya untuk memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Tapi terhadap tradisi memohon-mohon di depan kubur, upacara memandikan keris atau berebut kue dan makanan dari keraton sebagai simbolisme ‘rebutan berkah’, mereka diam saja. Semata-mata karena sebagian masyarakat Indonesia memang terlanjur cocok dengan tradisionalisme.

Demi tradisi lokal, agama pun dibikin ‘lokal’, dan dilarang menjadi universal. Memang tepat kiranya jika fenomena ini kita sebut dengan istilah ‘lokalisasi agama’, karena lokalisasi memang identik dengan pelacuran, dan tawar-menawar dengan ‘aqidah tidak lain adalah pelacuran ‘aqidah itu sendiri.