Seorang Pujangga berkata, “Seorang ibu ibarat madrasah, apabila kamu disiapkan dengan baik, berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum namanya.”
Demikianlah, pada dasarnya perempuan dituntut untuk berperan dalam peradaban bangsa. Tulang rusuk bengkok ini tidak diciptakan untuk hanya bermanja-manja ataupun sebagai penghias dunia maskulin lelaki layaknya gula-gula yang manis rasanya sebagai kudapan penyenang lidah. Visi mulianya, telah jelas jika wanita itu memahaminya.
Adapula ungkapan yang sudah kita kenal bahwa “Di balik keberhasilan seorang pembesar, ada wanita di sisinya.”
Begitulah wanita seharusnya berkiprah, bahwa nilainya bukan hanya pada kecantikan ragawinya namun lebih kepada perangkat lunak yang ada di dalamnya. Adapun kecantikan ragawi seorang wanita hanya sebagai pelengkap dan bukan merupakan unsur pokok dalam dirinya terkait visi mulia kehidupannya. Karena, setiap wanita bisa jadi merona sepanjang masa dengan rangkaian kerja nyata dalam rangka mewujudkan visi mulianya. Pun, bisa menjadi hina karena perspektifnya sendiri.
Lantas, apakah kita sudah mempersiapkan diri dengan baik dalam menyambut peran kita yang sebenarnya? Satu jiwa perempuan turut membangun peradaban bangsa. Seringkali perempuan meremehkan peran besar itu karena ketidaktahuannya ataupun pula karena maraknya pengaburan peran wanita yang dihembuskan oleh opini publik dengan gaya hidup yang jauh dari petunjuk yang lurus. Opini yang bisa jadi ekstrim membatasi wanita atau bahkan memberikan kebebasan yang berlebihan pada laku wanita dalam kiprahnya.
Bagaimanakah petunjuk yang lurus itu didapatkan agar perempuan tidak terombang-ambing di antara perang opini tersebut? Jika tidak memperoleh pendidikan yang matang tentang perannya, bagaimana mungkin perempuan tidak akan tergerus oleh zamannya?
Masalah terkait dengan wanita sangatlah beragam. Mulai dari bagaimana secara fisik mereka berpenampilan hingga pandangan terhadap pilihan hidupnya. Bolehkah mereka mengaktualisasikan diri nya dalam majelis-majelis di luar rumah atau berada di rumah adalah yang utama bagi mereka? Nash-nash terkait dengannya sebetulnya telah dijelaskan secara gamblang oleh syariat yang tergambar pada generasi emas, generasi Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Yang perlu kita ingat pula, di balik peran besar wanita juga terdapat sisi lainnya bahwa wanita adalah sumber fitnah yang besar bagi kaum lelaki. Dengan segala aspek yang menarik pada diri wanita, bisa jadi kemudharatan banyak dimunculkan.
Salah satu contohnya, seperti halnya yang disampaikan oleh Yusuf Qardhawi dalam pengantarnya pada buku Kebebasan Wanita karya Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah. Bisa jadi suatu kaum meniru nilai-nilai yang digunakan oleh masyarakat Barat yang lebih condong terhadap kebebasan yang kebalablasan sebagai reaksi atas kaum yang begitu ekstrim meniru timur dimana sangat konservatif termasuk masalah urusan kaum wanita. Maka, keduanya adalah sama-sama menjadi tawanan zaman, yakni zaman kuno dan zaman modern. Sementara, yang dituntut dari kita hanyalah tunduk dan patuh kepada petunjuk dan bimbingan dienul haq yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karena itu, yang harus diambil adalah sikap yang mencerminkan sifat atau karakter pertengahan Islam yang tidak keterlaluan dan tidak pula menyepelekan suatu masalah. Tidak melebihi, dan tidak pula mengurangi.
Hal tersebut termaktub dalam Q.S. Al Baqarah:143. “Dan demikian (pula) kami telah menjadikan (umat Islam) umat pertengahan (yang adil dan pilihan). Demikian pula terdapat dalam firman Allah berikut: “Supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” Ada pula kata mutiara yang menyatakan Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan. Selain itu, Ali r.a. pernah mengatakan “Hendaklah kalian mengambil model atau contoh yang pertengahan. Yang terlanjur hendaklah surut dan yang tertinggal hendaklah menyusul.
Peran wanita telah banyak dicontohkan oleh sahabiyat seperti halnya Asma’ binti Abu Bakar dengan julukan wanita yang mempunyai dua ikat pinggang. Dimana beliau juga membantu suaminya bekerja dan pernah diutus pula untuk membawakan bekal bagi Rasulullah dan ayahnya yang sedang menghindar kejaran kaum kafir Quraish. Begitu pula dengan anak perempuan seorang lelaki tua yang menggembala kambingnya yang kemudian bertemu dengan Musa. Telah jelas bahwa wanita boleh melakukan aktifitas diluar rumah atau dalam hal ini bekerja menggembala ternak.
Selanjutnya, permasalahan berkembang tentang peran bagaimana yang akan dilalui wanita sebagai pembangun peradaban. Bahwa ia bisa menjadi sosok ibu, pendamping seorang laki-laki, atau guru bagi perempuan yang lain. Kesemuanya kemudian terangkum dalam watak dominan wanita yang kemudian konsekuensinya adalah pilihan tentang akan kemana dia berfokus.
Wahai ibu-ibu peradaban, masihkah engkau berfiir bahwa kita tidak dituntut seperti beratnya tugas seorang lelaki? Tidak ingatkah engkau bahwa generasi emas peradaban juga lahir dari rahim seorang wanita besar?
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (Q.S. An Nahl:97)
Ayat tersebut di atas mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan kedudukan antar laki-laki dan perempuan di sisi Allah selain amal saleh mereka. Meskipun demikian, tetap saja terdapat perbedaan medan amal antara laki-laki dan perempuan karena karakteristik keduanya pun berbeda.