Mengapa batasan maghrib menjadi acuan hari dalam Islam? Tidak ada dalil dalam Al-Quran yang secara tegas menyebut maghrib sebagai batas awal hari dalam Islam. Tetapi hadits Rasul tentang rukyat awal dan akhir Ramadhan dapat menjadi dasar bahwa hari dimulai sejak maghrib. Hadits itu memerintahkan, “Berpuasalah bila melihatnya (hilal) dan berbuka (beridul fitri) bila melihatnya”.
Rukyat hilal yang dapat meyakinkan telah masuknya bulan baru adalah rukyat pasca maghrib. Ketika telah terlihat hilal, maka saat itulah awal bulan berlaku. Kalau itu awal Ramadhan, maka malam itu shalat tarawih dan amalan Ramadhan dimulai. Lalu puasa dimulai sejak shubuh sampai maghrib. Kalau itu awal Syawal, shalat tarawih tidak ada lagi berganti dengan gema takbir menyambut Idul Fitri. Jadi, tanggal awal bulan bermula saat maghrib. Harinya pun bermula saat maghrib. Jadi dalam Islam, Kamis malam adalah malam Jumat, karena hari dimulai saat maghrib. Ungkapan itu sudah lazim dan memasyarakat di Indonesia.
Ketika ilmu hisab (perhitungan astronomi) berkembang, batasan maghrib pun tetap dijadikan rujukan awal hari. Posisi bulan saat maghrib menjadi rujukan dalam penentuan masuknya awal bulan Islam. Beberapa kriteria klasik menggunakan batasan maghrib untuk menandai awal bulan. Misalnya, “ijtimak qoblal ghurub” (konjungsi bulan-matahari sebelum maghrib) dan “Wujudul Hilal” (hilal dianggap wujud atau sebagian piringan bulan masih di atas ufuk) saat maghrib. Kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat (kemungkinan ketampakan hilal) menggunakan posisi bulan saat maghrib dengan syarat ketinggian tertentu atau parameter lainnya sebagai syarat masuknya awal bulan.
Kini pengamatan bulan sabit siang hari sudah dimungkinkan dengan teknologi teleskop dengan penutup matahari, filter inframerah, kamera digital, dan perangkat lunak pengolah citra. Orang menyebutnya “Rukyat Qoblal Ghurub” (Pengamatan sebelum maghrib) yang dianggap sebagai alternatif solusi. Tetapi sesungguhnya itu bukan solusi, tetapi masalah baru dalam hukum ibadah. Rukyat siang hari tidak bisa memastikan pergantian bulan kalender, kecuali saat terjadi gerhana matahari. Karena itu bulan sabit siang hari bukan hilal penentu awal bulan.
Rukyat bulan sabit siang hari menjadi persoalan hukum ibadah. Karena tidak bisa memastikan pergantian bulan kalender, kemudian ada gagasan menggabungkan rukyat bulan sabit siang hari dengan hasil hisab untuk ijtimak (konjungsi).
Menurut gagasan itu, kalau sudah ijtimak dan bulan sabit teramati, maka masuklah bulan baru. Gagasan itu sangat janggal. Kalau ijtimak dijadikan penentu, maka buat apa ada rukyat bulan sabit? Mengapa tidak mempercayai saja hasil hisab tentang ijtimak itu? Tampaknya gagasan itu berupaya untuk mengakomodasi pengamal rukyat dengan dibuktikan terlihatnya bulan sabit. Tetapi bukti itu salah dan membuat rancu secara hukum. Kalau sudah ijtimak dan terlihatnya bulan sabit dianggap sudah bulan baru, lalu apa hukumnya hari itu? Kalau itu awal Ramadhan, apakah saat itu sudah memasuki 1 Ramadhan sehingga semestinya ummat Islam sudah wajib puasa? Puasa itu harus diawali sejak shubuh, jadi kalau awal bulan jatuhnya siang hari, apakah ia wajib menggantinya kalau saat itu tidak berpuasa? Kalau pun sedang berpuasa, niatnya dalam keraguan. Pagi hari puasa bulan Sya’ban, siangnya puasa Ramadhan. Rancu secara hukum!
Karena terbentur pada masalah hukum ibadah, mungkin juga ada yang memodifikasi ketentuannya. Walau sudah ijtimak dan terlihat bulan sabit siang hari, ketentuan ibadahnya mulai maghrib seperti lazimnya. Oh, kalau begitu untuk apa bersusah-susah melakukan rukyat siang hari, kalau ujung-ujungnya menggunakan konsep rukyat pasca maghrib dalam menentukan awal hari.
Prof. Thomas Djamaluddin