Mak Comblang Paling Sempurna

Ini hari ke-40.

Sejak ia memutuskan tak lagi menggantungkan urusan yang satu itu pada manusia. Ya, sejak ia bertekad untuk merapat hanya kepada Dia. Dan ikhtiarnya kali ini hanya berbekal satu hal: keyakinan.

Mata itu basah kini. Seperti hatinya yang basah oleh harapan, saat bibirnya melantunkan doa penuh penghayatan. Tanpa sadar, tubuhnya telah goncang oleh hentakan tangisnya. Dalam khusyuknya doa, sekelebat memori menyelusup ke dalam benaknya.

***

“Kamu pasti suka dia,” Lia mengedipkan sebelah matanya. Namun kata-kata itu hanya terdengar seperti desiran angin di telinga Rissa. Ia tengah sibuk meredakan gemuruh di dadanya. Sebenarnya, ia tak yakin dengan perjodohan ini. Tapi ia berusaha yakin, karena Lia adalah sahabatnya. Rasanya seperti mimpi ketika Lia menggandengnya masuk ke sebuah ruangan penuh lampu kedap-kedip dan musik berirama menghentak. Merasa tak nyaman dengan suasana asing ini, ingin rasanya ia membalikkan tubuh, lari sekencang-kencangnya, pulang! Tapi tangan Lia terlalu kuat menggenggam tangannya, dan lelaki itu telah berada di hadapannya.

Dan selanjutnya, semua berjalan begitu cepat. Tiba-tiba saja cuma ada dirinya dan lelaki itu, duduk saling berdampingan di atas sofa yang empuk. Tiba-tiba saja, lelaki yang tadinya ramah dan simpatik itu, mulai mengeluarkan aksi yang membuatnya terkejut. Tangan kokoh itu mulai berkelana ke sana-kemari, ke bagian-bagian terlarang tubuhnya.

***

Kata orang, kalau mau cepat dapat jodoh, harus banyak bergaul. Tapi Rissa terlalu pemalu untuk mengikuti saran itu. Jangankan dengan lelaki, bergaul dengan sesama perempuan yang tak dikenal dekat saja dia kerap merasa kikuk. Itu sebabnya, ketika waktu terus berlari, dan usianya telah menjelang 30, ia tak pernah dekat dengan lelaki mana pun.

Namun, ia juga wanita normal. Keinginan untuk menikah dan menimang bayi begitu kuat menggedor batinnya. Maka, ia beranikan diri meminta bantuan sahabatnya. Tapi malam itu ia sadar, betapa menggantungkan urusan kepada manusia nyaris membuatnya celaka. Cukup sekali saja! Ia kapok memakai “jasa mak comblang”!

***

Gedubrak! “Astaghfirullah!” Jantung Rissa serasa melorot. Lelaki berkacamata itu bangkit sambil mengusap-usap bokongnya yang baru mencium lantai. “Pak Rizky?!” Manajer baru di kantornya, yang baru dua hari dikenalnya itu cengengesan, diselingi meringis sembari masih mengusap-usap bokongnya.

“Maaf, saya nggak tau ada Pak Rizky di balik pintu ini,” kata Rissa. Tanpa menunggu jawaban, ia menggegaskan langkahnya. “Tunggu, Rissa!” Rissa menoleh. “Saya … saya …,” lelaki berkacamata itu gelagapan. “Maukah kamu menikah dengan saya?” Mata Rissa membulat. “J…jangan bercanda, Pak!” serunya sambil memperbaiki letak jilbabnya, salting.

Ia baru 40 hari berjilbab, sehingga masih sering kerepotan. “Saya serius! Maaf, tadi saya sempat mendengar kamu berdoa. Dan, doamu sama dengan doa saya saat tahajud tadi malam. Kamu pasti jodoh saya!” katanya mantap. Wajah Rissa memerah, antara malu dan marah. Kurang ajar! Jadi, dia mengintipku saat sholat Dhuha tadi! Rutuknya dalam hati. Ingin rasanya ia menampar lelaki itu. Namun sisi hatinya yang putih mencegahnya.

40 hari ini, ia berusaha memantaskan diri di hadapan-Nya. Berbekal keyakinan, jodohnya akan datang langsung dari-Nya. Bukan karena nafsu sesaat. Bukan lantaran dibantu oleh mak comblang yang sok tahu. Tiba-tiba tangisnya pecah. Takjub. Hari ini, Tuhan telah menjadi mak comblang paling sempurna baginya!