Dalam bukunya A Brief History of Time, Stephen Hawking mengatakan bahwa Tuhan mungkin ada, tapi Dia tidak turut campur dalam pengaturan alam. Setelah tiga puluh tahun berlalu, dalam karyanya yang lain, The Grand Design, ia meralat pendapatnya. Kini ia yakin bahwa Tuhan itu tidak ada dan segala kejadian di alam semesta ini terjadi karena gravitasi. Kukuhlah nama Hawking di ‘barisan elit’ kaum ateis. Banyak orang bertanya mengapa orang secerdas dirinya justru memilih untuk menjadi ateis. Akan tetapi, pertanyaan yang lebih menarik daripada itu adalah: mengapa orang (yang mengaku) ateis terus menerus memikirkan Tuhan?
Waktu kuliah di ITB dulu, saya mengenal seorang mahasiswa yang begitu bangga dengan ke-ateis-annya dan suka merendahkan mereka yang tidak ateis. Menurut mereka, yang tidak ateis itu tidak ilmiah. Kebanyakan orang mengacuhkannya, karena dia memang bukan Stephen Hawking. Kuliahnya tidak sukses-sukses benar dan orangnya tidak pintar-pintar amat. Mungkin karena dia terlalu banyak menghabiskan waktu untuk membicarakan (dan mendustakan) Tuhan. Tapi gejala umumnya sama saja. Jika Tuhan memang tidak ada, maka orang-orang ateis adalah kelompok manusia yang paling rajin memikirkan hal yang tidak ada. Segala pembicaraan bisa berujung pada Tuhan. Bahkan orang beriman pun belum tentu melakukan hal yang demikian!
Baik Buya Hamka maupun Prof. Malik Badri (tokoh psikologi Islam kenamaan) telah mencermati hal yang serupa, meskipun observasi mereka tidak terbatas pada orang-orang ateis. Menurut Hamka, sudah fitrahnya manusia untuk mengajukan ‘pertanyaan-pertanyaan abadi’ yang selalu muncul dalam jiwanya, yaitu seputar hakikat dirinya, tujuan hidupnya, ke mana ia akan pergi setelah mati, ada-tidaknya Tuhan dan akhirat, dan seterusnya. Menurut Prof. Malik, setiap manusia yang sudah mencapai usia enam tahun tidak mungkin tidak pernah mempertanyakan hal-hal tersebut. Ini adalah gejala psikologi yang berlaku umum tanpa kecuali, tidak peduli antum anak yang makan bangku sekolah atau temannya Tarzan yang bergelantungan keliling hutan bersama binatang. Selama spesiesnya masih manusia dan masih waras, pasti ia akan memikirkan Tuhan. Biarpun mengaku ateis.
Pertanyaan-pertanyaan abadi yang telah disebutkan oleh Buya Hamka pada dasarnya adalah pertanyaan-pertanyaan seputar identitas diri. Siapa saya? Untuk apa saya dilahirkan? Untuk apa saya menjalani hidup? Bagaimana menjadikan hidup ini bermakna? Apakah hidup ini memang memiliki makna? Ada apa lagi setelah hidup ini? Siapa yang ‘mewajibkan’ saya untuk dilahirkan? Ke mana saya akan dibawa? Sepanjang hidup, kita terus mempertanyakan hal-hal semacam ini, dan manusia takkan berhenti sampai memperoleh jawabannya. Jika pertanyaan-pertanyaan ini tidak terjawab, maka segala kenikmatan duniawi menjadi tidak relevan, atau minimal hanya dinikmati sementara saja. Sebab, untuk merasakan kenikmatan hidup saja, manusia perlu diajari caranya membedakan hal yang benar-benar bisa membuatnya bahagia dari hal-hal yang hanya menawarkan kesenangan semu. Ujung-ujungnya, manusia kembali pada pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya sendiri.
Identitas menjadi hal yang sangat penting karena ia membantu kita mengenal diri kita sendiri. Orang yang amnesia baru akan merasa sedikit tenang kalau ia sudah mengetahui nama aslinya, bahkan jika ia tidak menemukan masalah dengan nama baru yang ditawarkan kepadanya. Kita akan resah jika ada yang memberitahukan kepada kita bahwa orang tua kita bukanlah orang tua kandung kita, atau istri kita tidak menjalani hidup sebagaimana yang kita kenal selama ini, atau anak kita diam-diam telah mengkonsumsi narkoba, dan sebagainya. Segala informasi di seputar diri kita akan membentuk cara pandang kita terhadap diri dan hidup kita sendiri. Dalam kasus orang tua yang menghadapi kenyataan bahwa anaknya diam-diam mengkonsumsi narkoba, mungkin ia mulai mempertanyakan segala pengetahuan yang dimilikinya sebagai orang tua dan mulai mempersalahkan dirinya dalam segala hal. Ia tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah, karena kenyataan telah membanting keras semua keyakinan dirinya.
Konflik batin yang terjadi dalam diri seorang ateis pun tidak kurang pedihnya. Ia terus-menerus menolak Tuhan, mungkin karena serangkaian kejadian dalam hidup yang tak bisa diterimanya, namun pada kenyataannya hidup pula yang terus-menerus menyodorkan bukti bahwa Tuhan itu ada. Dalam kasus Stephen Hawking, otak encernya kemungkinan besar tidak berhenti pada hipotesis bahwa segala sesuatunya terjadi karena grativasi, sebab kemudian ia diarahkan lagi pada pertanyaan lainnya: lalu siapa yang telah menciptakan gravitasi? Jika gravitasi di antara dua benda terjadi karena masing-masing memiliki massa, lantas siapa yang membuat ketentuan bahwa semua benda bermassa akan menimbulkan gravitasi? Bukankah jauh lebih mudah untuk menerima bahwa Tuhan menciptakan massa, dan Tuhan menetapkan bahwa setiap massa akan menimbulkan gravitasi?
Orang-orang ateis menciptakan begitu banyak teori untuk menolak Tuhan, namun lisannya tidak kering membicarakan Tuhan. Sejak dahulu, para penentang Tuhan selalu gusar hanya dengan mendengar nama-Nya. Fir’aun membual bahwa dirinya adalah tuhan, tapi toh ia memerintahkan anak buahnya untuk membuat menara tinggi agar bisa menatap wajah Tuhannya Musa as dan Harun as. Raja di jaman Nabi Ibrahim as juga sama pembualnya, namu matahari selalu terbit dari Timur dan tenggelam di Barat; seumur hidupnya ia hanya bisa menjadi pengamat hukum-hukum alam dan tidak bisa menciptakan hukumnya sendiri, tidak pula bisa menerangkan bagaimana hukum-hukum itu menciptakan dirinya sendiri. Kurang lebih sama saja seperti Hawking dan gravitasinya itu.
Islam menyebut alam semesta sebagai tanda-tanda kebesaran Allah SWT, atau kita mengenalnya dengan nama ayat-ayat kawniyyah. Seindah-indahnya alam, ia tidak lebih dari sebuah tanda. Oleh karena itu, tidak wajar jika orang begitu disibukkan dengan dunia ini dan lalai dari apa yang ditunjuk olehnya. Sama saja seperti orang yang berhenti di tengah jalan untuk mengagumi rambu-rambu lalu lintas; ia tak pernah sampai ke tujuan. Sama seperti Hawking yang berhenti pada gravitasi tanpa pernah mencapai ujung dari perjalanan intelektualnya.
Resep yang ditawarkan oleh Buya Hamka berlaku umum, baik untuk para filsuf maupun fisikawan: manusia boleh memeras akal dan berspekulasi semaunya, tapi ia takkan memperoleh jawaban sempurna dari pertanyaan-pertanyaan abadinya hingga ia bisa menerima agama. Artinya, untuk memahami hakikat dirinya, ia tidak boleh hanya berpegang pada pancaindera dan akalnya saja, melainkan harus berpaling pada Wahyu Ilahi. Karena Tuhan yang telah menciptakan manusia dan alam semesta ini, maka hanya Dia-lah yang bisa menjelaskan hakikat dari segala sesuatunya itu.
Sehebat-hebatnya Stephen Hawking, sebesar apa pun namanya di kalangan fisikawan dan sesama ateis, kita bersyukur tidak banyak yang menjadikannya sebagai acuan. Orang-orang ateis bisa bicara apa saja dan menertawakan orang-orang yang beriman sesuka hatinya, namun hati kecilnya takkan membiarkannya begitu saja mendustakan Tuhan, sebab ia tahu persis Dia ada, Dia Maha Mengetahui dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatunya. Tanpa Tuhan, hidup akan kehilangan makna. Manusia yang berpaling dari wahyu tidak akan memahami tujuan penciptaannya. Mereka tidak memahami posisinya sebagai khalifah di muka bumi dan rahmatan lil ‘aalamiin, dan karenanya mereka kehilangan pegangan moral. Mereka tidak membaca penjelasan Tuhan tentang kehidupan di akhirat, dan – setelah kehilangan standar moralitas – mereka tidak pula memahami kebahagiaan yang hakiki. Orang-orang beriman merasa tenang hidupnya karena mereka yakin bahwa segala kebaikannya akan memberikan dampak sistemik di akhirat, sedangkan orang-orang ateis (berusaha keras) mendustakan akhirat, sehingga mereka terus terpacu mencari kesenangan sesaat di dunia. Kesenangan yang satu berganti dengan kesenangan berikutnya, namun seberapa pun mereka mencari, semuanya hanyalah sesaat. Mereka memandang pasangan mereka sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan seks (yang tentu saja hanya sesaat), sedangkan orang-orang beriman merasa sejuk hanya dengan melihat anak-istrinya saja dan hatinya berbunga-bunga membayangkan keluarganya kelak akan berkumpul di tempat yang baik di akhirat. Orang-orang ateis tidak pernah puas dengan makanan lezat yang terhidang di mejanya, sedangkan orang-orang beriman tidak pernah mencela makanannya dan sibuk memberi makan orang lain. Itulah jarak yang menganga antara hati yang sempit dan lapang, antara hidup yang kosong dan penuh makna.
Tepat betul kiranya jika orang-orang yang mendustakan Tuhan ini disebut kafir. Hal yang paling maksimal bisa mereka lakukan adalah mengingkari atau menutup-nutupi (kufur). Apa yang disembunyikan di balik tabir pada hakikatnya tetaplah ada. Sekuat apa pun dirimu mengingkari Tuhan, pada hakikatnya Dia tetap ada, dan Dia tetap Maha Berkuasa. Manusia tak bisa lari dari-Nya, dan kita menyaksikan kebenaran ini di mana-mana, bahkan dari lisan seorang ateis.