Manakah Lebih Efektif: Jalur Parlemen ataukah Revolusi?

Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, ummat islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan Khilafah, imamah, monarki dan republik Islam. Dewasa ini masih banyak Individu maupun sebagian gerakan Islam yang ingin mendirikan Negara Islam.

Yang paling menarik perhatian dunia adalah ISIS pimpinan Abu bakar al-Baghdady. Sampai-sampai elit Hizbut tahrir asal Jepang, Prof Dr Hassan Ko Nakata tergiur bergabung dengan kelompok ISIS di Suriah (The Asahi shimbun, 9 Oktober 2014). Sayangnya ISIS tidak benar-benar mendirikan sebuah Negara Islam yang di dalamnya bertujuan agar hukum Allah swt dapat dijalankan dengan maksimal, justru ISIS ini hanyalah sebuah kelompok yang ingin menggulingkan PM Nuri al-Maliki (Irak) dan Bashar Asaad (Suriah). Kebetulan saja 2 pemimpin tersebut beraliran Syiah. PM Nuri al-Maliki telah lengser, sedangkan Bashar Asaad hingga belum tergoyahkan.

Sesuai dengan judul artikel ini, terkait mendirikan Negara islam, Sejauh catatan penulis, metode mewujudkan sebuah Negara islam bisa ditempuh melalui dua Jalur, yakni Parlemen dan Revolusioner, Manakah yang efektif? berikut ini ulasannya.

  1. Jalur Parlemen

Menempuh jalur parlemen berarti setuju dengan sistem demokrasi ala Barat dan bersedia ikut pemilihan umum (Pemilu). Seperti yang dilakukan FIS aljazair, Hammas di Palestina, dan PAS di Malaysia. Di Malaysia, PAS menggagas perjuangan menegakkan negara Islam mulai tahun 1950-an. Perjuangan tersebut berlanjut hingga kini. UMNO sebagai partai pemerintah juga mengklaim Malaysia adalah sebuah “negara Islam”. Tapi PAS tidak dapat menerima klaim UMNO. Di Malaysia perdebatan tentang negara Islam memang mendapat perhatian semua kalangan baik Muslim dan non Muslim terutama sekali setelah berlakunya proses Islamisasi di era Dr. Mahathir Mohammad menjadi Perdana Menteri (Dr. Muhammad Nur Manuty, Malaysia negara Islam?, dalam Majalah Milenia Muslim Malaysia edisi Januari 2008, hal 58).

Selain FIS, Hamas dan PAS, masih ada Ikhwanul muslimun, Jama’at Islamy, Masyumi dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Antara Ikhwanul muslimin, Jama’at Islam dan Masyumi di Indonesia memiliki kesamaan pandangan dalam melihat demokrasi. Bagi ketiga partai tersebut, demokrasi merupakan konsep yang baik sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Artinya, demokrasi yang hendak diterapkan dalam negara Islam adalah sistem demokrasi yang tidak sama dengan sistem demokrasi yang digunakan Barat. Sistem demokrasi di sini bersandar pada ajaran Islam, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan Islam harus ditolak (Syarifuddin jurdi, 2008, hal 70).

Di sebagian negeri Islam, ada kendala apabila Partai islam menempuh cara ini dan mereka memenangkan bisa memenangi pemilu, berikut 3 kemungkinan yang akan terjadi:

1) Barat tidak mengakui

2) Kudeta militer

3) Dibubarkan pemerintah

Pertama, Barat tidak megakui kemenangan Partai yang menusung asas/ideologi islam, contoh kasus pada Hammas-Palestina. Barat pun menyetop pinjaman luar negeri dan membiarkan Israel merajalela di daerah kekuasaan Hammas. Hingga sekarang Hammas juga di adu domba dengan Fatah. Hammas yang berjuang mati-matian baik lewat system Demokrasi dan angkat senjata justru di Indonesia dituduh Syafii maarif sebagai organisasi bentukan Israel (ILC TV One, 24 Maret 2015). Tuduhan ini tak masuk akal dan ngawur untuk sekelas Profesor yang tidak pernah menginjakkan kaki di Gaza.

Kedua, Kudeta militer, peristiwa ini dialami oleh Partai FIS aljazair. Mantan presiden Benjedid menggalang kekuatan militer. Militer, dengan kekuasaannya dan semena-mena, membubarkan parlemen Aljazair serta membatalkan hasil pemilu. Mohammed Boudiaf, mewakili militer, segera mendirikan Dewan Tinggi Negara, dan kemudian bertindak sebagai pemerintahan interim. Boudiaf menjadi penguasa baru di Aljazair. Ia merekayasa semua cara untuk memberangus FIS dan menyatakannya sebagai partai politik terlarang.

Selain FIS, Dr Muhammad Mursi dikudeta oleh Militer Mesir dibawah kendali As-Sisi. Efek dari dijatuhkannya Mursi juga berimbas kepada Organisasi Islam terbesar di dunia yaitu Ikhwanul Muslimin. Tahun 2013 diumumkan sebagai kelompok teroris dan dilarang di Mesir. Padahal baru 2011, sesaat setelah kejatuhan Husni Mubarak, Ikhwanul Muslimin mendapat status legal sebagai partai politik.

Ketiga, Parpol Islam akan dibubarkan. Partai Refah di Turki dibubarkan militer dengan alasan mengancam sekulerisme Turki, hingga Najmuddin Erbakan sebagai pelopor politik Islam kontemporer di Turki dilarang aktif di dunia politik selama beberapa tahun. Begitu juga sejarah Masyumi yang memperjuangkan politik Islam di Indonesia yang kemudian kita ketahui dibubarkan oleh presiden Soekarno.

Perintah resmi pembubaran Masyumi (dan Partai Sosialis Indonesia/PSl-sjahrir) menurut Keputusan Presiden No. 200/1960, pada 19 Agustus 1960, terutama karena keterlibatan beberapa Tokoh penting Masyumi dan PSI dalam pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera barat mulai Februari 1958. Begitulah resiko dan perjalanan partai yang mengusung politik Islam di pentas demokrasi parlementer.

  1. Jalur Revolusioner

Jalur revolusioner berarti berada di luar sistem pemerintahan, menggalang kekuatan bersama rakyat untuk mengganti sistem dan rezim yang berkuasa. Metode seperti ini terjadi di Iran dan Indonesia. Revolusi Iran merupakan revolusi yang mengubah Iran dari Monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlevi, menjadi Republik Islam yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi dan pendiri dari Republik Islam.

Adapun di Indonesia yang menempuh jalur revolusi adalah Darul islam Aceh, NII-Kartosuwiryo dan Hizbut tahrir. Revolusi yang dimaksud HTI adalah revolusi damai dengan mengikuti metodologi atau strategi Rasulullah dimana Nabi Muhammad SAW mendapatkan penyerahan kekuasan dari kaum Aus dan Khazraj dengan kerelaan tanpa kekerasan. Revolusi dalam perjuangan ekstra dan intra-parlemen untuk perubahan sistem sekuler menuju Islam demi terwujudnya penerapan syariat Islam dalam dimensi bangsa dan negara secara damai. Syarat untuk revolusi yang dimaksud adalah adanya sebuah gerakan partai atau konsorsium partai yang melakukan kegiatan, pembinaan para pejuang Syariah yang revolusioner dan pembentukan kesadaran umum umat tentang syariah (Merdeka.com, 4 Februari 2007).

Satu pelajaran berharga dari DI Aceh dan perjuangan syariah Islam mungkin bisa sejenak saya ulas di sini. Setelah puluhan tahun perang memakan korban dalam jumlah besar, akhirnya syariah Islam dibolehkan berlaku disana. Sayangnya, ketika kemerdekaan untuk melaksanakan syariah Islam telah diraih, orang yang mengerti syariah Islam malah langka. Rakyat Aceh yang betahun-tahun berperang demi memperjuangkan syariah, malah tumbuh dididik tidak bersama Syariah Islam. Ditambah lagi di Aceh masih kekurangan SDM yang ahli di bidang hukum hudud.

Terakhir, setelah mengulas DI Aceh, penulis juga mengulas sedikit perjuangan SM. Kartosuwiryo. Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII). Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949, lengkap dengan susunan Kabinet. Dan lima bulan kemudian diresmikan Qonun Asasi (UUD) yang menentukan “NII” sebagai Jumhuriyah (Republik). Bagi Prof. Ahmad suhelmi, sejak awal kelahirannya NII-Kartosoewirjo telah menunjukkan keunggulannya sebagai negara berdasar agama di abad modern Indonesia. Sampai saat ini tidak ada satu pun gerakan Islam Indonesia yang mampu mengungguli Struktur kenegaraan NII dan angkatan bersenjatanya (Ahmad suhelmi, 2001, hal 21).

Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap SM Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak, Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada September 1962. Lebih dari 50 tahun setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia masih bergelora di kalangan sebagian umat Islam negeri ini (Majalah Tempo edisi 16-22 Agustus 2010).

Wallahu’allam bishowwab