Hanya karena sebuah mantel tua, rampasan perang yang tak begitu berharga. Tapi ia sembunyikan rampasan itu, tak ia serahkan untuk dibagi secara adil. Lalu, akibatnya sungguh fatal. Gelar syahid, masuk surga tanpa hisab, yang seharusnya mampu ia raih, justru berganti gelar yang mengerikan. Ahlun-Naar, ahli neraka. Seperti hadist Nabi berikut.
Dari `Umar bin Khaththab ra. berkata: “Ketika selesai perang Khaibar beberapa sahabat Nabi saw. pulang kembali dan mereka menyebut-nyebut bahwa si Fulan mati syahid, si Fulan mati syahid, sehingga mereka bertemu dengan seseorang di tengah jalan mereka mengatakan: “Si Fulan mati syahid”. Kemudian Nabi saw. bersabda: “Tidak, sesungguhnya saya melihat si Fulan berada dalam neraka karena ia menyembunyikan kain mantel hasil rampasan perang yang belum dibagi”. (HR. Muslim).
Dari `Abdullah bin `Amr bin AI `Ash ra. berkata: “Ada seseorang yang biasa menjaga perbekalan Nabi saw. yaitu Kirkirah meninggal dunia, kemudian Rasulullah saw. bersabda: “la berada dalam neraka”. Para sahabat lantas menyelidiki kenapa ia masuk neraka, kemudian mereka mendapatkan bahwa ia pernah menyembunyikan mantel dari rampasan perang”. (HR. Bukhari).
Dua hadist itu begitu melekat di alam bawah sadarnya, sejak ia bersekolah di Madrasah Diniyah (setara SD). Ini pula yang membuatnya gelisah saat memiliki hutang, bahkan bisa sakit demam gara-gara memikirkan hutang.
Hingga, jika kira-kira ia membutuhkan pinjaman yang tak terlalu banyak (sekedar ongkos), maka ia minta ‘ikrar pinjaman’ yang agak lain pada temannya, “Aku pinjam uangmu ya. Tolong ingatkan aku untuk segera mengembalikan. Tapi, jika tiba-tiba aku meninggal dan belum sempat mengembalikan, tolong ikhlaskan ya? Ridha nggak?”
Biasanya, teman-temannya akan mengatakan ia lebay. Tapi setelah ia jelaskan bahwa, “Aku tak mau rohku gentayangan dan nakut-nakutin kamu gara-gara urusan pinjamanku yang belum kelar ini” (lebay dibalas penjelasan lebay juga). Teman-temannya pun mengangguk mengerti, meski sambil tertawa geli.
Begitupun, saat ia panik karena naik bus yang ngebut, yang terbayang di benaknya adalah, “Astagfirullah, aku masih punya utang atau pinjaman nggak ya? Kalau tiba-tiba aku mati, bagaimana ini?”. Setelah itu, membersamai supir yang ngebut sambil ugal-ugalan itu, mulutnya tak berhenti komat kamit memohon keselamatan.
Pun, tiap akan melahirkan, biasanya dia membuat wasiat. Sesempatnya ia tuliskan secara rinci dengan sebuah surat. Tapi ada kalanya, wasiat itu ia sampaikna secara lisan. Wasiat? Memang banyak banget hartanya, sampai mau melahirkan justru mikirin wasiat?
Bukan, ini bukan wasiat soal pembagian harta, tapi wasiat soal barang pinjaman. Saat akan melahirkan anak pertamanya, dan statusnya waktu itu masih mahasiswa pasca, wasiat yang ia tuliskan menghabiskan kertas berlembar-lembar. Maklum, waktu ia meminjam buku cukup banyak, ke berbagai pihak pula. Jadi, harus ia tulis judul buku dan identitas pemilik (nama, nomor telepon dan alamat). Ia katakan pada suaminya, “Mas, kalau tiba-tiba aku tidak tertolong saat melahirkan nanti, ada wasiat yang sudah kumasukkan amplop di buku diary ku. Tolong dibaca dan tindaklanjuti ya”.
Wasiat saat akan melahirkan anak pertama itu, akhirnya ia baca sendiri, karena alhamdulillah Allah masih memberinya kehidupan.
Begitu seterusnya. Wasiat ia buat tiap akan melahirkan, lalu ia titipkan pada suaminya. Tetap tentang barang pinjaman, atau amanah uang yang ada pada dirinya. Kebetulan, ia banyak diamanahi sebagai bendahara pada berbagai perkumpulan. Meski sudah ada pembukuannya, tentu akan lebih mudah jika ada rekapitulasi uang-uang yang memang bukan haknya secara pribadi. Kalau masalah menitipkan anak-anak, itu sudah hal yang sangat jelas. Tanpa diwasiatkan pun, suaminya tentu sudah tahu itu menjadi kewajibannya.
Mengapa harus bersikap begitu? Kutanyakan itu padanya. Jawabnya sambil mengangkat bahu, “Entah. Semata karena ingat hadits tentang mantel tua itu. Lalu takut, jika tiba-tiba aku ‘bablas’ saat melahirkan, yang mestinya akan diganjar dengan kesyahidan, tapi langkahku terhalang pinjaman yang belum kukembalikan., yang sebenarnya tak seberapa itu. Mungkin ini terkesan paranoid ya? Tapi aku hanya ‘cari aman’, dan semoga benar-benar aman hingga jalanku menuju surga lempang.”