Lagi, sebuah pencerahan untuk kita semuanya. Tulisan ini akan berjalan menuju sebuah pelajaran penting sebagai orangtua, maksud saya juga sebagai individu dewasa. Kekacauan komunikasi yang selama ini kita bina dengan orangtua kita bisa jadi ada sebabnya dalam diri kita, sebabnya adalah diri kita! Ah, tapi tak hendak membicarakannya sebagai anak, kita akan bicara tentang efektifitas komunikasi orangtua kepada anak.
Buku Thomas Gordon banyak bercerita tentang bagaimana menjadi orangtua efektif. Saat kita berbicara dengan anak, seringkali pesan yang kita katakan seakan tidak pernah sampai. Yang ada hanya konfrontasi, bantahan, atau perlawanan, ya memang tidak selalu, tetapi sering kan? Kenapa pesan tersebut tidak sampai kepada anak? Karena anak-anak sebagaimana umumnya bukanlah makhluk yang mudah mengutarakan maksud/perasaannya, ia perlu dibantu, sebagai orangtua, kita seharusnya mengenal kode-kode yang ditunjukkan anak-anak tersebut kepada kita.
Misalnya, seorang anak untuk menghilangkan perasaan lapar (keadaan tidak seimbang dalam tubuhnya) akan mengkomunikasikan sesuatu yang diperkirakan akan memberinya makan. Dia tidak dapat melukiskan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam dirinya (rasa laparnya), karena lapar adalah suatu proses fisiologis yang kompleks, yang terjadi dalam tubuh organisme. Karenanya, untuk menyatakan rasa laparnya kepada orang lain, dia harus memilih beberapa isyarat yang “mempresentasikan” (sebutlah encoding) rasa lapar. Misalkan anak memilih isyarat “Kapan makanan siap, Bu?” Maka jika ibu mengurai isyarat itu dengan tepat, dia akan mengerti bahwa anaknya lapar. Tetapi jika si ibu mengartikan isyarat itu bahwa anak ingin cepat-cepat makan agar bisa segera bermain sebelum tidur, anaknya akan salah mengerti; dan proses komunikasi terputus. Dari sinilah timbul masalah; anak tidak mengetahui hal ini, demikian pula ibunya, karena anak tidak dapat melihat apa yang dipikirkan ibunya dan ibunya juga tidak dapat melihat apa yang terjadi dalam diri anaknya.
Itu, adalah sebuah gambaran sederhana, aslinya, lebih rumit lagi, karena beberapa faktor yang akan mempengaruhi proses keberhasilan komunikasi orangtua-anak. Di sinilah pentingnya “mendengar aktif”. Apa itu mendengar aktif? Mendengar aktif adalah metode komunikasi yang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengutarakan maksud dan perasaannya tanpa dihakimi dan dinilai oleh pendengarnya –orangtua–, termasuk perasaan-perasaan negatif yang mereka rasakan. Ini menolong anak-anak menjadi tidak terlalu takut terhadap perasaan-perasaan negatif, dan bonusnya adalah ia mengembangkan hubungan yang hangat antara orangtua dan anak. Nah, biasanya di sinilah ujian bagi mulut-mulut yang biasa tidak tahan untuk mengomentari cerita –perasaan– anak. Karena prinsip mendengar aktif adalah mengesampingkan perasaan dan penilaian pribadi atas apa yang dilakukan/dirasakan oleh anak. Bagaimana? Menyulitkan bukan?
Nah, apa hubungannya dengan kematangan emosi? Sebenarnya kalau Anda sudah membacanya dengan hati-hati, Anda dapat menarik benang merahnya, tetapi mungkin pembahasan tentang “pesan aku” berikut lebih akan memahamkan. Pesan aku ini adalah metode komunikasi yang tidak dapat dipisahkan jika digunakan dalam rangkaian “mendengar aktif”. “Pesan aku” menyasar pada penyampaian pesan tentang perasaan yang sebenarnya “aku rasakan”, dan bukan kamu lakukan/rasakan.
Sederhana saja, jika seorang anak menghambur-hamburkan makan siangnya di lantai, siapa kira-kira yang bermasalah? Anak? Bukan! Anak sih hanya merasa melakukan sebuah eksperimen, dia tidak sedang membuat masalah kok. Justru eksperimen si anak membuat orangtua mempunyai masalah; “aku sudah membersihkan lantai beberapa menit yang lalu, dan sekarang kotor lagi, aku capek, dan aku sedih!” See? Sekarang masalahnya ada pada orangtua, dan peran “pesan aku” di sini jelas untuk menyampaikan pesan yang benar dan tepat tentang perasaan ibu terhadap perilaku anaknya; “Ibu (aku) sedih banget melihat lantai yang baru saja dibersihkan sudah kotor lagi”. Coba kalau kita gunakan pesan kamu; “Kenapa “kamu” lakukan itu? “Kamu” sudah besar, bukan bayi lagi!”, ini adalah kode yang buruk bagi perasaan capek dan sedih orangtua. Karena pesan seperti itu justru diterima anak sebagai penilaian negatif tentang dirinya.
Diterbitkan juga di: http://keluargabahgia.multiply.com/journal/item/281/Mari_Matangkan_Emosi_Kita