Masa Bodoh dengan partai yang ini dan yang itu. Masa bodoh juga dengan calon dengan segala foto dan perwajahan orang-orang yang tidak saya kenal, siapapun yang jadi toh tidak akan mengubah keadaan. Masa bodoh dengan politik kampus.
Akan sangat wajar ada mahasiswa berpikir seperti itu. Dari mahasiswa lama hingga mahasiswa yang baru saja menginjakan kaki di kampus biru ini. Untuk mahasiswa lama mereka dapat mengatakan hal demikian karena mungkin selama hidupnya di kampus kerakyatan ini, ada tidaknya pemira tidak berpengaruh terhadap kehidupan dan aktivitas akademiknya. Jikapun tidak ada pemira tidak mempengaruhi dia akan lulus 4 tahun atau lebih, cumlaude ataupun cemelude. Mahasiswa lama ini akan asyik dengan dunianya. Masa bodoh dengan hal-hal seperti itu. Gak ngaruh jek sama hidup gue.
Mahasiswa baru lebih bingung lagi sepertinya. Tiba-tiba saja di akhir tahun, kampus begitu sangat berwarna dengan segala wajah-wajah asing terpampang di setiap sudut strategis kampus. Siapa mereka? Ngapain sih mereka nampang gak jelas di kampus gue. Sok narsis banget! Pesen orang tua itu; yang penting belajar yang bener ya nak, belajar yang pinter, cepet lulus biar cepet dapat kerja. Orang tua juga berpesan; baik-baik di kampus, ndak usah macem-macem apalagi ikutan demo yang ndak jelas.
Sangatlah menarik untuk dicermati fenomena yang ada di kampus ini, namun itulah realita yang ada di sekitar bulaksumur ini. Bicara masalah representasi mahasiswa adakah keterwakilan berada di sana? Ketika total mahasiswa teregistrasi di DAA sejumlah 40ribuan, pemilih di setiap penyelenggaraan pemira sekitar 10-12ribu mahasiswa. Adakah yang dapat menjawab ke manakah sisanya?
Sebuah statemen menarik keluar dari Dr. Senawi ketika bersama dalam obrolan ringan dalam suatu makan siang. Beliau beranggapan jika keadaan dipertahankan seperti ini terus bem km dan senat mahasiswa dapat dikatakan sebagai ukm politik, mereka kalah pamor dengan forkom yang justru lebih menjadi representasi mahasiswa di gelanggang (atau mungkin justru di ugm-pen). Seharusnya senat dan bem km pemilik kekuasaan tertinggi mahasiswa di kampus.
Dari senat sendiri sebenarnya bisa lebih produktif membuat aturan untuk mahasiswa. Untuk satu tahun masa kepengurusan setidaknya bukan hanya urusan pemira yang di atur, misal terkait kebijakan yang berkaitan langsung dengan publik mudahnya aturan-aturan tentang merokok di tempat umum atau aturan penggunaan kendaraan supaya keadaan kampus lebih tertib, senatlah yang memiliki wewenang untuk membuat kebijakan itu. Untuk bem km sendiri akan berperan terhadap pengambilan sikap akan suatu kondisi dan permasalahan baik di tingkat kampus maupun nasional, yang nantinya isu dan kondisi bukan hanya di nikmati dan di pikirkan oleh sebagian entitas mahasiswa. Bem km sendiri memiliki kewenangan untuk melaksanakan suatu kebijakan program untuk kemaslahatan mahasiswa UGM.
Di mana letak something problemnya? Pada presmanya? Pada anggota senatnya? Pada partai mahasiswanya? Atau pada mahasiswa ugm itu sendiri?
Pandangan penulis lebih menyoroti suatu skema pragmatis perpolitikan kampus. Mengapa demikian? Ya jelas saja perpolitikan d UGM yang berkaitan dengan hajatan pemira ini berorientasi pada pemenangan dan selalu mengusung jargon yang seolah-olah sama; Untuk UGM baru, untuk UGM yang lebih baik dan untuk UGM yang bla bla bla. Setelah menang mereka berorientasi pada janji dan program yang di usung. Namun mereka sebenarnya lupa akan suatu hal. Mereka tidak cukup mengetahui apa yang diinginkan mahasiswa UGM. Termasuk penulis juga tidak sepenuhnya paham apa yang diinginkan mahasiswa UGM dewasa ini. Hal ini seharusnya dapat menjadi bahan kajian menarik untuk setiap peserta pemira. Kebanyakan partai tidak mengetahui apa kebutuhan mahasiswa UGM. Tidak adanya sensus di lapangan yang menyoal hal tersebut. Kebanyakan partai lebih cenderung untuk instan lebih bergerak mencari massa di akhir tahun, tujuanya jelas untuk memilih partai mereka.
Dari fenomena tersebut munculah calon-calon independent untuk mewadahi aspirasi mahasiswa. Suatu hal yang perlu di cermati kemunculan calon independent berarti tidak mengatasnamakan partai dengan maksud calon-calon indepent inilah yang akan memfasilitasi mahasiswa yang memiliki kecenderungan apolitis. Namun perlu disadari juga calon independent memiliki motif untuk memenangkan pemira untuk merealisasikan gagasan ide dan pikirannya. Dari hal ini dapat di maksudkan bahwa mahasiswa yang nantinya memilih calon independent adalah mahasiswa yang menjaga jarak dengan partai mahasiswa namun mereka tetaplah dikatan berpolitik dengan politik keindependensian mereka.
Partai mahasiswa sesungguhnya dapat meningkatkan kedudukannya di kalangan mahasiswa ketika partai mahasiswa merubah orientasi yang ada pada mahasiswa selama ini. Kebanyakan partai mahasiswa cenderung melakukan aktivitas di publik secara terbuka hanya pada saat pemira. Jelas hal tersebut tidak akan meningkatkan pemahaman mahasiswa akan arah gerakan yang mereka tuju. Seyogyanya aktivitas partai dimulai lebih awal, berdasar evaluasi pemira yang telah dilangsungkan. Beragam kegiatan seperti open recruitment, kegiatan sosial di kampus hingga diskusi rutin tentu akan lebih meningkatkan pemahaman publik tentang partai mahasiswa. Tentunya partai mahasiswa bukan saja membuat mahasiswa yang belum ataupun tidak memilih menjadi memilih, namun lebih bijak membuat mahasiswa memilih dengan kepahaman, bukan dengan doktrin atupun like-dislike.
Tentunya kita semua bukanlah mahasiswa yang masa bodoh dengan pemira yang populer disebut apatis. Mungkin juga kita sebagai mahasiswa apolitis yang ingin menjaga independensi. Atau kita sebagai mahasiswa yang ingin benar-benar terjun ke panggung politik kampus dengan partai mahasiswanya. Apapun itu, siapapun itu seyogyanya kita (tidak) Masa Bodoh dengan Politik Kampus.
Oleh: Chandra Nur Triwiyanto, Yogyakarta
Mahasiswa UGM biasa yang sok tau dan sok peduli dengan perpolitikan kampus