Intisari dari Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2014 yang merupakan pelaksanaan undang – undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, yakni pengelolaan zakat menjadi wewenang negara. Adapaun masyarakat diperkenankan ikut serta mengelola dengan seizin negara. Kemudian pengelolaan zakat dilaksanakan oleh BAZNAS yang beroperasi dari tingkat pusat. Artinya ada sentralisasi pengelolaan yang diserahkan kepada pihak BAZNAS. Padahal selama ini, Lembaga Amil Zakat yang lebih eksis dalam pengumpulan zakat di masyarakat ketimbang BAZNAS. Awalnya LAZ muncul dari keadaan Pemerintah yang lepas tanggun jawab terhadap keberadaan mustahik atau penerima zakat yang terpencar bahkan sampai ke pedalaman. Kemudian daripada masyarakat bingung harus menyalurkan zakat kemana, maka terbentuklah LAZ. Dari kondisi tersebut timbullah beberapa dampak, diantaranya:
- Terbatasnya kinerja LAZ atau Lembaga Amil Zakat dalam pengumpulan zakat, sebab jika ada program pengelolaan zakat harus sepengetahuan BAZNAS.
- LAZ yang selama ini dinilai lebih berhasil dalam pengelolaan zakat merasa enggan berada di bawah naungan BAZNAS.
- Apabila ada individu yang dipindahtugaskan dari LAZ ke BAZNAS, akan muncul adaptasi personal yang bermasalah pada sistem kerja BAZNAS sebab berbeda dengan sistem kerja di LAZ.
Polemik tersebut ditanggapi oleh Rianti, SEI., selaku peserta sekaligus dosen pengajar di STEI SEBI, bahwa terpusatnya pengelolaan BAZNAS pada Pemerintah merupakan hal positif apabila terjadi di Indonesia, sebab kewajiban berzakat akan lebih terkontrol dan diakui kuat oleh negara. Dengan demikian, diharapkan masyarakat yang wajib mengeluarkan zakat semakin tinggi tingkat kesadarannya untuk membayar zakat. Pengelolaan zakat sudah ada sejak zaman Rasulullah, yakni adanya baitul maal yang berwenang menghimpun dan menyalurkan dana zakat. Artinya, sejak zaman Rasulullah zakat sudah dikelola oleh negara. Namun hal itu diterapkan pada negara muslim. Lalu bagaimana dengan kondisi saat ini apabila pemerintah sebuah negara bukanlah seorang yang taat pada agama, apalagi bila Pemerintahnya dan non muslim? Haruskan kita perangi mereka yang tidak bayar zakat atau kita tinggalkan saja negara tersebut kemudian pindah ke negara lain? Apabila kondisinya benar seperti itu, ada 3 tanggapan dari para ulama:
- Tetap boleh membayar zakat kepada negara dengan alasan kita berniat dan berorientasi pada perintah Allah akan wajibnya berzakat. Perihal apakah pemimpinnya itu zhalim atau tidak itu urusan Allah.
- Tidak perlu membayar zakat ke negara jika masih lemah pengelolaannya dan zhalim pemimpinnya, namun landasannya untuk hal ini masih lemah.
- Tetap bayar zakat asalkan Pemerintah mendistribusikannya dengan adil dan tidak melanggar syariat.
Namun Deni Purnama, Lc. menjelaskan, “mari kita ambil dari segi maslahahnya, yakni manfaat zakat itu sendiri. Karena esensi zakat adalah manfaatnya tersalurkan kepada orang – orang yang tepat, perihal siapapun pengelolanya, yang penting pendistribusiannya tepat sasaran”.
(Dari diskusi Kontemporer Bulanan dengan Pemateri: Deni Purnama, Lc, MA, Ek. dan Indah Muliasari, SEI)