Keluarga yang satu ini sudah ketiga kalinya konsultasi keluarga dengan saya tentang ketidakcocokannya dengan sang Suami. Sebut saja Santi (bukan nama sebenarnya), ibu yang berumur 38 tahun ini telah menjalani hidup berkeluarga dengan Andre (bukan nama sebenarnya) selama 14 tahun.
Andre berusia lima tahun lebih tua dari usia istrinya. Meskipun demikian, sikap dan perilakukanya Andre sering membuat sang istri terpancing amarahnya. Jangankan memberi perhatian seperti ucapan ulang tahun, diajak ngobrol berdua dengan istrinya saja, sangat sulit.
Andre lebih suka berlama-lama di depan televisi dan menonton acara televisi dari stasiun satu ke stasiun lainnya, hingga terasa kantuknya tiba lalu masuk ke kamar tidur dan tidur pulas. Seperti itu kebiasaannya setiap selesai pulang dari tempat kerjanya.
Begitu cerita yang di sampaikan oleh Ny. Andre kepada saya. Hem,…akupun manggut-manggut sambil terus serius menangkap pesan kalimat demi kalimat dari Santi.
Dari cara menatap dan berkomunikasi, kelihatannya Santi termasuk orang yang mudah terpancing emosinya. Kata-katanya kadang meledak-ledak, kadang turun intonasinya dan beberapa kali Santi pun mengusap air matanya yang terurai deras membasahi kedua pipinya.
Kali ini mereka datang untuk menyampaikan bahwa Santi tidak kuat lagi hidup bersama dengan Andre dan beliau mengusulkan bagaimana kalau mereka mengakhiri hubungan suami-istri. “Wow,…” suara batinku mendadak teriak dan kaget.
Bagaimana tidak kaget, mereka memiliki empat orang anak, anak pertama kelas 2 SMP dan anak terakhir usia 4 tahun. “Duh…Tuhan, anak-anak lagi yang akan ikut menjadi korban,” keluh dalam batinku. Akhirnya, konsultasipun melibatkan dua orang (suami-istri) yang telah melayarkan bahtera keluarganya selama 14 tahun.
Pemahaman Santi terhadap sikap dan perilaku suaminya Andre sepertinya harus diluruskan dan Andre pun harus bisa lebih memahami bagaimana sang Istri menyampaikan bahasa tubuhnya.
Sebenarnya bukan karena kebiasaan nonton televisi lalu tidur yang membuat Santi marah, namun perasaan tersinggung, tidak diperhatikan yang membuat amarahnya tersulut.
Santi merasa tidak dihargai. Coba bayangkan, disaat Santi ingin berduaan ngobrol bareng, Andre justru memilih mendekati televisi atau langsung ke kamar dan tidur pulas.
Nampaknya, hal tersebut biasa dan sepele sekali dan tidak perlu menimbulkan pertengkaran. Namun yang menjadi masalah adalah Andre yang selalu meninggalkan dan mengabaikan Santi disaat Santi ingin berduaan dan ngobrol bareng.
Ia meninggalkan istrinya Santi sendirian. Hal inilah yang menurut Santi sangat menyakitkannya, perilaku seperti itu tidak bisa ia terima dan disetujui. Ini adalah bagian terpenting yang menyebabkan Santi berontak.
Alangkah baiknya bila Andre memahami bahasa tubuh yang disampaikan istrinya bahwa istrinya sedang berontak, boleh jadi ia sakit hati dan ingin agar sang Suami memahaminya dan memberi perhatian yang hangat padanya.
Sahabat yang berbahagia, ketika sesi konsultasi beralih ke Andre, ternyata Andre sangat tersinggung sekali dengan sikap istrinya yang membesar-besarkan masalah, memberi respon berlebihan dan penuh ketidak peduliaan.
Hanya karena kesenangannya nonton televisi membuat sang Istri memuncak marahnya dan Andre pun merasa terkekang kebebasannya. Andre berpendapat, ia telah pulang dari kerja, banyak masalah yang harus di selesaikan di tempat kerja dan dirumah untuk istirahat bukan untuk mendengar keluhan lagi yang bisa menambah beban masalah.
Andre berpendapat, sikap dan perilaku yang dilakukan Santi untuk menemani ngobrol berdua hanya taktik Santi untuk menguasai dirinya dan membatasi kebebasannya. Bagi Andre, dirinya bebas apa saja (yang penting halal) tanpa ada yang bisa mengikat dirinya termasuk kebebasan untuk melihat televisinya sendiri, kapanpun yang ia mau.
Karena itulah, disaat Santi mengungkapkan perasaannya dengan cara marah dan mencerca serta mematikan televisi, maka Andre pun berontak juga dan terjadilah pertengkaran hebat. Padahal bila Santi menanyakan dulu kenapa sih Andre meninggalkan dirinya sendiri dan memilih “berduaan” dengan televisinya tanpa ada “insert” pikiran prasangka negatifnya atau boleh juga Santi mengatakan bahwa ia sedang rindu ngobrol sama Andre. Mungkin “perang besar” tidakakan terjadi. Iya kan?
Coretan-coretan hasil konsultasi akhirnya saya padukan dan akupun tersenyum melihat hasil analisis coretan saya itu. Hem,…keluarga memang organisasi yang unik dan saya berkesimpulan bahwa pernikahannya masih bisa diselamatkan.
Konsep pemecahannya saya beri nama Memecahkan Perbedaan Dengan Saling Memahami. Santi dapat memahami apa yang mendasari sikap dan perilakuAndre sehingga Andre meninggalkan dirinya sendiri dan memilih nonton televisi, demikian juga Andre harus memahami apa yang diinginkan Santi ketika Santi menginginkan ngobrol berdua.
Saya menganjurkan pada Andre sebaiknya ia mengatakan pada istrinya “Istriku yang cantik (sebutan khusus), aku bisa memahami apa yang kau inginkan dan harapkan, kamu (sebutan khusus) sedang jengkel dan marah karena aku tidak menemani ngobrol bersamamu. Mohon di maafkan, saat ini aku butuh istirahat, rileks dan nonton kesenanganku di televisi. Bila saat ini kita paksakan ngobrol, yakinlah bahwa itu tidak akan memberi manfaat karena aku tidak mampu mendengarkan dan memahami apa yang kamu (sebutan khusus) katakan. Percayalah, bila istirahat/rileks itu telah cukup maka kita akan ngobrol berdua sepuas-puasnya.”
Kalau demikian, di jamin menjadi keluarga yang harmoni. Harmoni yang berkeindahan adalah harmoni yang penuh keragaman, sehingga diharuskan kita saling memahami. Bagaimana dengan sahabat?