Masjid Tidak Menyalahi, Masjid Senantiasa Merindui

Maha besar Allah SWT dengan segala rahmat dan nikmat karunia-Nya. Tiada yang lebih utama kecuali atas kuasa maupun ketetapan-Nya. Hidup dan juga mati, semua mengalun pada ketetapan illahi. Datang dan pergi silih berganti. Suka bahkan duka senantiasa menemani hari demi hari tak pernah henti.

Lalu lalang orang ramai berdatangan, baik anak-anak kecil, pemuda, bahkan dewasa atau orang tua. Di pagi hari, siang hari, petang hari, atau bahkan malam hari. Masing-masing diri membawa curhatan pribadi kepada Illahi Rabbi, keluh kesah yang menghinggapi, yang banyak menghimpiti. Beda tampak terasa antara curhatan dari masing-masing insan. Adakalanya, hal itu mudah sekali terlihat dari sebentarnya pinta (doa – red) dari seorang insan kepada Rabb setelah shalatnya. Entah karena ada urusan sangat penting kah yang harus segera diselesaikannya? Atau memang berpikir, ‘Buat apa meminta banyak sama Allah SWT, toch nanti juga dikabulkannya’?

Astaghfirullah…

Semoga saja tidak semua insan memiliki pemikiran yang seperti itu, karena bagi sebagian yang lain pinta bahkan curhat kepada Rabb itu pasti akan dikabulkannya manakala pinta bahkan curhatan tersebut dimohonkan secara sungguh-sungguh.

Hadirnya semua insan di masjid merupakan bukti kecintaan terhadap Rabb atau Tuhan-Nya, tapi mungkin tidak seperti yang diharapkan atau dibayangkan, manakala jama’ah didominasi lebih banyak oleh orang dewasa atau para orang tua, maka dari kejadian itu timbul banyak pertanyaan di hati mereka, “Kemana ini para pemudanya?  Apa sudah tidak mau mengenal Tuhan-nya? Apa karena malu disebut pemuda alim? Apa lantaran takut disuruh adzan atau iqamat sebelum melaksanakan sholat berjama’ah? Apa karena rasa gengsi yang telah menghinggapi atau menyelimuti di hati?”

Wajar jika pertanyaan itu ada, wajar jika pertanyaan itu menghinggapi mereka, karena di luar masjid mereka bisa berkumpul bersama, baik dalam Rapat Warga atau bahkan acara keluarga. Pada saat acara seperti itu, terlihat antusias para remaja atau pemuda begitu menggebunya, semangat atau rasa bahagia begitu sangat menghinggapi mereka. Manakala orang dewasa atau para orang tua mengajak pemuda singgah sebentar saja di masjid, muncul lah berbagai macam ucap dari lisan mereka, “Iya Pak, nanti kami menyusul,” atau,  “Iya Mas, kami menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu.”

Dinamika ucap seperti itu semoga bukanlah suatu hal yang mengganggu, karena semua itu adalah hak Individu, semua itu perkara masing-masing qalbu. Bukan dikatakan dosa jika para pemuda yang tidak terlihat oleh mata orang dewasa atau para orang tua, bukan pula dikatakan tanpa cela orang dewasa atau para orang tua yang cenderung bisa hadir di masjid, karena sejatinya manusia itu tiada yang sempurna, tiada yang luput dari khilaf dan lupa. Anggap saja semua itu bukanlah suatu perkara, sebab, yang menjadi perkara nyata manakala antara pemuda dengan orang dewasa bahkan orang tua sudah berbeda haluan atau pemikirannya dalam memakmuran masjid, entah dari tata cara shalat, atau pemahaman ilmu agamanya.

Sudah barang tentu warna itu tidaklah sama, begitu juga dengan manusia, sifat maupun karakternya pun berbeda. Semua itu tidak akan menjadi kendala, semua itu bukanlah suatu masalah, asalkan perbedaan itu bisa diantisipasi atau ada solusi terbaik demi terwujudnya ukhwah islamiyah baik dari pemuda, orang dewasa bahkan orang tua.

Yang dikhawatirkan dari adanya perbedaan adalah lebih banyaknya su’uzhan atau berburuk sangka. Dalam hal ini, cenderung lebih melihat kepada pemuda, tentang jarangnya keberadaan mereka di masjid, tidak terlihatnya mereka dihadapan orang dewasa atau para orang tua. Jarang terlihatnya pemuda di masjid janganlah dijadikan patokan atau penilaian seberapa besar kecintaan atau rasa keterkaitan kepada rumah Allah SWT.

Lalu, bagaimana dengan pemuda yang senantiasa hadir di masjid ? Pastinya merekalah yang seringkali mendapat respon positif dari orang dewasa atau para orang tua. Cenderung merekalah yang menjadi sudut pandang atau percontohan bagi pemuda muslim yang lainnya.

Terkesan sungguh merekalah yang paling sempurna dibandingkan dengan para pemuda yang jarang terlihat oleh orang dewasa atau para orang tua di masjid. Secara tidak langsung, ini hus’nuzhan atau berbaik sangka tetapi hanya untuk kalangan pemuda yang senantiasa dapat hadir di masjid, atau yang nampak terlihat oleh orang dewasa atau para orang tua saja. Bukankah hal ini bisa dibilang tidak adil dalam suatu penilaian? Terasa berat sebelah, hanya dipandang sebelah mata, bukankah setiap muslim itu bersaudara? Manakala berbeda haruslah tetap satu jua.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim memang dikatakan,“Ada tujuh golongan manusia yang Allah SWT akan menaungi mereka (dihari kiamat) yang tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya, yaitu : pemimpin yang adil, anak muda yang tumbuh menjadi dewasa dalam keadaan selalu mengabdi kepada Allah SWT,  seorang yang hatinya terpaut di masjid”.

Hadits ini sangatlah benar, tiada mampu untuk disangkal. Lalu, salahkah jika para pemuda yang jarang hadir atau nampak tak terlihat oleh orang dewasa atau para orang tua di masjid lantaran bekerja? Bukankah bekerja mencari nafkah itu juga ridho-nya allah SWT? Lantas, bagaimana dengan para pemuda lain yang jelas-jelas tidak pernah ke masjid? Lebih baik mana antara yang jarang dengan yang tidak sama sekali?

“yang jarang bukanlah yang tidak cinta kepada masjid,

 yang jarang bukanlah yang hatinya tidak terpaut kepada masjid,

 jika ada rindu menggebu ia pasti akan datang bertemu dirumahnya

allah yang maha satu,

cinta itu tidaklah mengingkari,

hati  itu tidaklah mati,

pemuda dinaungi oleh agama yang suci,

diwadahi dalam tempat yang diridhai,

pemuda bukanlah lupa diri,

pemuda sedang mensiasati posisi dalam satu kondisi untuk dapat hadir di rumahnya

illahi rabbi”  

 

Taufik Hidayat

Blog