Salah satu di antara persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in ialah riyadhah, yang artinya melatih jiwa pada kebenaran dan keikhlasan.
Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Riyadhah artinya melatih jiwa untuk menerima kebenaran.”
Hal ini bisa mengandung dua pengertian:
Pertama, melatihnya untuk menerima kebenaran, jika kebenaran ini disodorkan kepadanya, yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan mau-pun kehendaknya. Apabila kebenaran ini ditawarkan kepadanya, maka dia langsung menerimanya.
Kedua, menerima kebenaran dari orang yang menawarkan kepadanya. Firman Allah,”Dan, orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zumar: 33).
Kebenaranmu saja tidak cukup, tapi harus ada kebenaranmu dan pembenaranmu terhadap orang-orang yang benar. Sebab sebenarnya banyak orang yang benar, tetapi mereka tidak mau membenarkan karena takabur, dengki atau sebab lainnya.
Riyadhah ini ada tiga tingkatan:
1. Riyadhah-nya orang awam
Yaitu mendidik akhlak dengan ilmu, membersihkan amal dengan keikhlasan dan memperbanyak hak dalam mu’amalah.
Mendidik akhlak dengan ilmu artinya menata dan membersihkan akhlak sesuai dengan pranata ilmu, sehingga seorang hamba tidak bererak, zhahir maupun batinnya kecuali dengan pranata ilmu, sehingga semua gerakannya itu selalu ditimbang dengan timbangan syariat.
Membersihkan amal dengan keikhlasan artinya membebaskan semua amal dari pendorong untuk kepentingan selain Allah yang mengotori-nya. Ini merupakan istilah lain dari menyatukan kehendak.
Memperbanyak hak dalam mu’amalah artinya memberikan hak Allah dan hak hamba secara sempurna seperti yang diperintahkan. Jika tiga perkara ini dirasakan berat, maka pelaksanaannya merupakan riyadhah. Apabila sudah terbiasa, maka ia akan menjadi akhlak dan perilaku.
2. Riyadhah-nya orang-orang khusus
Yaitu dengan mencegah perpisahan, tidak menoleh ke tahapan yang telah dilewatinya dan membiarkan ilmu mengalir terus. Mencegah perpisahan artinya memotong sesuatu yang memisahkan hatimu dari Allah secara keseluruhan, menghadap kepada-Nya secara utuh, hadir bersama-Nya dengan segenap hati dan tidak menoleh kepada selain-Nya.
Tidak menoleh ke tahapan yang telah dilewati artinya tidak menganggap ilmu yang dimiliki sudah cukup dan baik, tetap mencari tambahan, merasa khawatir andaikata kedudukan dirinya justru menjadi penghambat untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Yang sudah ada harus di jaga, dan seluruh kekuatannya harus digunakan untuk mencapai tingkat-an dan tahapan yang lebih tinggi lagi. Siapa yang tidak mempunyai tekad untuk maju terus, berarti dia sedang mundur tanpa disadarinya. Sebab tabiatnya tidak mengenal istilah berhenti di tempat.
Yang ada adalah maju ke depan ataukah mundur ke belakang. Orang yang benar-benar melaku-kan perjalanan tidak akan menoleh ke belakang dan tidak ingin mende-ngar panggilan kecuali yang datang dari arah depan dan bukan dari arah belakang.
Membiarkan ilmu mengalir terus artinya pergi bersama orang yang mengajak untuk mencari ilmu, kemana pun perginya dia ikut di belakangnya, ke mana pun berlari, dia tetap mengikuti. Hakikatnya adalah pasrah kepada ilmu dan tidak menentangnya, rasa maupun keadaan.
Teruslah berjalan bersama ilmu ke mana pun ia pergi. Tapi yang wajib dilakukan adalah mempersatukan ilmu dengan keadaan dan membuatnya menga-tur keadaan serta tidak berbenturan.
Tentu saja semua ini sulit dilakukan kecuali orang-orang yang benarbenar memiliki tekad yang kuat dan benar, karena itulah yang demiki-an ini disebut riyadhah (latihan). Selagi jiwa dilatih terus dan dibiasakan, maka lama-kelamaan akan berubah menjadi akhlak.
3. Riyadhah-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus
Ialah dengan membebaskan kesaksian, naik ke tingkat penyatuan, menolak penentangan dan memutuskan segala bentuk penukaran. Membebaskan kesaksian mengandung dua pengertian: Membebaskannya agar tidak menoleh ke yang lain, dan membebaskannya agar tidak perlu melihatnya. Sedangkan naik ke tingkat penyatuan artinya mening-galkan makna-makna perpisahan lalu beralih ke penyatuan dzat. Meno-lak penentangan artinya apa yang bertentangan dengan salah satu ke-hendaknya atau kehendak Allah. Memutuskan segala bentuk penukaran artinya membebaskan mu’amalah dari kehendak untuk mendapatkan pengganti atau imbalan. Dengan kata lain, menjadikan Allah sebagai sesembahan, sekalipun yang menyembah- Nya tidak mendapat imbalan apa-apa, karena memang menurut Dzat-Nya Allah layak untuk disembah dan tidak perlu menuntut atau meminta imbalan dari-Nya.
Namun ada yang berpendapat, memperhatikan imbalan ini sangat penting bagi orang yang beramal. Jadi yang menjadi permasalahan adalah perhatian terhadap imbalan ini dan kejelasannya. Orang yang mencintaisecara tulus dan tidak peduli terhadap imbalan, ternyata justru mengharapkan imbalan yang lebih besar dan dia mengejarnya. Imbalan yang lebih besar ini adalah kedekatan dengan Allah, melakukan perjalanan hingga sampai di sisi-Nya, tidak menyibukkan diri dengan hal-hal selainNya, menikmati cinta dan kerinduan untuk bersua dengan-Nya. Ini semuamerupakan imbalan yang diharapkan orang-orang yang khususmengharapkannya dan sekaligus merupakan tujuan mereka. Tidak ada yang tercela dalam hal ini. Bahkan ibadah mereka yang paling sempurna ialah jika perhatian mereka terhadap imbalan ini semakin besar.
Memang meminta imbalan yang berkisar di kalangan makhluk, berupa kedudukan, harta, kekuasaan, tempat tinggal dan hal-hal lain yang serupa dengan ini merupakan sikap yang tercela. Terlebih lagi jika memang hanya itulah tuntutannya.
Tapi jika tuntutan mereka adalah Dzat Yang Mahaagung, kedekatan dengan-Nya, kenikmatan cinta dan kerinduan bersua dengan-Nya, maka tidak ada yang tercela dalam ubudiyah ini dan tidak ada yang dianggap kurang. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus kepada-Nya, karena Firdaus itu merupakan pertengahan surga dan surga yang paling tinggi. Di atasnya ada ‘Arsy Allah Yang Maha Pengasih, dan dari sana sungai-sungai surga memancar.”
Sebagaimana yang diketahui, surga Firdaus ini adalah tempat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Memohon agar termasuk golongan mereka bukanlah sesuatu yang tercela dalam ubudiyah.