Melepaskan Diri dari Barisan Dakwah

Dakwah ini tidak sebentar, sangat panjang perjalanannya. Coba perhatikan lagi, apa yang membuat dakwah bisa hidup selama lebih dari 1433 tahun. Ternyata ada janji Rasulullah yang mengatakan bahwasanya setiap 100 tahun ada generasi pembaharu yang siap untuk melahirkan dakwah lagi. Kalau sekitar tahu 1900 an keatas ada Moh. Natsir, lalu tahun 2000 keatas ada siapa?

Seharusnya mulai sekarang kita harus memikirkan juga siapa generasi penerus kita selanjutnya. Generasi penerus yang siap untuk memegang api dakwah ini. Kenapa harus api? Ya, karena kalau dilepaskan akan membakar sekelilingnya, namun kalau dipegang, akan menyiksa atau bahkan menyakiti yang memegangnya. Begitulah dakwah, semakin sulit saja tantangannya. Mulai dari internal dakwah itu sendiri, sampai pada eksternalnya yang tantangannya semakin besar.

Melepaskan diri dari barisan dakwah lalu berdakwah sendiri? Rasanya sangat bisa kalau hanya dipikirkan jangka pendek, akan tetapi ternyata kembali lagi, ternyata dakwah tidak bisa dilakukan sendirian. Bahkan orang paling bagus sedunia pun, tidak pernah lepas dari yang namanya jama’ah, yah Rasulullah ternyata tidak bisa sendiri sekalipun beliau adalah orang paling hebat di dunia. Sekalipun beliau adalah manusia yang namanya sering disebut tersebut tidak bisa hidup sendiri. Beliau membutuhkan yang namanya ”jama’ah”. Bahkan beliau membuat lingkaran kecil untuk mengkader, sehingga dari lingkaran kecil itu muncullah calon-calon pemimpin bangsa, sehingga menciptakan suasana yang islami. Akan tetapi tidak semua orang jaman itu merasakan nikmatnya halaqah bersama Rasulullah, hanya orang-orang terpilih lah yang beliau rekrut untuk menjadi kader terbaiknya.

Sampai saat ini, lingkaran kecil itu masih kita rasakan, namun tidak semua orang merasakannya. Tempat orang awam yang menyebutnya sarang teroris tersebut merupakan sarana pengkaderan Rasulullah sehingga memunculkan sebuah jama’ah dengan pergerakan islami. Lalu muncullah negara madani. Sebuah negara kecil yang tidak semuanya islam, masih banyak orang-orang yahudi di dalamnya, masih banyak orang-orang munafik di dalamnya, namun mereka merasa ternaungi dengan islam.

Akan tetapi sekarang ini, orang-orang awam phobia dengan islam. Hal tersebut tidak hanya saat ini saja, akan tetapi sudah lahis sejak 1928. ketika itu PKI lebih mendominasi media, mungkin saat ini juga. Sehingga dulu orang islam lebih merasa aman kalau tidak membawa-bawa nama islam. Hingga akhirnya diperparah ketika jaman Soeharto yang lebih menyudutkan islam dan mengidentikkan islam dengan teroris, sehingga kala itu islam seakan-akan kembali ke jaman rasulullah, yaitu berdakwah secara sembunyi-sembunyi.

Akan kah kita mengira Islam sudah aman? Tidak kawan, ternyata ketika zaman Gus dur, Islam terancam lagi. Terancam dengan dicabutnya peraturan tentang pelarangan yahudi di Indonesia. Akhirnya pada tahun 2000 yahudi berkembang di Indonesia.

Jaman Pak SBY juga tidak jauh berbeda, teroris yang semakin menyudutkan islam membuat aktivis dakwah di Brawijaya terancam. Pernah kah kita teringat saat dimana setiap ba’da dhuhur ikhwan berkumpul di masjid Raden Patah –Brawijaya- untuk mengembangkan gerak dakwah mereka? Akan tetapi itu tidak berjalan lama, takmir masjid diganti, dakwah mulai menciut. Semoga saja tidak mati, kalaupun mati, semoga itu hanya mati suri, sehingga ketika bangun lagi, dakwah akan lebih menggebrak Brawijaya. Mungkin perkumpulan setiap selesai dhuhur itu hanya dirasakan senior 2007 keatas. Akan tetapi, besar harapan teman 2008,2009,2010 dan 2011 ikut merasakannya.

Kembali lagi ke jama’ah, kenapa harus membutuhkan jamaah sementara sendirian saja bisa. Coba kita perhatikan lagi kenapa Rasulullah mewajibkan shalat berjamaah? Padahal shalat sendirian bisa lebih khusyu’ atau lebih lama dalam mendalami setiap ayat yang dibaca. Atau bahkan ada yang merasa bahwa shalat sendiri lebih cepat, tidak harus menunggu iqomah, atau bahkan tidak harus menunggu barisan lurus baru melaksanakan takbir. Akan tetapi memang kekeruhan dalam berjamaah itu lebih baik daripada kejernihan namun dilakukan sendirian. Dengan adanya berjamaah kita akan lebih dekat dengan sudara-saudara kita yang kesibukannya berbeda-beda. Bertemu dengan saudara-saudara yang hanya bisa ditemui ketika waktu-waktu shalat saja. Atau bahkan ibarat sebuah lidi yang digunakan membersihkan kotoran. –mungkin kiasan ini sudah lama dan sering kita dengar-. Kalau hanya dengan satu lidi, akankah bisa untuk membersihkan kotoran ayam yang sedang mengotori lantai? Coba kalau satu satu lidi tersebut digabungkan? Kotoran 10 ayam pun bisa untuk dibersihkan.

Wallahu ’Alam.

Oleh: Izzur Rozabi Mumtaz, Malang
Facebook