Masalah niat memang masalah yang tidak zahir, tetapi sangat penting, saking pentingnya Abdullah bin Al-Mubarak mengungkapkan
“Amal besar bisa dikerdilkan karena niat, dan amalan kecil bisa dibesarkan karena niat”
Perkara niat itu terletak pada hati, bukan pada lisan, meskipun hati dan lisan bisa sejalan maupun bisa tidak. Penulis mengajak kita semua meninjau ulang masalah niat kita masing-masing, karena niat awal yang salah bisa dipebaiki ditengah jalan, tapi waspada karena juga berlaku sebaliknya. Mari kita lihat masalah niat kita dalam hal memiliki sesuatu.
Terkadang, bahkan seringkali memiliki suatu benda yang tidak dimiliki semua orang niat kita ditunggangi oleh setan. Contoh mudah dalam kehidupan kampus misalnya ; memiliki Handphone tipe tertentu, setan akan memberikan bisikan motivasi lain ke dalam hati kita yang mengotori langkah kita selanjutnya dengan handphone tersebut. Seperti adanya perasaan ujub, perasaan ujub saja sangat berbahaya apalagi sudah mengarah kepada perilaku ujub, sikap nyata yang memperlihatkan kita bangga dengan benda ini. Yang mengetahui niat kita benar atau salah, murni atau ditunggangi setan adalah diri kita sendiri, dalam kapasitas tertentu dengan intensitas kesibukan dan amanah-amanah yang ada maka seseorang barangkali memang membutuhkan sebuah handphone tipe terkenal yang fitur-fiturnya dapat mempermudah jalannya amanah dan kesibukannya itu. Tapi sekali lagi, yang mengetahui kepantasan itu hanya hati kita yang tenang, ukurlah dengan sebuah perenungan yang mempertimbangkan sebanyak mungkin pertimbangan, “apa saya memang membutuhkannya?”, setelah proses ini selesai dan hasilnya adalah “ya, lebih banyak mudharatnya jika saya tidak menggunakannya daripada saya menggunakannya” maka silahkan, InsyaAllah ketika hari penghisapan datang Allah akan menilai dengan sangat adil terhapad masalah itu.
Melihat beberapa kondisi da’wah saat ini, pada situasi tertentu aktifis da’wah dituntut memiliki mobilitas yang tinggi, kadang seorang penanggungjawab sebuah amanah harus menghadiri 3 rapat berbeda dalam waktu yang berdekatan di tempat yang berbeda pula, kelancaran transportasi dalam kasus ini sangat diperlukan, saya sangat kagum melihat seorang rekan seperjuangan yang membeli sepeda motor dan memasukkan dalam niatnya “lagian kalau saya sudah pake motor seperti ini, agenda da’wah diluar kampus jadi lebih lancar”, artinya rekan saya tersebut mewarnai niatan membeli sepeda motor untuk kepentingan da’wah dan itu sudah luar biasa, namun menjadi luarbidahsyat lagi jika kepentingan da’wahlah yang menjadi niat utama, “InsyaAllah ana menabung untuk membeli sepeda motor agar nantinya aktifitas da’wah semakin dinamis”.
Kalau kita pandang dari segi efisiensi waktu, seorang juru da’wah dapat menggunakan waktunya dengan optimal belum lagi tinjauan ekonomi, bayangkan seorang juru da’wah kampus mampu mengahadiri rapat kerja saat pagi, selanjutnya datang tepat waktu saat kuliah, siangnya mengisi mentoring pusat kampus, sorenya mempersiapkan acara syi’ar kampus ditempat berbeda, dan malamnya mengisi pengajian remaja diluar kota. Dengan tidak adanya mobilitas yang tinggi aktifitas padat seperti itu mengalami kesulitan, bayangkan jika semua aktifis da’wah (terutama yang pria) dapat memaksimalkan waktunya seperti itu, niscaya penyebaran da’wah akan semakin luar dengan tingkat akselerasi yang cepat pula.
Selain alasan itu, kondisi angkutan umum mayoritas di daerah kita sangat berpeluang membuat kita melakukan ma’siat, musik jahiliyah dan percampur-bauran antara laki-laku menjadi tantangan utama dalam angkutan umum, selama ini juru da’wah berusaha mendapatkan kursi dedapan didekat supir agar tidak duduk bercampurbaur dengan nonmuhrim, tapi usaha ini bukan merupakan solisi yang paling tepat. Maka demi izzah dan iffah memiliki kendaraan pribadi merupakan pilihan terbaik.
Hal-hal tersebut merepakan beberapa pertimbangan bagi kita bersama, jika sebaguan kita sudah memiliki fasilitas tertentu tersebut, dan niat awal kita tidak tepat, maka masih ada kesempatan meluruskannya, karena mungkin yang membuat kita memasang niat yang salah dahulu adalah ketidak tahuan kita. Dan jika sebagian dari kita telah memilikinya, dan belum kita maksimalkan sebagaimana idealnya, maka silahkan kita memantaskan diri untuk fasilitas itu, mungkin selama ini kita telah punya sepedamotor tapi amal yang kita lakukan tidak sebanyak amal yang dapat dilakukan orang lain dengan sepedamotornya maka gapailah titik maksimal kita masing-masing, jika kita melihat orang lain sibuk dengan fasilitasnya masing-masing, keluarlah menjadi orang yang paling berguna diantara sesama, karena walaupun memiliki waktu dan kemampuan yang sama kebanyakan manusia memiliki kinerja yang berbeda, dengan banyak waktu yang sama kita bisa menunaikan amanah dengan kualitas dan kuantitasnya berbeda.
Selain dua benda yang saya contohkan tadi, masih banyak lagi benda atau sarana lainnya yang perlu kita tinjau ulang niat kita memilikinya, benda-benda tersebut akan berbeda masing-masing individu, maka ini dikembalikan kepada individunya masing-masing.
Sekali lagi ditegaskan, yang menilai sudah wajar atau belumnya kita memakai fasilitas itu adalah hati kita masing-masing, yang menimbang banyaknya mudharat dengan manfaat adalah pribadi masing-masing. Hal ini tidak dapat disama ratakan, sebagaimana memaknai zuhud juga tidak dapat digambarkan dengan sebuah standarisasi kezuhudan, kita hanya bisa memerikan beberapa kriteria dan pertimbangan. Kitalah yang memutuskan sendiri, niat yang benar atau tetap dalam niat yang ditunggangi bisikan setan. Wallahualam