Perlu disadari bahwa memaafkan adalah melenyapkan keinginan diri untuk memberikan balasan atas sesuatu yang tidak disenangi. Maka jelas, memaafkan diganjar kebaikan luar biasa karna menahan amarah yang menggema, pun mengganti ‘pembalasan’ yang boleh jadi tidak baik (meski ‘ingin’ rasanya)
dengan mengikhlaskan atasnya. Sederhananya; kita punya hak untuk melakukan ‘pembalasan’, tetapi tidak kita pergunakan.
Lantas, apakah memaafkan identik dengan memberikan kesempatan kedua, atau bahkan berterusan?
Ini jelas dua hal yang berlainan. Memaafkan itu ibarat kunci pembuka pintu di sudut hati yang tertutup rapat karna ulah sakit hati. Maka ini boleh jadi benar; fungsinya hanya membukakan pintu biar tidak senyap dan sunyi. Sedangkan memberi kesempatan untuk kesekian-sekian adalah mempersilahkan sesuatu yang telah berbuat tidak menyenangkan untuk lewat pintu hati tadi, lantas lagi-lagi bersinggungan.
Memberi kesempatan kedua tentu lebih membawa beban ketimbang memaafkan. Memberi kesempatan lagi jelas memaksa diri untuk mempercayai kembali seseorang yang telah menyakiti. Dan itu sulit, bukan? Terlebih hati setiap orang tidak sama. Ada yang mudah memberi kesempatan kedua, ketiga,
bahkan lebih darinya. Namun di sisi lain ada orang yang sukar melakukannya.
Sebenarnya, memberi maaf pun sudah luar biasa.
Namun, coba kita cermati; ternyata Allah berulang-ulang memberi kesempatan berupa perubahan bagi setiap orang. Kesempatan agar manusia memperbaiki diri tidak hanya satu kali, tetapi berkali-kali.
Lantas kita? Sesosok makhluk yang begitu banyak dosa? Dengan angkuhnya tidak mau memberikan kesempatan kedua? Ehm, dan lagi-lagi kita cuma manusia biasa.
Satu hal lagi, kita tidak tahu masa depan, bukan? Andai di hari ini kita mampu memberi kesempatan kedua bagi seorang manusia maka boleh jadi di suatu hari yang tidak kita duga akan ada yang memberikan kesempatan kedua disaat kita membutuhkannya.
Ya, karna setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua agar lebih baik dari sebelumnya.
Agama mengajarkan memberi maaf itu keindahan, juga kedewasaan. Dan ini hanya pilihan;
memaafkan lantas mempercayainya lagi atau tidak mempercayainya lagi, meski sudah dimaafkan.
“Cinta memberi ruang memaafkan, selama kesalahan bukan kebiasaan,” begitu kata Asma Nadia.