Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS At Taubah: 19)
Ibnu Hatim meriwayatkan dari Ali Ibn Thalhah dan Ibnu Abbas, bahwa ayat ini berkenaan dengan ayah beliau yang juga merupakan paman dari Rasulullah. Abbas Ibn Abdul Muthalib tertawan di perang badar. Ketika Abbas belumlah seorang muslim, namun para mufasirin berpendapat bahwa surah At Taubah tidak turun ketika perang Badar. Mungkin yang dimaksud Ibnu Hatim adalah ketika Al Abbas di masa islamnya, berkisah ketika ia sebelum Islam dan menjadi tawanan di perang Badar. Allahu a’lam. Ketika itu Al-Abbas pernah berkata “Sekiranya kalian lebih dahulu daripada kami memeluk Islam, berhijrah dan berjihad, sungguh kami adalah orang-orang yang lebih awal memakmurkan Masjidil Haram, memberi minum orang yang beribadah haji, serta membebaskan tawanan”. Karena memang tradisi bangsa arab ketika itu, telah memiliki semacam keluhuran sifat untuk memuliaan para tamu Allah yang mengunjungi Ka’bah. Maka kemudian Allah turunkan ayat tersebut sebagi sebuah jawaban. Bahwa Kemuliaan Jihad tidak dapat digantikan dengan yang lain, tidak ada yang serupa dengannya.
Maka bila kita sering mendengar kalimat, Laa izzata illa bil jihad. Tiada kemuliaan kecuali dengan jihad. “Walladziina jaahadu fiina lanahdiyannahum subulanaa. Dan barang siapa yang bersungguh mencari keridhoan Kami, maka akan Kami tunjukan jalan-jalan kami”. Jihad adalah sebuah kesungguhan, keteguhan, mengoptimalkan segala daya dan upaya untuk memperjuangkan Islam kala dalam keadaan bahaya dan memenangkan Islam dalam keadaan aman. Begitulah kutipan ceramah Ustadz DR. Muinudinillah Bashri MA, seorang Doktor Fiqh.
Meluruskan Makna Jihad
Maka bila kita kaitkan denagn konteks kekinian, seolah terjadi pergeseran makna jihad. Mungkin karena pengaruh ghazwul fikr dari musuh-musuh Islam yang berusaha membiaskan masalah jihad dengan mempersempit ruang definitifnya hanya kepada kata perang dan lebih parah lagi menngaburkan maknanya dengan mensinonimkan dengan terorisme. Parahnya lagi, beberapa saudara kita seiman, turut terpancing dengan definisi bathil tersebut. Tanpa memahami definisi yang komprehensif tentang makna jihad dan kaifiyah, penatalaksanaannya. Mereka justru melakukan perbuatan yang kontra produktif terhadap agamanya. Dengan melakukan bom bunuh diri membunuh pihak yang tidak bersalah. Kemudian saat mereka ditanya apa alasannya, mereka serentak menjawab “jihad!”.
Sungguh bila kita melihat, jihad adalah sebuah jalan kemuliaan. Maka sudah sepatutnya bila kita menempuh jalan kemuliaan tersebut tidak ada yang boleh terhinakan. Pasti ada yang salah dalam definisi jihad kita atau pelaksanaan jihad kita bila sampai ada saudara kita menjadi phobia dan takut terhadap kata jihad. Maka saatnya kita kembali kepada pemahaman jihad yang benar sesuai dengn Al-Quran dan Sunnah berdasarkan pemahaman para salafuna shalih. Jihad adalah sebuah upaya yang dilakukan.
Bila kita belajar Ushul Fiqh, akan dijumpai Maqoshid Syari’at , tujuan diberlakukannya syariat yang dinamakan Arkan Khamsah Dhururiyah fi Hayat (lima rukun hajat primer) yang harus dijaga: (1) Ad-Din (agama), (2) An-Nafs (jiwa), (3) Al-Aql (akal), (4) An-Nasl (Keturunan), (5) Al-Mal (Harta). Dan jihad adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga kelima hajat primer manusia tersebut. Karean sifat dan tujuannya adalah menjaga maka tidak diperkenankan untuk merusak atau menyerang 5 hajat primer tadi. Fungsi jihad adalah untuik menjaga agama, maka dalam pentatalaksanaannya, jihad tidak diperkenankan menyerang seseoarang yang berada di rumah-rumah atau tempat ibadah agama lain. Jangankan menyerang secara fisik, mengolok-olok atau menghina sesembahan mereka pun tidak diperkenakan.
Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS Al-An‘am: 108)
Maka Ibnul Qoyyim Al Jauziyah mendefinisikan tentang pentahapan jihad, sebagai berikut:
- Jihadun Nafs: Menundukan hawa nafsu, dengan mengawali jihad melawan diri sendiri. Menundukan hawa nafsu yang dapat mengarahkan manusia kedalam kesesatan. Melawannya dengan mengimani, mengilmui, mengamalkan, dan mendakwahkan al Huda (petunjuk Allah) wa Diinul Haq.
- Jihadusy Syaithan: melawan syaithan yang berselubung dibalik syahwat & syubhat. dalam kultwitnya (kuliah twitter), Ustadz Salim A Fillah menjelaskan tentng jihad ini dengan contoh yang cukup cerdas. “Jihadusy Syaithan Jihad melawan syaithan. Ini ada 2 poin, yakni melawan syubhat (rancu) & syahwat (hawa nafsu). Melawan syubhat itu #Jihad. Seperti Imam Ahmad Ibn Hanbal menentang faham ‘ke-mahkluq-an Al Quran’; sebab ia berujung ‘kalau makhluq bisa salah bisa benar’. Melawan syubhat itu #Jihad. Contoh: soal bangkai, kata Al ‘Ash ibn Wail; “Yang dibunuh sendiri halal, kok yang dibunuh Allah haram?” Melawan syubhat itu #Jihad. Kata Al Walid ibn Mughirah, “Quran adalah sihir nan dipelajari”. Sampai kini belum ada argumen secerdas dia. Melawan syahwat adalah #Jihad. Seperti Yusuf berlari dari goda jelita, seperti Al Miski melumurkan kotoran ke tubuhnya saat diajak zina. Melawan syahwat itu #Jihad. Menyegerakan menikah; berlari dari yang haram & keji menuju yang halal lagi suci perlu keberanian tinggi.”
- Jihadu Ahlil Ma’ashi wal Bida’: Melawan ahli maksiat dan ahli bid’ah. Seperti hadits Rasulullah SAW yang sering kita dengar dan mungkin telah hafal “Bila menjumpai kemunkaran, maka ubahlah dengan tanganmu, bila tidak mampu gunakan lisanmu dan bila tidak mampugunakan hatimu (doa) itulah tanda selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim). Ijinkan saya mengambil rasm dari ustadz Jum’ah Amin Abdul Aziz dalam bukunya Fiqh Dakwah. Ada sebuah kisah menarik tentang perjuangan melawan kemungkaran. Ibnul Qayyim al Jauziyah membagi 3 kemungkinan yang akan terjadi ketika kita melawan kemunkaran : (1) yang pertama, kemunkaran hilang dan terkalahkan oleh kebajikan seperti yang kita cita-citakan, (2) yang kedua, kemungkaran tidak seluruhnya hilang dan berganti dengan kebajikan, (3) dan yang ketiga, kemunkaran memang hilang tapi setelahnya muncul kemunkaran baru yang jauh lebih dahsyat madharatnya. Kisah ini bermula dari sang guru, Ibnu Taimiyah bersama murid-muridnya ketika ada sekompi pasukan tar-tar yang tengah mabuk khamr. Khamr adalah salah salah satu bentuk kemungkaran yang harus dicegah, bahkan biangnya kemaksiat berawal dari khamr. Ketika terlihat oleh murid dari Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, maka melaporlah dia kepada sang guru untuk memutuskan langkah apa yang terbaik. Apakah langsung dihabisi dan dihabisi saja rombongan tentara pemabuk tersebut? Namun dengan bijak Ibnul Qoyyim mengatakan “Ketahuilah bahwa khamr dan sejenisnya aku haramkan untuk kalian karena dapat merusak akal, namun khamr itu dapat mencegah mereka (prajurit tar-tar) dari menumpahkan darah saudaranya”. Betapa bijaknya beliau, Ibnu Taimiyah dengan fatwanya. Seandainya beliau berfatwa untuk menghabisi prajurit tar-tar yang sedang mabuk tadi pastilah juga dibenarkan karena termasuk dalam mencegah kemunkaran dengan tangan, tapi efeknya setelah peristiwa itu mungkin saja akan terjadi pertumbahan darah dan perang saudara.
- Jihadu Ahlil Kufri wa Syirk: melawan orang kafir dan kesyirikan. Tahap – tahapnya dgn Doa, dengan Bayan, dgn tombak, dengan pedang. Terkhusus jihad melawan ahlul kufri wa syirk. Melawan kaum kafir dan orang musyrik, Ibnul Qoyyim menjelaskan pentahapannnya di awali melalui doa, kemudian bayan ( pemberian penjelasan tentang kebenaran islam), kemudian baru dgn tombak, tombak adalah senjata pertahanan diri bukan untuk menyerang, barulah pilihan terakhir menggunakan pedang. Ingat ketika Rasulullah berhadapan dengan sang paman, Abu Jahl. Hingga detik terakhir menjelang Perang Badar pun beliau tetap mendoakannya untuk mau berislam, beliau panggil dengan sebutan laqob indah kesayangan “Yaa Abal Hakam, Tasliim Taslam, Wahai Abu Hakam ( abu Jahl) masuklah islam maka engkau akan selamat.” Namu sang apman tetap tidak mau mengindahkan permintaan sang keponakan, bahkan dengan angkuh dia menjawab ” Kalaulah yang dibawa muhammad itu adalah kebenaran, maka hujanilah saja kami denagn batu.” Subhanallah, keponggahan Abu Jahl yang membuatnya celaka sendiri, karen menolak kebenaran. Beliau senantiasa mohonkan pada Allah agar sang paman sedia masuk islam, salah satu butir doa beliau adalah memohon agar islam dimuliakan denagn masuknya dua orang Umar ( Amraini ) yang paling dicintai Allah. Yaitu Umar Ibn Khaththab ataukah Amr Ibn Hisyam – Abu Jahl-. Dan Allah pun mengijabah dengan masuknya Umar Ibn Khaththab sebagai seorang muslim. Dan masuknya Umara adalah tonggak sejarah baru peralihan periode dakwah sembunyi-sembunyi menuju dakwah terbuka. Kaum muslimin semakin memiliki izzah untuk berislam.
Intinya jihad disini adalah Islam mengedepankan dialog dan dakwah, bahkan hingga detik terakhir, kecuali bila memang kita telah diserang. Maka baru diperkenankan untuk membela diri. Karena memang tujuan utama jihad adalah agar orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Merasakan indahnya hidup bersama Islam, membebaskan dari perbudakan antar manusia, memurnikan penghambaan kepada Allah, mengganti sistem yang bathil dengan sistem Islam yang syamil.
Wallahu a’alam bishawab